Bab 4

24 5 0
                                    

Setiap manusia itu unik. Begitulah yang dipercayai oleh Indra selama ini. Sebagai seorang guru, dia percaya bahwa tidak ada murid yang bodoh. Mereka mungkin tidak bisa dalam satu aspek atau mata pelajaran tertentu, tetapi mereka pasti punya satu kelebihan yang mereka kuasai.

Setelah satu minggu mengajar di SD Bunga Sejahtera, Indra sudah bisa beradaptasi dan membaur dengan para guru serta suasana lingkungan mengajar di sana. Sama seperti murid, guru-guru di sana pun punya sifat dan keunikan masing-masing.

Contohnya adalah Bu Sri. Beliau sudah sepuh dan telah mengabdi selama kurang lebih 30 tahun di SD Bunga Sejahtera. Pembawaannya lembut. Cara bicaranya sopan. Namun, Indra baru-baru ini tahu bahwa beliau ternyata gaptek.

Kemarin, Bu Sri sempat meminta bantuan kepada Indra untuk mengirim berkas via surel. Beliau tampak kebingungan karena browser di laptopnya tidak berfungsi, padahal sudah di-Enter berkali-kali. 

 “Mas Indra, saya minta bantuannya. Laptop saya kelihatannya error,” kata beliau dengan nada mengeluh. Kebetulan, Indra saat itu sedang duduk di samping beliau. Indra yang sedari tadi sibuk mengecek lembar latihan siswa langsung teralihkan fokusnya. 

Saat mengecek laptop Bu Sri, Indra melihat sebuah gambar dinosaurus berwarna hitam ditambah tulisan No internet. Dia sontak menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu mengarahkan mouse ke arah ikon sambungan internet.

Koneksi internet laptop Bu Sri memang agak bermasalah, apalagi laptop beliau masih model lama. Indra perlu me-refresh berkali-kali dan melakukan pengaturan ulang untuk memperbaiki masalah tersebut.

“Sudah, Bu. Laptop Ibu tadi belum tersambung ke internet. Namun, masalahnya sekarang sudah beres. Silahkan dicek!” ucap Indra. “Wah, Mas Indra hebat. Makasih banyak,” balas Bu Sri dengan wajah yang sumringah.

Setelah berbincang-bincang singkat dengan Bu Sri, Indra baru tahu bahwa sekolah tersebut tidak mempunyai guru TIK. Masalah komputer dan segala tetek bengeknya pada awalnya diserahkan kepada Pak Ranu yang sekarang sudah pindah tugas.

Indra menduga bahwa tugas tersebut sebentar lagi akan menjadi tanggung jawabnya. Dia memang bukan ahli komputer, tetapi dia juga nggak gaptek-gaptek amat. Jadi, hal itu bukan masalah besar baginya.

Tidak jauh dari tempat duduk Indra dan Bu Sri, ada Bu Wendah dan Bu Ratmi yang biasanya suka ngerumpi pas jam istirahat. Indra suka curi-curi dengar pembicaraan mereka. Jadi, dia bisa tahu topik hangat yang sedang mereka perbincangkan.

Bu Wendah dan Bu Ratmi kelihatannya masih berumur sekitar 40’an. Karena mereka seumuran, mereka jadi gampang akrab sehingga obrolan mereka bisa satu frekuensi, apalagi mereka sama-sama penggemar sinetron Ikatan Cinta.

“Tadi malam saya emosi banget lihat Aldebaran bertengkar Andin. Sebagai perempuan, saya tahu betul perasaan Andin,” ucap Bu Wendah dengan menggebu-gebu. “Waduh, saya tadi malam nggak nonton, Bun. Kebetulan, saya lagi menemani suami menjenguk temannya yang sakit,” jawab Bu Ratmi dengan suara yang agak kecewa karena dia selalu rutin nonton TV sehari-hari.

Dalam hati, Indra hanya bisa menahan ketawanya. Reaksi Bu Wendah dan Bu Ratmi sama persis dengan ibunya saat menonton sinetron. Indra suka bingung dengan ibunya yang suka ngomel tiba-tiba, padahal dia tahu kalau adegan di sinetron itu hanya sandiwara.

Bu Arini sesekali juga ikut nimbrung dengan obrolan mereka berdua. Namun, dia kurang suka membicarakan masalah sinetron. Dia lebih sering mengeluh dan mengkritik pemerintah terkait kenaikan harga cabai rawit.

“Suami saya sukanya makan yang pedes-pedes. Jadi, saya bingung kalau harga cabai lagi naik seperti baru-baru ini,” keluhnya kemarin.

Dari semua guru yang ada di sana, hanya ada satu guru yang belum begitu akrab dengan Indra, yaitu Bu Susanti. Bukannya tidak mau akrab, Indra merasa sangat sungkan untuk mengajak ngobrol beliau karena beliau adalah sosok yang pendiam.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang