Satu bulan tanpa terasa telah terlewat. Semuanya berjalan seperti biasa. Namun, ada satu kabar baru yang membuat Indra cukup terkejut. Bu Sri rencananya mau pensiun beberapa bulan lagi. Katanya, beliau mau fokus mengurus cucu di rumah.
Bagi Indra, sosok Bu Sri sudah seperti ibunya. Beliau seringkali memberikan wejangan tentang kehidupan, khususnya saat berumah tangga. Indra bakalan kangen dengan Bu Sri jika beliau nanti pensiun.
Indra masih ingat betul jasa Bu Sri yang begitu besar. Karena peran beliau, Indra bisa menjalin hubungan yang dekat dengan Bu Citra. Beliau seringkali menyeletuk secara spontan kalau Indra dan Bu Citra terlihat sangat serasi.
Namun, mau bagaimana lagi. Usia Bu Sri sudah hampir memasuki kepala enam. Indra bisa memaklumi bahwa Bu Sri sudah tidak bisa mengajar dengan optimal, apalagi anak-anak jaman sekarang cukup susah diatur.
“Nggak seperti zaman dulu. Anak-anak dulu itu sangat sopan sama guru. Saya suka pusing dengan tingkah laku anak-anak milenial zaman sekarang.” Bu Sri selalu mengeluhkan hal tersebut berulang-ulang.
Sebenarnya bukan hanya Bu Sri saja yang merasakan permasalahan tersebut. Indra sangat yakin bahwa semua guru di luar sana merasakan demikian. Perubahan perilaku anak-anak tidak lepas dari perkembangan media dan teknologi yang semakin maju.
Keputusan Bu Sri untuk pensiun tentu saja berdampak pada formasi para guru dalam mengajar di kelas. Beliau adalah wali murid dari kelas empat. Dengar-dengar, posisi itu akan digantikan oleh Bu Susanti yang kini memegang kelas satu.
Sementara itu, posisi wali murid kelas satu rencananya akan dialihkan kepada Bu Citra yang punya sifat penyabar. Agar lebih mudah beradaptasi, Bu Citra akhir-akhir seringkali ditugaskan untuk mengajar mata pelajaran selain Bahasa Inggris di kelas satu.
“Ehm … capek juga ternyata mengajar anak-anak kelas satu. Mereka sangat aktif dan suka main sendiri,” keluh Bu Citra kepada Indra ketika mereka sedang istirahat di ruang guru.
“Kamu nggak sendirian, kok. Saya yang memegang kelas dua juga merasakan hal yang sama, apalagi pas hari pertama saya mengajar. Ada anak yang mencret di kelas,” jawab Indra dengan tawa yang keras. Bu Citra pun ikut tertawa hingga wajahnya yang tadi serius jadi kelihatan lebih rileks.
“Tapi, benar kata Pak Indra. Ada serunya juga. Mereka kelihatan lucu-lucu dan bikin saya ketawa, apalagi si Renita yang tadi kelihatan ceria pas saya minta nyanyi lagu Bintang Kecil,” celetuk Bu Citra dengan menyebut sebuah nama.
Indra terdiam sejenak lalu tersenyum. Renita adalah putri Valen. Diam-diam, Indra seringkali memperhatikan dia dari kejauhan. Dia memang anak yang cerdas seperti ibunya yang dulu sering juara kelas.
“Pak Indra? Lagi mikirin apa?” Bu Citra melambai-lambaikan tangannya tepat di wajah Indra yang bengong tiba-tiba.
“Ehm … enggak mikirin apa-apa, kok.” Indra tampak gugup. Perbincangan singkat itupun berakhir karena bel tanda jam istirahat telah berakhir. Indra dan Bu Citra langsung menuju ke kelas mereka masing-masing.
***
Pada hari Minggu, Indra mengajak Bu Citra untuk jalan-jalan keluar untuk mencari udara segar. Dia telah berpikir matang-matang bahwa dia ingin melakukan pendekatan yang lebih serius dengan perempuan tersebut.
Mereka berdua berkunjung ke wisata hutan bambu yang sangat hits. Tempat tersebut dipenuhi oleh banyak wisatawan, mulai dari pengunjung lokal hingga ada beberapa bule luar negeri yang sedang mampir ke sana.
Bu Citra masih tampil sederhana dengan kemeja putih beserta jilbab abu-abu plus membawa tas kulit yang menambah kesan anggun pada dirinya. Indra sempat terpukau melihat penampilan perempuan itu.
Mereka berjalan pelan di antara rimbun dedaunan bambu yang terlihat sangat asri. Udara di sana terasa segar sekaligus menyejukkan. Suasana tersebut memang cocok untuk melepas penat di tengah rutinitas sehari-hari.
“Jarang-jarang banget Mas mengajakku jalan,” ucap Bu Citra sembari mengarahkan tatapannya ke dedaunan hijau yang ada di sekelilingnya.
“Emangnya enggak boleh, Citra?” balas Indra.
“Boleh, kok. Aku sudah mendapat izin dari mama.”
Bu Citra kemudian menjelaskan kepada Indra bahwa keluarganya lumayan ketat dalam mengawasi pergaulannya. Apabila dia mau pergi ke suatu tempat, dia harus selalu izin ke mama atau papanya terlebih dulu.
“Beda sama orang tuaku. Mereka ngebebasin aku begitu aja,” sahut Indra sembari tertawa.
Dari dulu, dia selalu tertarik dengan cerita kehidupan Bu Citra, khususnya perihal kisah asmaranya. Indra selalu ragu untuk menanyakan hal tersebut karena dia tidak mempunyai momen yang tepat. Rasanya sangat kurang sopan apabila dia menanyakan hal itu secara tiba-tiba.
Namun, situasi kali ini sangatlah mendukung. Sekat di antara mereka yang dulu cukup jauh kini terasa begitu dekat. Setelah Indra menceritakan masa lalunya kepada Bu Citra, dia merasa kalau perempuan itu jadi lebih terbuka terhadap dirinya.
“Ngomong-ngomong, apa Citra pernah jatuh cinta dengan seseorang?” Indra tiba-tiba mengatakan pertanyaan itu begitu saja. Bu Citra tampak terkejut. Dia menghentikan langkahnya sembari sibuk mengingat-ingat sesuatu.
“Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu, Mas?”
“Ehm … Aku hanya ingin mengenal kamu lebih dekat. Kalau kamu merasa enggak nyaman, kamu enggak perlu repot-repot menjawab pertanyaan itu, kok.”
Mereka berdua saling membisu selama beberapa menit. Suasananya terasa sangat canggung. Indra sedikit menyesali tindakannya. Mungkin, dia terlalu terburu-buru untuk membicarakan masalah hati kepada Bu Citra.
“Jujur, aku sangat jarang membicarakan masalah percintaan kepada orang lain. Kalau Mas Indra tanya apakah aku pernah jatuh cinta dengan seseorang, tentu saja pernah. Aku percaya bahwa semua orang dunia setidaknya pasti pernah jatuh cinta sekali dengan seseorang.”
Kalimat Bu Citra terdengar sangat puitis.
“Orang itu pasti adalah cowok yang hebat sampai-sampai bisa membuat Bu Citra jatuh cinta,” sahut Indra dengan suara yang lembut.
“…….” Bu Citra kelihatan tersipu malu tanpa bisa berkata-kata. Wajahnya bersemu merah dan tidak berani menatap kedua mata Indra.
Pembicaraan mereka pun berhenti sampai di situ saja. Respons Bu Citra cukup menjawab sedikit rasa penasaran Indra. Jauh di lubuk hatinya, Indra merasa bahwa dia merasa punya kesempatan, tetapi dia tidak mau terlalu kepedean.
Setelah berjalan-jalan cukup lama di tempat tersebut, Bu Citra mengajak Indra untuk pulang karena dia punya janji dengan teman-temannya untuk nonton di bioskop. Sebelum perempuan itu pergi, Indra ingin memberikan sesuatu.
“Ehm … Citra, tunggu sebentar!” ucap Indra sembari meraih saku kanan jaketnya. Dia lalu mengeluarkan sebuah gelang dengan manik-manik yang terlihat lucu.
“Kenapa Mas Indra tiba-tiba memberiku gelang?” Bu Citra tampak terkejut sekaligus bingung.
“Enggak apa-apa. Aku hanya ingin memberikan sesuatu ke kamu. Anggap gelang itu sebagai hadiah pertemanan,” balas Indra sembari tersenyum.
Bu Citra menerima gelang tersebut dengan gurat wajah yang sulit dijelaskan. Malu bercampur senang, apalagi Indra berinisiatif untuk memasangkan benda tersebut di pergelangan tangan kiri Bu Citra.
“Ehm … terima kasih banyak, Mas.” Bu Citra lantas meninggalkan Indra yang masih terpaku di tempat parkir. Motor matik Bu Citra semakin lama semakin menjauh hingga sempurna menghilang dari pandangan Indra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
General FictionSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...