Bab 3

29 5 0
                                    

Gosip tentang adanya guru baru di SD Bunga Sejahtera langsung menyebar dengan cepat hanya dalam satu hari, khususnya di kalangan para guru. Kecuali Indra dan Pak Subroto, semua guru yang mengajar di SD tersebut adalah kaum ibu-ibu.

Indra memang belum mengenal mereka semua, tetapi dia sempat berbincang-bincang dengan Bu Retno yang mengurusi masalah administrasi sekolah. Beliau mempercayakan Indra untuk menjadi guru sekaligus wali kelas dua.

Sejak tiga puluh menit yang lalu, Indra telah berada di ruang guru sembari mempersiapkan modul pelajaran hari ini. Dari gurat wajahnya, dia terlihat tidak sabar untuk datang ke kelas dan menyapa murid-murid barunya.

Bel tanda masuk pelajaran telah berbunyi keras. Indra ingat betul nada suara tersebut. Dia jadi kangen dengan nuansa stasiun. Rasanya seperti baru kemarin dia naik kereta api jurusan Surabaya menuju Bandung untuk mengurus berkas-berkas kelulusan dan persiapan wisuda.

Dari ruang guru, Indra butuh beberapa meter untuk menuju ke kelas dua. Dia berjalan dengan santai sembari menikmati aroma matahari pagi. Imajinasinya tengah asyik membayangkan gurat wajah anak-anak kelas dua SD yang masih lugu-lugunya.

Sesampainya di depan pintu kelas dua, Indra disambut dengan teriakan keras yang menghebohkan seisi ruang kelas tersebut. “WOI, REZA MENCRET DI KELAS!” ucap seorang anak laki-laki bertubuh gendut di bangku bagian belakang.

Tatapan anak-anak di sana langsung tertuju pada satu anak yang terlihat diam dengan wajah pucat di bangkunya. Sialan, pikir Indra. Dia tidak pernah menduga bahwa kesan pertamanya di kelas itu cukup buruk.

“Pak, kasihan Reza! Perutnya sakit, tuh!” salah satu anak perempuan ikut berkomentar. Indra menghela napas sejenak sebelum dia bersuara. “Tenang anak-anak! Kalian duduk dulu di bangku kalian masing-masing,” ucapnya sembari mendekat ke arah anak bernama Reza.

“Kamu beneran mencret?” tanya Indra memastikan. Dia ingin mengonfirmasi bahwa itu bukan candaan semata. 

Reza tetap diam tanpa suara. Spontan, bau-bau kurang mengenakkan tercium di hidung Indra. Baunya tentu saja familiar bagi semua orang. Meskipun menyengat, Indra berusaha untuk memasang reaksi yang normal di depan anak-anak.

“Reza, kalau kamu sakit lebih baik pulang saja hari ini. Bapak akan menelpon orang tua kamu kalau kondisi kamu sedang tidak baik-baik saja,” ucap Indra dengan lemah lembut. Reza hanya manggut-manggut pertanda setuju.

Setelah mendapatkan nomor ibunya Reza dari Bu Retno, Indra langsung melakukan panggilan telepon dan memberitahukan situasi yang terjadi. Ibunya bilang bahwa dia akan menjemput Reza secepatnya.

Sepuluh menit berlalu sampai ibu Reza datang. Kebetulan, rumahnya tidak begitu jauh sehingga beliau tidak perlu lama-lama untuk sampai sekolah. Indra membantu membopong Reza dan mengantarnya ke pintu gerbang.

“Terima kasih banyak, Pak!” ucap ibunya Reza. “Iya, sama-sama, Bu. Reza segera diperiksakan ke dokter ya. Takutnya nanti ada apa-apa,” balas Indra karena sejujurnya dia merasa khawatir dengan kondisi Reza.

Gara-gara insiden sakit perut yang tidak terduga, proses pembelajaran di kelas sempat terganggu. Indra butuh waktu untuk membuat suasana jadi kondusif. Ditambah lagi, Indra baru menyadari bahwa anak-anak kelas dua sepertinya memang sangat aktif.

“Selamat pagi, anak-anak! Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, ketua kelas tolong memimpin doa teman-temannya.” 

Anak yang duduk di sisi kiri bangku paling depan langsung bersuara lantang. Kebiasaan berdoa di awal pembelajaran sudah menjadi tradisi yang umum di sekolah. Hal itu bisa menjadi pembelajaran positif dan mengandung nilai-nilai religius bagi mereka.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang