Bab 15

5 0 0
                                    

Udara terasa sangat dingin malam itu. Cuaca yang sedari pagi cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Hujan mengguyur deras jalanan. Membuat aspal menjadi licin. Rencana Indra untuk balapan bersama Ceper malam itu jadi terganggu.

“Gue balik dulu aja, Ndra!” ucap Ceper yang sudah kehilangan mood untuk balapan. Dia dan teman-temannya beralih posisi menuju ke angkringan langganannya untuk menghangatkan diri. Pumpung cuaca lagi pas.

Indra tidak berminat untuk ikut karena dia lupa membawa jas hujan. Dia memilih untuk berteduh sejenak di sebuah ruko yang tidak jauh dari sana. Jika hujan sudah agak reda, dia rencananya langsung pulang.

Indra mengambil sebatang rokok lalu menghisapnya untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk kulitnya. “Sialan! Sepi banget malam ini,” gerutu Indra lirih ketika dia menatap jalanan yang kosong. Hanya ada dua atau tiga kendaraan yang sesekali melintas. 

Pikiran Indra jadi tambah tidak karuan karena dia jujur sangat takut dengan hal-hal yang berbau horor. Namun, dia cukup sering mendengar cerita horor dari pengalaman orang-orang karena dia merasa kisah-kisah mereka sangat menarik. Dia pun jadi parno dan membayangkan yang tidak-tidak. 

Tiba-tiba, perhatian Indra teralihkan ke sebuah mobil hitam yang melintas di bawah guyuran hujan. Indra merasa tidak ada yang aneh dengan mobil tersebut. Pada jarak seratus meter dari tempat Indra berteduh, mobil itu mengerem secara mendadak.

Seorang perempuan terlihat keluar dari mobil tersebut. Dari gerak-geriknya, dia kelihatannya sedang cekcok dengan si pengendara. Karena tertutup derasnya suara hujan, Indra jadi tidak bisa mendengar percakapan mereka berdua.

Perempuan itu menutup mobil itu dengan kasar. Lantas, mobil hitam itu kembali melaju kencang. Membiarkannya sendirian di bawah guyuran hujan yang masih belum menunjukkan tanda-tanda reda.

Indra beranjak dari tempatnya untuk menghampiri perempuan itu. Dia tidak mau ikut campur dengan masalah mereka, tetapi dia tidak tega melihat seorang perempuan berjalan sendirian malam-malam.

Indra berlari menuju ke arah perempuan itu sembari mengarahkan jaketnya ke atas kepala agar tubuhnya tidak basah kuyup. Namun, cara itu tidak begitu efektif. Tubuhnya tetap basah terkena air hujan.

Dalam waktu kurang dari dua menit, Indra sampai ke tempat perempuan itu. Dia tercekat selama beberapa detik ketika perempuan itu menoleh ke arah Indra dengan ekspresi kebingungan. Wajah perempuan itu tidaklah asing bagi Indra.

“Valen!” ucap Indra dengan napas yang sedikit terengah-engah. Lalu, dia memegang tangan Valen lantas mengajaknya untuk berteduh ke tempatnya barusan. Perempuan itu hanya menurut. Tidak banyak berkomentar.

Mereka berdua terjebak dalam suasana yang sangat canggung. Indra yang biasanya tampil kocak di depan Valen berubah menjadi serius. Keduanya sama-sama bingung karena tidak punya topik pembicaraan yang tepat.

Indra sebenarnya punya banyak pertanyaan untuk diajukan kepada Valen. Namun, saat itu bukanlah waktu yang tepat, apalagi dia merasa kasihan melihat Valen yang tampak kusut dan tertunduk lesu. Perempuan itu duduk sembari memeluk lututnya. 

***

Hujan baru reda menjelang tengah malam. Dalam situasi yang masih gerimis, Indra mengantarkan Valen pulang ke rumah. Dia sempat mampir sejenak ke salah satu minimarket terdekat untuk membeli jas hujan.

Di sepanjang perjalanan, mereka berdua masih saling membisu. Namun, ada satu kebahagiaan yang membuat jantung Indra tidak berhenti berdebar-debar. Entah karena kedinginan atau takut jatuh dari motor, Valen tidak melepaskan pelukannya dari Indra.

“Sudah sampai nih!” ucap Indra tepat di depan rumah Valen. Perempuan itu turun dari motor Indra dengan langkah ragu-ragu. Dia menatap mata Indra dengan pandangan yang nanar serta senyuman bisu.

“Simpan rasa terima kasihnya buat besok aja!” Indra kembali berbicara dengan nada sedikit bercanda.

Tanpa disadari oleh Indra, ayah beserta ibunya Valen melangkah keluar dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajar, tidak ada orang tua yang tidak merasa khawatir saat anak perempuan mereka belum pulang sampai larut malam. Raut wajah cemas, takut, serta murka tergambar jelas di wajah kedua orang tua Valen, apalagi mereka melihat Valen pulang dengan seorang cowok yang penampilannya mirip berandalan. 

Ibunya spontan menarik tangan Valen, menceramahinya dengan nada bentakan, dan menyeretnya dengan paksa ke dalam rumah. Kedua mata Valen tampak sembab karena air matanya tanpa sadar terjatuh membasahi pipinya yang basah karena air hujan.

Sementara itu, ayahnya refleks menampar Indra guna melampiaskan seluruh amarahnya. 

“DASAR LAKI-LAKI BRENGSEK! TIDAK TAHU DIRI! SEENAKNYA AJA MEMBAWA PUTRI ORANG SAMPAI LARUT MALAM! GIMANA KALAU TERJADI APA-APA? KAMU MAU TANGGUNG JAWAB?” Semua sumpah serapah dan kata-kata kasar dilontorkan oleh pria paruh baya itu. 

Indra hanya bisa terdiam sembari mengelus pipinya yang sakit akibat tamparan barusan. Dia tidak punya kuasa untuk menyangkal atau membantah satu katapun. Apapun penjelasannya, ayah Valen  pasti tidak akan bisa menerimanya karena dia sedang dilanda emosi.

Teriakan ayah Valen rupanya menarik perhatian dari para tetangga, termasuk satpam kompleks yagn sedang berkeliling tidak jauh dari situ. Mereka kelihatannya penasaran dengan suara berisik yang membuat jam tidur mereka jadi terganggu. 

Ayah Valen tidak mau menjadikan permasalahan pribadi tersebut menjadi bahan tontonan. Sebelum situasi bertambah rumit, dia meminta Indra untuk segera pulang. “Jangan menemui putri saya lagi atau saya akan melaporkan masalah ini ke polisi!” ancam pria itu kepada Indra dengan tatapan mata yang tidak main-main. 

Malam itu, Indra pulang dengan perasaan yang carut marut. Giginya menggeretak. Wajahnya gusar. Dia merasa tidak terima karena dia tidak salah apa-apa. Seharusnya, pemilik mobil hitam itulah yang menjadi sasaran pelampiasan amarah kedua orang tua Valen.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang