Tujuh tahun yang lalu
Siapa yang nggak kenal Indra Aditya Hermawan? Semua murid SMA Harapan Cakrawala pasti mengenalnya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi tidak pendek juga. Gaya rambutnya cepak dengan motif petir di sisi kanannya. Hobisnya bolos jam pelajaran, suka berbuat onar, dan juga balap liar.
Hari itu, Indra seperti biasa nongkrong di gudang terlantar yang ada di belakang sekolahnya. Berdasarkan gosip yang simpang siur, gudang itu katanya hantu. Tidak banyak murid yang berani ke tempat tersebut.
Indra punya pandangan yang berbeda. Bukannya takut, dia malah menjadikan tempat tersebut sebagai markas rahasianya bersama dengan beberapa temannya. Salah satunya adalah si Agus yang biasa nongkrong bareng Indra di warkop Cak Roso.
Mereka suka tidur-tiduran di sana apabila mereka malas belajar di kelas. Sesekali, mereka menghisap rokok sembari menyeruput kopi yang mereka pesan terlebih dulu di kantin.
“Bagi rokoknya, Ndra?” Agus seperti biasa suka nebeng rokok sama Indra. Kebetulan, dia berasal dari keluarga ekonomi sulit. Jadi, uang sakunya pas-pasan. Paling mentok, dia cuman bisa beli nasi pecel sama segelas air mineral. Itupun ukuran mini.
“Nih!” Indra menyodorkan sebungkus rokok mild kepada Agus. Teman-temannya yang lain pun ikut-ikutan.
Buat Indra, hal itu tidak menjadi masalah karena loyalitas pertemanan menurutnya lebih penting ketimbang sebungkus rokok. Indra berpikiran demikian selama dia punya duit. Kalau dia lagi bokek, gantian dia yang minta roko ke temannya.
“Eh, nanti malam kalian mau lihat gue balapan, nggak?” tanya Indra dengan antusias. Dia tidak sabar memamerkan atraksi barunya kepada teman-temannya.
“Siapa lawannya?”
“Si Ceper. Anak SMA sebelah. Kemarin, gue baru mengirimkan tantangan ke dia,” jawab Indra sembari menghembuskan rokok yang baru dia hisap.
“Lo udah gila? Emangnya lo berani lawan dia? Lo tahu sendiri dia itu jagoan di daerah sini?” Agus bertanya dengan nada meremehkan Indra. Bukannya dia meragukan kemampuan Indra, tapi emang si Ceper punya rekor kemenangan yang mengesankan.
“Santai aja! Gue nggak bakal tanding kalau gak punya persiapan. Percaya deh sama gue dan si Guntur!” jawab Indra dengan optimis. Guntur adalah nama motor kesayangannya. Meskipun model lama, tetapi mesin serta knalpotnya telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk balapan.
“Jam berapa balapannya?”
“10 malam.”
“Oke, siap! Kita nanti bakal ke sana.”
***
Sesuai waktu yang telah dijanjikan, Indra beserta teman-temannya kumpul di dekat lokasi balapan. Situasi di sana sangat ramai. Kebanyakan, mereka yang menonton balapan itu adalah anak-anak seumuran Indra.
Meskipun masih kelas dua SMA, Indra punya nyali yang tinggi. Adrenalinnya selalu terpacu saat dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Dia bahkan tidak kapok meskipun dia pernah jatuh beberapa kali.
Selama kurang lebih lima belas menit Indra menunggu, Ceper kelihatan menggeber motornya dari kejauhan. Dia datang bersama teman-teman satu gengnya. Para penonton kelihatan bersorak mendukungnya.
“Lo udah siap?” Ceper bertanya dengan nada merendahkan serta memasang wajah yang angkuh. Dari wajahnya, kelihatan sekali bahwa dia tidak menganggap Indra selevel dengannya. Dia menerima tantangan ini karena dia tidak ingin dibilang pengecut oleh Indra.
“Lebih dari siap. Jangan nangis kalau lo nanti kalah sama gue!” balas Indra dengan tatapan yang tidak kalah sinis. Para pendukung mereka mulai bertaruh dengan nominal uang yang bervariasi. Minimal seratus ribu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
Fiksi UmumSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...