Bab 10

14 4 0
                                    

Indra bukanlah tipe orang yang suka nonton film di bioskop, apalagi jika film tersebut berkisah tentang percintaan remaja. Bukannya Indra benci dengan kisah-kisah cinta yang manis, dia hanya tidak nyaman berada di tengah kerumunan para para penonton yang datang berpasangan.

Suatu ketika, Indra pernah punya pengalaman kurang menyenangkan saat dia nonton salah satu film animasi buatan Hollywood. Dia duduk di sebelah remaja yang kelihatannya berpacaran. Mereka tampak mesra satu sama lain seolah bioskop itu milik mereka berdua.

Kalau mereka nonton dengan tenang dan sopan, Indra mungkin masih bisa memaklumi. Sialnya, mereka sangat norak di mata Indra, apalagi si cewek yang suka nyeletuk tiba-tiba saat film sedang diputar. 

Melihat orang-orang yang berpasangan memberikan dampak yang buruk bagi mental Indra. Maklum, dia terlalu lama jomblo dan belum bisa move on. Karena itulah, Indra seringkali menghindari tempat-tempat yang biasa digunakan orang pacaran.

Namun, hari Minggu kali ini berbeda. Ada salah satu film menarik Hollywood yang membuat Indra jadi pengen ke bioskop. Indra sengaja memilih jam tayang pada siang hari karena paginya dia bisa bebas molor di atas kasur.

Sebenarnya, Indra pengen mengajak teman tongkrongannya untuk ikut sekalian. Masalahnya adalah mereka tidak suka nonton film. Mereka jauh lebih bersemangat kalau diajak nonton pertandingan bola di stadion. 

Bioskop itu terletak di salah satu mall besar kota Surabaya. Indra sengaja datang satu jam lebih awal. Dia ingin berkeliling terlebih dahulu sembari mengamati para cewek-cewek cakep. Lumayanlah buat penyegaran mata, pikir Indra. 

Pumpung belum masuk bioskop, dia mampir sejenak ke salah satu gerai minuman untuk membeli satu cup es kopi susu beserta takoyaki. Indra paling malas untuk membeli makanan atau minuman di bioskop karena harganya lebih mahal ketimbang harga aslinya.

Sembari menikmati makanan yang baru saja ia beli, Indra duduk di salah satu bangku yang disediakan untuk pengunjung mall. Dia tersenyum-senyum sendiri saat dia mencicipi takoyaki hangat yang rasanya sangat enak menurutnya.

Tanpa Indra sadari, bahunya ditepuk oleh seorang perempuan sampai dia refleks terjingkat. Indra menoleh ke samping. Dia tampak kebingungan untuk sesaat ketika dia melihat perempuan yang berdiri tepat di hadapanya.

Indra mengamati perempuan itu lekat-lekat. Lalu, dia menyeletuk spontan dengan suara yang agak keras. 

“Bu Citra?” 

Perempuan itu mengangguk sembari tersenyum. 

Jujur, Indra pangling dengan penampilan Bu Citra. Sehari-hari, dia hanya melihat Bu Citra dengan seragam dinas. Namun, dia hari ini sangat jauh berbeda. Dia mengenakan sebuah sweater dengan celana jeans. Lengkap dengan jilbab warna pelangi yang membuat auranya semakin berseri-seri. 

Pada momen ini, Indra terngiang-ngiang salah satu lagu Lobow.

Kau cantik hari ini 

Dan aku suka 

Kau lain sekali 

Dan aku suka.

“Lagi ngapain di sini, Pak Indra?” ucap Bu Citra sembari menata posisi duduknya di dekat Indra.

“Ehm … saya rencananya mau nonton film. Bu Citra sendiri?” 

“Saya lagi jalan-jalan sama keluarga. Ehm … rasanya agak aneh ya kita ngobrol formal seperti ini, padahal kita sedang tidak di lingkungan sekolah,” ucap Bu Citra diselingi tawa ringan. 

Indra juga merasakan hal yang sama. Terlepas dari profesi mereka sebagai guru, mereka juga mempunyai kehidupan normal seperti anak-anak muda lainnya.

“Kalau di luar sekolah, sepertinya memang lebih enak kalau kita bicara santai tanpa ada embel-embel Pak atau Bu,” sahut Indra. 

“Gimana kalau aku memanggil Pak Indra dengan sebutan Mas? Kebetulan Pak Indra satu tahun lebih tua dari saya.”

“Aku sih nggak keberatan kalau Bu Citra memang nyaman dengan itu.”

“Panggil saya biasa saja, Mas. Pakai kamu atau Citra aja biar lebih santai.”

Indra mengangguk dengan tingkah yang sedikit kikuk. Namun, dia mencoba untuk membiasakan diri. Keduanya kembali melanjutkan obrolan mereka dengan santai. Membicarakan hal-hal ringan di luar pekerjaan.

Indra lebih banyak menjadi pendengar daripada pembicara. Dengan memberikan ruang kepada Citra untuk berbicara panjang lebar, Indra bisa mengenal Citra lebih dekat. Dia jadi tahu kalau Citra jauh lebih humoris ketimbang saat dia berada di sekolah.

Menurut pengakuan Citra, dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dia punya seorang kakak laki-laki yang berprofesi sebagai seorang dokter, sedangkan adik perempuannya masih duduk di bangku SMP. 

“Kalau Mas Indra anak ke berapa?” Citra balik tanya ke Indra. Perempuan itu juga ikut menggali informasi tentang kehidupan pribadi Indra.

“Nggak punya adik dan nggak punya kakak alias anak tunggal,” jawab Indra dengan sedikit bercanda.

“Wah, enak banget. Nggak pernah dibanding-bandingin sama orang tua.”

“Emangnya orang tua kamu gitu?”

“Iya. Nggak terlalu sering juga, sih. Cuma pas nilaiku jeblok aja. Ayah selalu membandingkan aku dengan kakakku yang jenius,” jawab Citra sembari mengarahkan tatapannya ke langit. Seolah-olah, dia sedang mengingat kembali momen tersebut.

“Ngomong-ngomong, kenapa Mas Indra mau jadi guru? Jarang-jarang loh sekarang ada cowok yang mau jadi guru?” Citra kembali bertanya dengan topik yang berbeda.

“Sebenarnya, aku dulu itu bandel dan susah diatur. Aku pernah ikut geng motor pas masih SMA. Namun, ada salah satu guruku yang sangat hebat. Dialah yang membuat pandangan hidupku jadi berubah,” ucap Citra. 

“Wah, keren juga kisah hidupmu, Mas. Aku jadi merasa terharu.”

“Biasa aja, Cit. Nggak perlu dilebih-lebihkan,” Indra berusaha bersikap biasa dengan tertawa ringan, padahal hatinya sangat berbunga-bunga mendengar pujian dari Citra.

Sayangnya, perbincangan yang menyenangkan itu harus terhenti ketika Citra dipanggil oleh adiknya. “Maaf ya, Mas Indra. Kita sambung obrolan ini di lain waktu.” Citra beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri keluarganya. 

Setelah Citra menghilang di balik kerumunan para pengunjung, Indra baru teringat dengan agenda utamanya hari ini. Dia terlalu asik mengobrol dengan Citra sampai-sampai dia lupa bahwa jam tayang filmnya telah lewat lima belas menit.

“Ah, sialan,” ucap Indra sembari berlari terbirit-birit menuju ke bioskop.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang