Bab 5

20 5 0
                                    

Ruang guru masih sepi karena Indra hari ini memang sengaja datang terlalu pagi. Rencananya, dia ingin memanfaatkan Wi-Fi sekolah untuk meng-update gim di ponsel pintarnya. Tidak seperti di rumahnya, Wi-Fi sekolah tersebut terbilang cepat, apalagi jika tidak banyak yang mengakses. 

Gim tersebut melakukan pembaruan data dan membutuhkan sekitar 3 GB. Nanti siang, ada event baru di gim tersebut sehingga dia tidak mau ketinggalan.

Ketika Indra sedang menunggu proses pembaruan selesai, dia dikagetkan oleh suara langkah kaki yang berasal dari arah pintu. Refleks, dia menoleh ke sumber suara tersebut. Detik ini, rasanya dia seperti bermimpi.

Indra melihat perempuan yang kemarin. Kali ini, dia mengenakan pakaian batik serta jilbab cokelat. Seperti kemarin, perempuan itu yang menyapa Indra terlebih dahulu. “Selamat pagi, Pak!” ucapnya dengan ramah.

“Pagi, Mbak! Maaf, Mbak mau cari siapa, ya?” 

Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan Indra secara langsung. Dia  malah mendekat ke arah Indra. Usai meletakkan tasnya ke atas meja, perempuan itu menyodorkan tangannya ke Indra sembari memperkenalkan diri.

“Saya Citra Ayu Wulandari, Pak. Guru baru di sini. Saya diminta untuk mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris.”

“Oh begitu. Maaf, saya baru tahu kalau ada guru baru lagi di sini. Kebetulan, saya juga masih baru di sini. Belum genap dua minggu. Nama saya Indra,” Indra membalas perkenalan tersebut dengan tangan yang sedikit gemetaran.

Kegugupan Indra bukan tanpa alasan. Dia sudah lama menjalani kehidupan sebagai seorang jomblo ngenes. Selama kuliah, dia pernah berpacaran dengan beberapa perempuan. Namun, hubungan mereka selalu kandas di tengah jalan. Masalahnya selalu berada pada Indra.

Indra merasa bahwa dirinya tidak bisa membuka hatinya secara penuh kepada orang lain. Ada sisa-sisa kenangan masa lalu yang membuat dirinya belum bisa move on. Sekuat apapun Indra melupakannya, dia masih belum bisa.

Namun, Indra merasa ada yang aneh dengan dirinya hari ini. Jantungnya berdetak secara tidak beraturan. Setelah sekian banyak purnama berlalu, dia kini merasakan getaran itu lagi. Aneh. Namun, itu mungkin pertanda datangnya cinta.

“Halo! Apakah ada yang salah dengan penampilan saya, Pak?”Perkataan Bu Citra langsung membuyarkan lamunan Indra yang sedari tadi terpesona dengan perempuan tersebut.

“Ehm … maaf. Saya baru kepikiran dengan hutang di warung tetangga saya,” balas Indra dengan gelagapan. 

Bu Citra tampak tertawa kecil sebelum dia merespons perkataan Indra. “Saya pikir di sini tidak ada guru yang seumuran dengan saya. Saya bersyukur banget karena ada Pak Indra di sini.”

“Sama, saya juga senang dengan kehadiran Bu Citra di sekolah ini. Saya jadi punya teman ngobrol yang nyambung dengan topik yang lagi tren saat ini. Saya bosan mendengar jokes Pak Subroto setiap hari,” balas Indra dengan agak terbata-bata. 

Sembari menunggu guru yang lain datang, mereka berdua terlibat obrolan ringan. Mereka saling bertukar cerita tentang latar belakang mereka sekaligus awal mula mereka bisa mengajar di sekolah ini. Meskipun mereka baru kenal, mereka bisa langsung akrab.

Bu Citra menjelaskan bahwa dirinya adalah lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di salah satu universitas ternama di kota Malang. Sama seperti Indra, dia baru wisuda beberapa bulan yang lalu. Bedanya, Bu Citra lulus tepat waktu dengan nilai cumlaude.

Bu Citra aslinya sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pengajar di sebuah bimbel. Dia kemudian direkomendasikan oleh Bu Sri untuk mengajar di sekolah ini. Kebetulan, Pak Subroto ingin meningkatkan kemampuan murid-murid dalam mempelajari bahasa Inggris.

“Tunggu sebentar! Kok, Bu Citra bisa kenal dengan Bu Sri?” tanya Indra terheran-heran.

“Memangnya, Pak Indra belum tahu kalau saya ini sepupunya Bu Sri? Padahal, Bu Sri seringkali cerita loh tentang Pak Indra. Katanya, Pak Indra ini ganteng dan jago komputer,” jawab Bu Citra dengan antusias.

Indra jadi malu mendengar dirinya disanjung-sanjung seperti itu. Dia merasa berhutang kepada Bu Sri yang telah membuat citranya terlihat bagus.

“Ehm, memangnya Bu Citra tidak susah mengatur jadwal?”

“Kebetulan, jadwal mengajar saya di bimbel sore atau malam hari. Jadi, saya pikir tidak akan ada masalah. Saya malah senang karena saya bisa ketemu anak-anak yang lucu dan bikin gemes,” ucapnya dengan wajah yang bersemu kemerahan.

“Kalau itu, saya setuju sih,” jawab Indra dengan sedikit terkekeh. 

Di sela obrolan mereka, satu per satu kolega mereka datang, mulai dari Bu Wendah, Bu Ariani, Bu Sri, Bu Retno, Bu Sri, Bu Ratmi, dan Pak Subroto yang baru tiba lima menit sebelum bel tanda masuk berbunyi.

Indra dan Bu Citra langsung mempersiapkan diri untuk mengajar. Pagi ini, jadwal mengajar Bu Citra ada di kelas 3. Mereka berdua berjalan berdampingan sebelum berpisah menuju ke kelas masing-masing.

Beberapa menit barusan merupakan sebuah anugerah terbaik yang Tuhan berikan kepada Indra. Pikirannya dipenuhi dengan hormon kebahagiaan yang saling membuncah. Semangat mengajarnya pun jadi meningkat berkali-kali lipat.

Jatuh cinta terkadang membuat orang jadi kurang fokus. Begitu pula dengan Indra. Sesampainya di depan pintu kelas, sebuah penghapus papan tulis melayang tepat di jidat Indra. 

“Pak Indra, tadi ada tawon lebah gede banget,” Rosyid selaku ketua kelas memberikan laporan kepada Indra. 

“Iya, Pak. Niatnya mau saya usir dengan penghapus itu. Eh … malah kena Bapak. Saya mau minta maaf kepada Bapak,” ucap Bimo dengan ekspresi wajah menyesal. Lagi-lagi, Indra hanya bisa menghela napas. 

Selalu saja ada hal-hal yang tak terduga di kelas tersebut. Untungnya, suasana hatinya saat ini sedang bagus. Jadi, dia bisa mengabaikan permasalahan tersebut seperti halnya angin yang berlalu begitu saja.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang