Pasca malam kemarin, Indra tidak begitu fokus mengajar di kelas. Ingatannya masih dipenuhi oleh Valen beserta teka-teki yang masih menyelimutinya. Dia penasaran. Kira-kira, seperi apakah rupa suami perempuan itu?
Anak-anak yang biasanya tidak begitu memperhatikan mendadak jadi peduli terhadap Indra. Meskipun mereka masih polos, mereka bisa menangkap ada sesuatu yang berbeda dari Indra dibandingkan hari-hari biasanya.
Melihat wajah Indra yang kusut seperti tanaman yang kekeringan, salah satu muridnya ada yang menyeletuk. “Pak Indra sedang sakit, ya?”
“Maaf, anak-anak. Saya lagi kurang enak badan hari ini,” jawab Indra berbohong sembari memasang senyum palsu di depan mereka. Meskipun kenyataannya tidak begitu, jawaban itu setidaknya bisa menjawab rasa penasaran mereka.
Ketika Indra sedang istirahat dan makan di kantin bersama Pak Subroto, nafsu makannya pun tiba-tiba menghilang. Lelucon receh Pak Subroto yang biasanya membuat Indra terhibur jadi terasa sangat hambar.
Para guru pun turut penasaran dengan perubahan sikap Indra, apalagi Bu Wendah yang suka menggali-gali informasi sebagai bahan gosip.
“Lagi putus cinta, Pak Indra? Atau punya hutang yang belum lunas?” kata Bu Wendah dengan santainya. Niatnya sih hanya bercanda karena Indra biasanya menanggapi dengan santai di hari-hari biasanya.
Namun, perkataan Bu Wendah entah mengapa terasa sangat menusuk. Indra pun hanya memasang wajah datar saat merespons pertanyaan tersebut. Bu Wendah yang tadinya biasa-biasa saja jadi takut usai melihat reaksi Indra.
Indra sempat berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah dia curhat ke Bu Citra. Akan tetapi, selama inti permasalahannya masih belum terselesaikan, perasaan Indra masih saja terbebani dengan trauma masa lalunya.
Dulu ketika Valen meninggalkannya tanpa pamit, Indra berusaha mati-matian untuk bangkit dan melangkah secara perlahan-lahan. Mengingat masa-masa itu terasa sangat menyakitkan bagi Indra. Hari-harinya kelabu. Semangat hidupnya runtuh begitu saja.
Namun, Indra masih memaksakan diri untuk menerima kenyataan tak peduli sesulit apapun rasanya. Dia menyibukkan diri dan tidak memberikan ruang sedikitpun untuk memikirkan Valen. Salah satu alasannya kuliah di luar kota adalah agar dia bisa melangkah maju tanpa terbebani masa lalu.
Indra pun sempat menjalin hubungan dengan beberapa teman perempuannya saat kuliah. Sialnya, dia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama seperti saat dia bersama Valen. Dia pun seringkali menjadikan mereka sebagai pelampiasan saja.
Sampai pada akhirnya, Indra memutuskan untuk sendiri dan mencoba berbagai hobi serta pengalaman baru yang menyenangkan. Setidaknya, keseruan yang dia dapatkan dari situ bisa menyembuhkan lukanya sedikit demi sedikit.
Sialnya, luka-luka itu kembali kambuh pada saat ini. Membiarkan Indra tenggelam dalam lautan sendu.
***
Di sebuah angkringan yang cukup luas, Indra tampak duduk gelisah sembari menatap lampu-lampu bohlam terang yang tergantung di langit-langit angkringan itu. Dia bergumam kesal karena Ceper belum juga datang.
Sejak kemarin-kemarin, dia berusaha untuk mengajak Ceper bertemu karena dia ingin curhat. Sayangnya, Ceper cukup masih sibuk mengurusi pekerjaannya. Karena itulah, mereka perlu mengatur jadwal terlebih dahulu agar mereka bisa bertemu.
“Sorry, Ndra. Gue maunya sih dari kemarin-kemarin menemui lo. Tapi, gue nggak bisa ninggalin pekerjaan gue akhir-akhir ini. Maklum, gue mau buka cabang di luar kota,” ucap Ceper usai dia sampai di angkringan tersebut.
“Sok sibuk banget lo!” sahut Indra dengan suara yang ketus. Ceper bisa menangkap kekesalan yang tertahan pada wajah Indra. Dia jadi turut prihatin. Sudah sangat lama dia tidak melihat Indra berekspresi tersebut.
Sebelum mendengar Indra curhat panjang lebar, Ceper memesan segelas wedang jahe, dua bungkus nasi bantingan, beserta beberapa tusukan telur puyuh, sosis, dan jeroan ayam. Nafsu makannya ternyata masih belum berubah dari dulu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Indra langsung memulai sesi curhatnya bersama Ceper. Dia langsung menuju ke inti permasalahan, mulai dari pertemuannya dengan Valen di sekolah sampai dia melihat Valen bersama seorang pria.
Ceper hanya diam sembari merokok selama mendengar cerita Indra yang terasa sungguh emosional. Dia tidak berani menyela sedikitpun agar dia tidak merusak suasana tersebut. Dia pun berusaha untuk menjadi pendengar yang baik.
“Lo bisa bayangin rasanya jadi gue. Pernah sayang tapi ditinggal begitu aja tanpa penjelasan. Pas dia balik lagi ke kehidupan gue, dia mengabaikan gue gitu aja. Parahnya lagi, gue masih belum bisa menerima kenyataan kalau Valen sudah punya anak.”
Indra bercerita dengan mata yang berkaca-kaca. Tangisnya mau tumpah, tapi dia tahan sekuat tenaga. Malu sama abang-abang penjaga angkringan beserta remaja-remaja canggung yang sibuk main gim di dekatnya.
“Ndra, gue nggak bisa berkomentar banyak. Namun, saran gue masih sama seperti dulu-dulu. Lo harus mengikhlaskan semua yang terjadi antara lo dan Valen. Lo harus bisa menerima keputusan Valen. Gue sangat yakin kalau dia punya alasan yang nggak bisa dia kasih tahu ke lo. Lagipula, kalian sekarang punya kehidupan masing-masing. Biarlah masa lalu menjadi cerita.”
Saat mengeluarkan kata-kata barusan, Ceper merasa seperti seorang motivator yang handal bersilat lidah. Dia sampai terheran-heran karena jarang-jarang dia bisa mengeluarkan kata-kata semanis dan sebijak itu.
“Lo banyak-banyak ibadah biar hati lo adem. Tuhan pasti akan kasih jawaban terbaik buat lo apabila sudah waktunya,” sambung Ceper dengan suara pelan. Lagi-lagi, kata-kata bijak terlontar dari mulutnya.
“Udah mirip guru ngaji aja lo, Per!” celetuk Indra dengan sedikit tertawa.
Meskipun saran Ceper terdengar klise, Indra merasa bahwa perkataan Ceper sedikit memberikan pencerahan atas kegalauannya. Dia memang belum menemukan jawaban, tetapi dia hanya perlu menunggu sampai waktu menjawab semuanya.
***
Indra kembali menjalani rutinitasnya sebagai seorang guru seperti biasa. Dia tidak mau membiarkan kesedihannya berlarut-larut. Kasihan anak-anak apabila mereka tidak bisa belajar secara optimal karena permasalahan pribadi Indra.
Indra hanya perlu berusaha untuk memfokuskan dirinya pada momen-momen yang bisa dia nikmati saat ini. Dia bisa menikmati keseruannya di kelas bersama para murid-muridnya atau melihat senyuman cantik Bu Citra yang cukup menenangkan hatinya.
“Selamat pagi, Bu Wendah!” ucap Indra kepada Bu Wendah yang baru saja tiba di ruang guru. Keduanya sempat canggung gara-gara masalah tempo hari. Jadi, dia berusaha untuk membuat semuanya kembali normal.
“Pagi, Pak Indra. Wah, sudah kembali ceria nih. Mimpi apa tadi malam?” balas Bu Wendah dengan suara gemesnya seperti biasa.
“Mimpi ketemu Sun Go Kong, Bun. Seru banget mencari kitab suci,” jawab Indra dengan menyeringai. Mereka berdua tertawa sembari mengobrol ringan-ringan di sepanjang jalan menuju ke ruang guru.
Guru-guru yang kelihatan ikut senang melihat Indra sudah kembali ceria, apalagi Pak Subroto yang sudah menyiapkan lelucon-lelucon baru. Walaupun lelucon itu masih garing seperti sebelumnya, Indra merasa kesehariannya tidaklah lengkap tanpa mendengarkan lelucon tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begini Rasanya Jadi Pak Guru
General FictionSetelah menganggur selama beberapa bulan, Indra akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah SD. Kabar itu sangat membahagiakan karena dia memang ingin mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar. Selama mengajar di SD ter...