Usaha nasi goreng Indra laris manis. Hampir setiap malam dagangannya habis. Kalau masih sisa, paling tinggal satu hingga tiga porsi saja. Itupun Indra bagikan kepada bapak-bapak tukang becak yang suka mangkal tidak jauh dari tempatnya berjualan.
Meskipun demikian, yang namanya jualan tidak selalu ramai setiap hari. Ada-ada saja momen ketika dagangan sepi. Contohnya adalah malam ini. Kebetulan, hujan turun cukup deras selama berjam-jam dan mereda mendekati tengah malam.
Dagangan Indra masih banyak. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Demi memecah suasana yang terlihat muram, Yono tampak mengajak Indra bercanda sembari menghisap rokok filter kesukaan mereka.
“Mau nunggu berapa lama lagi kira-kira, Ndra?” tanya Yono. Indra melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia rencananya ingin di sana lebih lama lagi. Toh besok hari libur. Jadi, dia bebas begadang tanpa takut bangun kesiangan.
“Balik mendekati tengah malam aja, Yon. Emangnya lo lagi ada urusan? Kalau lo ada urusan mendadak, kita balik sekarang aja,” ucapnya.
“Santai gue, mah! Cuma, nanti malam ada pertandingan bola Liverpool vs Manchester City. Sayang banget kalau dilewatkan,” jawab Yono. Dia adalah pecinta sepak bola. Kalau sudah berbicara tentang bola, dia suka nyerocos tanpa henti. Gaya bicaranya pun tidak kalah dari komentator bola.
Satu jam berlalu tanpa terasa. Hanya ada dua pembeli yang mampir dalam rentang waktu tersebut. Satu pembeli hanya memesan satu porsi untuk dimakan di sana, sedangkan pembeli yang satunya pesan tiga bungkus untuk dibawa pulang.
Memasuki jam selanjutnya, suasana jadi semakin sepi. Indra mengajak Yono untuk berkemas-kemas karena dia merasa sudah tidak ada lagi pembeli yang datang. Satu per satu perlengkapannya ditata ke tempat semula.
Tanpa mereka duga, sekelompok geng motor berhenti tepat di depan mereka. Indra dan Yono langsung bersiap siaga dan memasang kuda-kuda demi berjaga-jaga apabila anak geng motor itu mencari masalah.
Pengendara paling depan mematikan motornya lalu dia menghampiri Indra pelan-pelan. Tubuhnya tinggi dan gempal. Dari gesturnya, bisa dipastikan bahwa dialah pemimpin rombongan geng motor ini. Indra tidak bisa melihat wajahnya karena pengendara itu masih belum mencopot helmnya.
Berbicara tentang geng motor, Indra jadi teringat dengan masa lalunya. Saat masih SMA, dia sangat suka kebut-kebutan di jalan dan sering terlibat balapan liar bersama teman-temannya. Momen itu tidak akan pernah lagi bisa terulang.
Entah mengapa, Indra merasa adrenalinnya semakin terpacu ketika pengendara motor itu mendekati Indra. Ada yang aneh di benak Indra. Dia merasa familiar dengan cara berjalan pengendara itu.
Setibanya di hadapan Indra, pengendara itu mencopot helmnya. Benar. Indra tidak asing dengan wajah tersebut. Dia adalah kenalannya saat masih SMA.
“Ceper?” ucapnya dengan rasa yang tidak percaya. Pria yang disebut ‘Ceper’ itu tidak langsung merespons. Dia seperti mengingat-ingat sesuatu. Selang beberapa detik, dia akhirnya baru sadar kalau itu Indra.
“Jancuk! Lo Indra? Sialan, gue sampai pangling sama lo! Gimana kabar lo, Ndra?” sahut Ceper dengan antusias. Mereka telah lost contact selama bertahun-tahun. Indra terakhir berkomunikasi dengan Ceper saat dia masih semester satu. Kebetulan, Ceper juga kuliah di luar kota seperti Indra.
“Gue baik-baik aja, Bro! Gue pikir lo tadi adalah berandalan yang mau cari masalah ke sini. Eh, ternyata teman lama. Masih suka main motor, nih?” tanya Indra basa-basi.
“Yoi. Gue lagi demen banget sama moge. Performanya mantap, cuy! Ngomong-ngomong, gue kesini bukan mau cari masalah. Gua ke sini karena gue denger ada warung nasi goreng yang katanya enak benget. Eh, ternyata lo yang jualan.”
Indra memberikan kode kepada Yono untuk menurunkan kembali peralatan memasaknya. Jarang-jarang, dia bisa bertemu teman lama seperti saat ini. Dia lalu membuatkan pesanan untuk sepuluh porsi sesuai dengan jumlah anggota geng motor Ceper.
Ceper hanyalah nama julukan yang diberikan oleh Indra dan teman-temannya saat mereka masih SMA. Nama aslinya adalah Tomi Rahardian. Karena dia dulu sangat suka motor ceper, dia pun dipanggil dengan sebutan itu.
“Ngomong-ngomong, gimana ceritanya lo bisa jualan nasi goreng, Ndra?” tanya Ceper karena penasaran sembari menunggu pesanannya datang.
“Panjang ceritanya, Bro. Ini pekerjaan sampingan gue. Sekarang, gue ngajar di salah satu SD,” jawab Indra sambil menggoreng nasi dengan cekatan layaknya chef profesional.
“Wah, serius lo? Gue nggak pernah menyangka temen gue yang dulu nakal bisa jadi seorang guru,” sahut Ceper dengan mata yang terbelalak.
“Dua rius. Kalau lo gak percaya, lo mampir deh kapan-kapan.”
“Gak perlu repot-repot, Ndra. Entar anak-anak malah takut pas melihat gue.”
Mereka berdua saling berkelakar dan tertawa sembari mengenang masa-masa SMA mereka. Mereka dulu sekolah di SMA yang berbeda, tapi lokasinya cukup berdekatan. Mereka sempat bermusuhan dan beradu kecepatan dalam balapan.
Indra masih ingat betul dengan cara berkendara Ceper yang ugal-ugalan. Pada saat itu, mereka berdua hanyalan anak ingusan yang tidak memikirkan masa depan serta konsekuensi atas perbuatan mereka. Namun, mereka sekarang sudah berubah jadi lebih baik.
Ceper sekarang menjadi seorang pemilik toko onderdil dan suku cadang motor yang cukup terkenal di Surabaya. Orang tuanya memang kaya dan punya modal gede. Mereka mirip seperti orang tua Indra yang selalu mendukung passion anaknya.
“Trus, ini komunitas lo yang sekarang?” tanya Indra penasaran. Ceper mengangguk lalu memperkenalkan teman-temannya satu per satu. “Kalau lo tertarik buat gabung, pintu buat lo terbukar lebar,” balas Ceper dengan sedikit terkekeh.
“Bukannya gue gak minat, gue sudah sibuk dengan keseharian gue, Per. Pagi mengajar di sekolah. Malam berjualan nasi goreng,” jawab indra.
Perbincangan mereka tidak berlangsung lama. Usai makanan mereka habis, salah satu teman Ceper mengajaknya untuk lanjut berkeliling kota. Dengan sedikit berat hati, Ceper berpamitan dengan Indra sembari menyodorkan uang untuk membayar nasi goreng barusan.
“Udah nggak usah! Khusus malambini gue gratisin buat kalian,” kata Indra yang menolak dengan tegas.
“Terima aja, Ndra! Lo pasti butuh uang ini bisa lo gunakan buat beli bahan-bahan untuk jualan besok. Teman ya teman. Bisnis ya bisnis. Kalau memang kita benar temenan, kita harusnya mendukung satu sama lain. Nggak minta gratisan!” ucap Ceper dengan santainya.
Indra memang ikhlas menggratiskan makanan barusan. Setelah dia mendengar kata-kata Ceper, dia jadi sungkan untuk menolak uang tersebut. “Ya, sudah. Terima kasih banyak, Bro! Lain kali, mampir ke sini lagi, ya!”
“Pasti!”
Tanpa perlu berlama-lama, Ceper beserta teman-temannya langsung melengang di jalanan. Begitupula dengan Indra dan Yono. Mereka berdua langsung bergegas pulang karena waktu sudah melewati tengah malam.
Di sepanjang perjalanan pulang, ada satu hal yang mengganjal di benak Indra. Dia ingin menanyakan tentang keberadaan Valen kepada Ceper. Barangkali, teman lamanya itu tahu sesuatu. Namun, pertanyaan itu urung dia katakan karena hatinya masih diselimuti ketakutan dan keraguan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
General FictionSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...