Selang lima bulan pasca acara kunjungan wisata di Jogja, Indra membuat sebuah keputusan yang menggemparkan semua orang di SD Bunga Sejahtera. “Apa? Kamu mau berhenti mengajar?” ucap orang-orang yang terkejut dengan keputusan Indra, apalagi Pak Subroto.
“Kenapa kok tiba-tiba begini, Mas Indra? Apa ada yang salah dari sekolah ini? Apa Mas Indra sudah tidak betah mengajar di sini?” tanya Pak Subroto yang masih belum bisa menerima keputusan Indra begitu saja.
“Saya betah, kok. Namun, masih ada beberapa hal yang ingin saya kejar. Saya ingin mengembangkan diri saya menjadi lebih baik dengan kuliah di luar negeri. Bila Bapak suatu hari nanti tidak keberatan, saya mungkin akan kembali mengajar di sini lagi, Pak.”
“Tenang saja! Pintu kami selalu terbuka buat Pak Indra,” jawab Pak Subroto.
Pasca perasaannya ditolak oleh Bu Citra, Indra mengatur kembali tujuan hidupnya. Dia menyadari kalau dia mungkin belum saatnya menikah. Dia ingin melakukan banyak hal-hal baru pumpung dia masih single.
Setelah membuat pertimbangan yang matang, Indra memutuskan untuk kuliah ke salah satu universitas terbaik di Finlandia. Dia ingin memperdalam ilmunya tentang pendidikan agar dia bisa menjadi guru yang jauh lebih baik.
Indra sudah mengurus persiapannya sebaik mungkin. Urusan biaya bukan masalah besar karena Indra punya tabungan yang banyak dari hasil usahanya nasi goreng. Selama dia pergi, dia mempercayakan bisnis tersebut kepada Yono.
Tanpa terasa, Indra sudah mengajar di sekolah itu lebih daru satu tahun. Dia jadi sedih karena hari-hari menyenangkan di sana akan berakhir. Dia sempat berpamitan kepada murid-muridnya yang kini sudah naik ke kelas tiga.
Mereka semua tampak sedih dan menangis histeris saat mereka tahu bahwa Pak Indra mau pergi, apalagi si Fajar. Anak itu selalu teringat kebaikan Pak Indra yang suka membelikannya roti seribuan di saat dia kelaparan.
Bagaimanapun juga, selalu ada perpisahan di setiap pertemuan.
“Saya enggak pergi jauh, kok. Kalau saya nanti sudah balik dari luar negeri, saya pasti akan mampir ke sini lagi.” Indra mencoba untuk menenangkan. Dia pun memberikan kenang-kenangan berupa buku catatan yang bersampul lucu.
“Sampai jumpa lagi, anak-anak! Kalian belajar yang rajin, ya!” Indra bergegas menuju ke tempat parkir karena dia harus bersiap-siap untuk terbang besok pagi.
Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Bu Citra yang memasang ekspresi sedih. Beberapa bulan terakhir, hubungan mereka sangatlah canggung karena mereka merasa sungkan untuk sekadar ngobrol.
“Mas Indra jadi pergi?” tanyanya dengan suara yang lirih.
“Iya, Bu Citra. Titip murid-murid saya, ya!” balas Indra dengan senyuman lalu berlalu begitu saja.
Dari luar Indra memang tampak tegar, tetapi hatinya sangatlah rapuh. Dia merasa sedih karena dia tidak bisa lagi bertemu dengan Bu Citra. Namun, dia merasa bahwa keputusan itu mungkin jalan yang terbaik untuk mereka berdua.
***
Keesokan harinya, Indra diantar oleh keluarganya menuju ke bandara satu jam lebih awal dari waktu keberangkatan. Dia menunggu di lobi bandara sembari mendengarkan musik lewat earphone. Lagu yang dia putar saat ini adalah Leaving on A Jet Plane yang dibawakan oleh John Denver.
Selama lagu itu diputar, ingatan Indra jadi mengembara. Kilas balik peristiwa yang terjadi selama setahun belakangan bermunculan silih berganti di kepala Indra. Haru, tangis, tawa bercampur menjadi satu.
Mendekati menit-menit terakhir lagu tersebut, ponsel Indra berdering dengan keras. Ada sebuah panggilan dari seseorang yang tidak dia sangka-sangka. Indra bergegas mengangkat panggilan itu sembari bertanya-tanya.
“Kamu ada di mana, Mas? Kamu belum berangkat, kan?”
Suara itu tidaklah asing bagi Indra. Tentram dan menenangkan seperti yang dia dengar sehari-hari, terlepas dari nada bicaranya yang panik.
“Aku masih duduk di lobi, Bu Citra. Ada masalah apa, ya?”
“Oke. Aku ke sana sekarang juga.”
Pasca panggilan itu berakhir, Indra berubah menjadi risau. Harapan yang dulu pernah gugur tiba-tiba tumbuh kembali. Apakah mungkin semesta ingin memberikan kabar yang membahagiakan untuk Indra pada hari ini?
Tatapan Indra menelisik di antara kerumunan orang-orang yang lalu lalang sembari menunggu kedatangan Bu Citra. Selang beberapa menit kemudian, dia melihat Bu Citra yang tampak gelisah celingukan ke sana ke mari.
Usai pandangan keduanya bertemu, Bu Citra langsung menghampiri Indra yang duduk di atas sebuah bangku. Sepertinya, Bu Citra baru berlarian karena dia terlihat ngos-ngosan dan wajahnya basah oleh keringat.
“Habis olahraga, Bu Citra?” celetuk Indra dengan gaya humornya seperti biasa.
“Mas masih bisa ngelawak aja. Aku lelah tahu habis lari-larian buat cari kamu. Aku pikir Mas sudah berangkat,” jawabnya dengan napas yang masih tidak beraturan. Indra spontan menyodorkan sebotol air mineral untuk Bu Citra.
“Ehm … jadi, kenapa kamu repot-repot kemari, Cit? Apa ada masalah yang belum aku selesaikan?” tanya Indra usai perempuan itu tampak tenang.
“Begini, Mas. Aku membatalkan pertunanganku. Aku ke sini karena aku ingin menjawab perasaan Mas yang sempat kamu ungkapkan di Candi Prambanan pada saat itu. Jika Mas Indra masih belum berubah pikiran, aku mau jadi istri kamu, Mas.”
Ekspresi Indra sontak langsung berubah menjadi bahagia. Senyumnya melebar seolah-olah dia baru saja memenangkan Grammy Award. Namun, dia merasa sangat penasaran tentang keputusan Bu Citra barusan.
“Kenapa tiba-tiba kamu jadi berubah pikiran?”
“Sebenarnya, aku masih ragu-ragu dan belum yakin sepenuhnya dengan tunanganku, Mas. Aku beberapa kali salat istikharah agar aku bisa mendapatkan petunjuk dari Allah untuk kebaikanku di masa depan. Akhirnya, aku baru mendapatkan jawabannya tadi pagi, Mas.”
“Jadi, bagaimana?”
“Ehm … calon tunanganku ternyata punya selingkuhan, Mas. Aku sebenarnya sudah menduga dari kemarin-kemarin. Namun, aku jadi semakin yakin setelah aku mendapatkan DM langsung dari selingkuhan itu tadi pagi. Dia mengirimkan foto-foto bersama tunanganku yang membuatku merasa jijik.”
Pertunangan tersebut sebenarnya bukan atas keinginan pribadi Bu Citra. Dia hanya menuruti permintaan kedua orang tuanya. Dia tidak bisa menolak karena dia takut membuat ayahnya marah besar.
“Aku sekarang yakin kalau Mas Indra adalah orang yang tepat untuk menjadi imamku kelak. Jadi, bagaimana Mas Indra?” ucap Bu Citra dengan tatapan cemas penuh harap.
“Ehm … kalau kamu mau menunggu dua atau tiga tahun lagi, kamu masih mau?” ucap Indra usai menghela napasnya cukup dalam.
Bu Citra mengangguk sembari tersenyum. Matanya tiba-tiba sembab karena dia menangis saking bahagianya. Begitupula dengan Indra yang merasa bahwa doa-doanya telah dikabulkan oleh Tuhan yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.
“Ya sudah. Aku pergi dulu, ya. Jaga hatiku baik-baik! I Love You, Citra.” Indra beranjak dari kursinya usai dia melihat jam tangannya. Waktu keberangkatan pesawatnya tinggal sebentar lagi.
“I Love You Too, Mas Indra.” Bu Citra membalas seraya melambaikan tangannya ke arah Indra yang semakin lama semakin menghilang tertelan kerumunan.
Meskipun jarak mereka kini terpisah sangat jauh, mereka akan tetap sabar dan menanti sembari menjaga hati masing-masing. Lagipula, kerundian akan membuat rasa cinta mereka kian menumpuk dari hari ke hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
General FictionSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...