Bab 16

10 1 0
                                    

“Muka lo masih kusut aja, Ndra?” ucap si Agus. Pertanyaan terus saja dilontarkan oleh Agus selama beberapa hari terakhir. Dia sudah mendengar cerita dari Indra tentang insiden yang terjadi malam tersebut. 

Indra tidak menggubris ucapan Agus. Dia sibuk menghisap rokoknya sembari mengamati langit-langit atap gudang tua yang menjadi markas mereka. Suasana hatinya masih sangat buruk. Jadi, membolos pelajaran adalah solusi yang tepat buat Indra.

Jujur, Indra masih kepikiran dengan perkataan ayah Valen kemarin. Ada rasa trauma yang membekas karena baru pertama kali dia mendapatkan ancaman seperti itu. Hatinya jadi ragu untuk menemui Valen.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Indra langsung cabut ke rumahnya. Sudah tiga hari dia tidak nongkrong di warung dekat SMA Ceper. Ketika Ceper menanyakan kabarnya, Indra hanya beralasan bahwa dia lagi sibuk. 

Indra mengunci dirinya di dalam kamar sembari memutar lagu-lagu rock barat. Lantas, dia berteriak sekencang-kencangnya untuk melampiaskan kekesalannya. Kata-kata kasar terus bermunculan dari mulutnya.

Saking kerasnya musik yang dia putar, Indra tidak sadar bahwa ponselnya sejak tadi berdering keras. Dia baru mengetahui hal itu setelah dia menurunkan volume musiknya. Itupun terpaksa karena ibunya marah-marah dan menggedor-gedor pintunya.

“Siapa sih yang iseng nelpon sampai enam belas kali?” Indra menggerutu dalam hati ketika dia melihat nomor yang tidak dikenal. Dia melempar kembali ponselnya ke atas kasur. Belum lima menit, ponsel itu berdering lagi.

“Halo! Dengan siapa?” ucapnya ketus.

“Ehm… Ini benar dengan Indra?” jawab penelpon tersebut. Seorang perempuan. Suaranya terdengar sangat lembut dan sopan. Indra terdiam untuk sesaat. Meskipun samar-samar, dia tahu bahwa suara tersebut adalah suara Valen.

“Ini Valen, ya?” tanyanya memastikan.

“Iya, Ndra. Aku pengen berterima kasih sekaligus meminta maaf atas insiden malam itu. Kira-kira, kita bisa ketemu secara langsung, nggak?” ucap Valen.

“Bukannya gue nggak mau, tapi gue takut dimarahin bokap lo. Lo pasti udah tahu kalau gue dilarang ketemu lo lagi,” Indra bertanya balik dengan suara yang agak saja.

“Tenang saja. Gue sudah bicara baik-baik sama orang tua gue kalau malam itu cuma kesalahpahaman. Mereka malah pengen berterima kasih kepada lo, Ndra.”

“Serius? Nggak bohong, kan?”

“Iya, ngapain juga gue bohong,” jawabnya dengan sedikit cekikikan.

“Sore ini gue lagi kosong. Kalau lo mau, sekarang aja. Mau ketemuan di mana?”

“Di kafe aja. Aku tunggu di sana,” ucap Valen sembari memberitahukan lokasi kafe itu kepada Indra. Dia lalu menutup panggilan telepon tersebut.

Aneh bin ajaib. Suasana hati Indra yang suram selama berhari-hari langsung berubah ceria dan dipenuhi dengan pelangi. Refleks, dia jingkat-jingkat sembari tersenyum sendirian. Persis seperti orang yang baru menang jackpot.

***

Sebenarnya, Valen tidak hanya ingin berterima kasih dan meminta maaf kepada Indra. Dia masih berhutang sebuah penjelasan tentang malam itu. Dia butuh waktu sebelum akhirnya dia siap untuk menceritakan semuanya kepada Indra. 

Karena dia yang mengajak Indra, dia sengaja datang lebih dulu. Dia memesan secangkir coffe latte kepada pelayan lalu dia mencari tempat yang pas untuk ngobrol. Entah mengapa, dia merasa cemas sekaligus penuh harap. Ini baru pertama kalinya dia merasa seperti itu.

Lima menit kemudian, Indra muncul dari balik pintu dengan gaya berpakaiannya yang biasa, yaitu kaos hitam, jaket, serta celana jeans. Dia menelisik ke sekitar untuk mencari-cari keberadaan sampai kedua matanya menangkap Valen yang tengah tersenyum ke arahnya.

“Lo sudah lama menunggu gue?” ucap Indra sembari menata tempat duduknya. 

“Masih baru aja, kok. Maaf ya udah ganggu waktu lo.”

“Santai aja. Gue malah seneng, kok, bisa ketemu dan ngobrol sama lo hari ini. Lagipula, gue juga kangen sama sifat jutek lo yang biasanya,” jawab Indra yang telah kembali normal seperti dia yang biasannya.

“Gue aslinya nggak jutek tau. Lo aja yang nyebelin,” balas Valen sembari tertawa. Tawa itu membuatnya terlihat semakin manis di mata Indra. Mereka kemudian bercanda ringan sembari menunggu kopi V60 yang dipesan Indra datang. 

“Ngomong-ngomong, lo bisa tahu nomor gue dari si Ceper, ya?”

“Kok tahu?”

“Sudah gue duga. Kan Ceper pernah bilang ke gue kalau kalian ini teman sekelas.”

“Gue rencananya sih mau ngomong langsung ke lo dari kemarin-kemarin. Tapi, lo nggak pernah datang lagi ke SMA gue setelah kejadian itu. Karena itulah, gue jadi terpaksa nelpon lo,” jawab Valen seraya mengetuk-etukkan jari telunjuknya di atas meja.

“Tenang aja. Gue jadi bisa dapat nomor HP lo secara cuma-cuma. Pas gue tanya si Ceper, katanya dia nggak punya nomor lo,” sahut Indra.

“Maaf-maaf aja. Nomor gue mahal. Jadi, nggak bisa gue kasih ke semua orang.”

Indra menyeruput kopinya sejenak sebelum dia melanjutkan obrolan. Begitupun dengan Valen. Obrolan ringan itu berlangsung selama beberapa menit sampai mereka tiba pada topik permasalahan utama.

“Jadi, gimana ceritanya lo bisa diusir dari mobil dan hujan-hujanan sendirian malam itu?”

Valen menghirup napas dalam-dalam sebelum ia bercerita. “Semua gara-gara Dion,” ucapnya singkat. Kabut yang menyelimuti pikiran Indra akhirnya mulai tersingkap. Dia sudah menduga bahwa si brengsek itulah yang menjadi biang kerok atas permasalahan malam itu.

“Kenapa sih lo mau jalan sama cowok model begituan?” Indra bertanya penasaran.

“Ya, lo tahu sendiri kalau si Dion itu cakep terlepas dari sifatnya yang brengsek. Banyak teman-teman gue yang naksir sama dia. Kebetulan, dia ternyata suka sama gue.”

“Terus?”

“Awalnya, dia pikir dia tidak seburuk rumor yang beredar karena dia suka bersikap baik ke gue. Tapi, ternyata gue yang terlalu polos. Dia lebih busuk dari yang gue bayangkan,” ucap Valen dengan nada yang emosional. Kedua tangannya mengepal seperti mau meninju seseorang.

“Bentar-bentar! Hubungan kalian memang sejauh apa, sih?” Indra memotong cerita Valen. 

“Gue merasa kalau kita cuma dekat aja. Belum sampai pada tahap pacaran. Namun, Dion suka bertindak melewati batas.”

Valen kemudian menjelaskan bahwa malam itu dia beserta teman-temannya diajak ke klub malam oleh Dion. Rencananya, Dion ingin membuat Valen lengah dan teler akibat minuman beralkohol agar cowok itu bisa melancarkan aksi busunya.

Valen tentu saja tidak mau meskipun dia dipaksa minum. Dia lalu meminta Dion untuk mengantarkannya pulang. Selama berada di mobil, Dion suka meraba-raba tubuhnya. Karena sudah tidak nyaman, Valen memaksakan diri untuk turun dari mobil.

“Brengsek!” ucap Indra spontan usai mendengar cerita itu. Emosinya langsung naik secara tiba-tiba. Rasanya, dia ingin menghajar cowok itu dan membuatnya babak belur. 

“Kenapa lo sampai semarah itu, Ndra?” Valen bertanya. Dia tidak menduga bahwa ceritanya bisa membuat Indra bereaksi sampai seperti itu.

“Gue nggak terima aja kalau cewek yang gue sukai diperlakukan seperti itu oleh cewek lain,” jawab Indra lugas. Dia hanya mengutarakan isi pikirannya secara blak-blakan. Namun, tanggapan Indra memberikan kesan yang dalam bagi Valen. 

Pertemuan sore itu berakhir menjelang senja. Indra mengajak Valen untuk pulang karena dia baru ingat kalau dia disuruh mengantarkan ibunya ke dokter. Sebelum meninggalkan tempat itu, Valen mengatakan satu hal penting lagi kepada Indra.

“Ehm … kapan-kapan, lo mampir ke rumah gue, ya. Bokap sama nyokap pengen ketemu dan meminta maaf atas insiden malam itu,” ucap Valen. Indra hanya mengangguk sembari tersenyum kecut. Dia masih takut berhadapan dengan bokapnya Valen yang galaknya setengah mati. 

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang