Bab 12

22 2 0
                                    

Sudah lama rasanya Indra tidak berbicara di depan umum. Terakhir kalinya adalah saat Indra melakukan seminar proposal skripsi di hadapan dosen beserta teman-temannya di kelas. Meskipun dia sesekali grogi, dia masih bisa menguasai presentasi selama dia punya persiapan yang matang.

Sayangnya, situasi hari ini sangat jauh berbeda. Indra tidak grogi karena masalah presentasi atau bicara di depan umum. Namun, dia merasa deg-degan karena dia saat ini berhadapan dengan ibu-ibu wali murid.

Semua wali murid di situ didominasi oleh mama-mama muda, khususnya ibunya Fando yang paling mencolok di antara mereka. Indra mengamati mereka satu per satu. Mereka cantik-cantik semua meskipun ada yang dandanannya terlalu menor. 

“Selamat pagi, Ibu-Ibu wali murid yang saya hormati sekalian! Terima kasih atas kesediaan Ibu-Ibu untuk datang dalam pembagian rapot hari ini,” ujar Indra usai menenangkan dirinya. Lalu, dia memanggil satu per satu wali murid dan melakukan sesi obrolan singkat terkait evaluasi pembelajaran putra/putri mereka.

Selama enam bulan ini, Indra diam-diam melakukan observasi terhadap murid-muridnya, baik dalam hal kemampuan akademik maupun sikap mereka sehari-hari. Dia bisa tahu kelebihan serta kekurangan setiap murid. Berdasarkan hasil observasi itulah, dia bisa memberikan saran yang tepat kepada 

“Fando Albredo Bagaskara,” ucap Indra ketika dia sampai pada absen tersebut. Ibunya Fando beranjak dari tempat duduknya. Sembari membawa tas mewahnya, dia berjalan dengan anggun menuju ke meja Indra.

“Selamat pagi, Pak Indra!” Ibu Fando tersenyum ke arah Indra sembari menjabat tangannya. Tangan perempuan itu sangat lembut. Indra jadi semakin grogi. Fokusnya sedikit terganggu karena dia ingat pemandangan indah tempo hari.

Entah benar atau perasaan Indra saja, ibu Fando menatap Indra dengan tatapan mata yang sedikit genit. Apa mungkin karena Indra masih muda dan terlihat good-looking? Jadi, ibu Fando merasa tertarik dengannya? Ah, Indra jadi membayangkan yang tidak-tidak.

“Pagi, Bu! Ini rapot Fando. Nilai ujiannya bagus-bagus. Fando dapat peringkat lima pada semester ini. Semoga semester depan prestasinya bisa lebih meningkat,” ucap Indra sembari menatap wajah ibu Fando.

Saat menerima rapot tersebut, perempuan itu kembali menunjukkan senyuman di bibirnya yang terbalut lipstik warna merah. Gejolak-gejolak yang dulu pernah dirasakan Indra kini kembali bergelora. Dengan cepat, dia segera mengakhiri sesi perbincangan tersebut sebelum fantasinya menjadi semakin liar.

“Terima kasih banyak sudah mengajari putra saya dengan sabar, Pak Indra.” Ibu Fando lalu pergi meninggalkan ruang keras tersebut.

Selain membicarakan masalah evaluasi pembacaran, ada beberapa wali murid yang mengeluh tentang biaya pendidikan dan ingin mengajukan keringanan. Kebetulan, mereka berasal dari keluarga dengan ekonomi ke bawah.

Indra pun memberitahu mereka untuk tidak perlu khawatir karena pemerintah sudah memberikan bantuan untuk siswa yang kurang mampu. Indra menyarankan kepada mereka untuk membicarakan masalah tersebut kepada Bu Retno yang memegang urusan administrasi, termasuk keuangan sekolah.

Sesi pertemuan wali murid itupun berakhir pada jam dua belas siang. Lebih lama satu jam dari yang diperkirakan oleh Indra. Dia tidak langsung pulang karena dia ingin bersantai sejenak di ruang guru sambil ngobrol-ngobrol ringan dengan Bu Citra serta guru yang lain.

Indra bersiul-siul kegirangan sembari melewati lorong kelas. Suasana hatinya sedang bagus hari ini karena dia sebentar lagi bisa liburan tanpa memikirkan pekerjaan. Dia sudah punya rencana untuk bertamasya ke luar kota bersama teman-teman tongkrongannya.

Namun, kesenangan itu hanya berlangsung sementara. Indra terdiam di tempat saat dia melihat seorang perempuan muda yang berjalan berdampingan bersama seorang gadis kecil. Mereka berjalan dari arah yang berlawanan dengan Indra.

Sampai pada satu titik, tatapan mereka berdua saling bertemu. Kenangan-kenangan yang dulu terkubur kini bangkit lagi. Membawa pilu serta kesedihan yang sempat menghantui Indra bertahun-tahun yang lalu.

“Valen …” Indra memanggil nama perempuan itu secara spontan. Perempuan itu sempat tercekat untuk sesaat sebelum dia membuang muka dan berlalu begitu saja. 

Perasaan Indra jadi bertambah kacau. Dia termenung di tempat dan bingung dengan situasi yang barusan terjadi. Apakah mungkin dia salah orang? 

“Tunggu!” Indra tidak mau menyerah. Dia mengejar perempuan itu untuk memastikan sekali lagi bahwa dia benar-benar Valen. Namun, perempuan itu terlanjur pergi sebelum Indra sempat menyusulnya.

***

Setibanya di rumah, Indra langsung mengurung diri di dalam kamarnya. 

Sembari mendengar lagu Bruno Mars yang berjudul It Will Rain, Indra menatap sebuah cetak foto lama yang selalu dia simpan dalam dompetnya. Foto itulah yang mengabadikan kisah cintanya bersama seorang perempuan bernama Christie Valentine.

Hatinya dipenuhi dengan emosi yang saling berkontradiksi. Cinta bercampur dengan benci. Rindu bercampur dengan lara. Dia jadi teringat kenangan-kenangan manis bersama Valen hingga momen ketika Valen meninggalkan dirinya secara tiba-tiba tanpa kabar yang jelas. 

Apa alasan dia pergi? Pertanyaan itu selalu menggantung di benak Indra selama bertahun-tahun ini.

Demi menumpahkan segala emosi yang tertahan hari ini, Indra menengguk sebotol vodka dengan kandungan alkohol 40%. Dia sudah lama tidak menyentuh minuman beralkohol semenjak dia masuk kuliah. Tetapi, hari ini adalah pengecualian. 

Dia ingin menikmati tegukan demi tegukan minuman itu seraya mengingat semua hal yang telah terjadi di antara dia dan Valen. 

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang