Bab 17

35 2 0
                                    

Sesuai janji, Indra menuruti permintaan Valen untuk datang menemui orang tuanya. Tepatnya malam minggu. Kebetulan, kedua orang tua Valen berada di rumah pada akhir pekan. Mereka sibuk kerja di hari-hari biasa, khususnya ayahnya yang suka pulang larut malam.

Rumah Valen terbilang cukup mewah dan terdiri dari dua lantai. Luasnya pun membuat Indra berdecak kagum. Ada taman bonsai yang sangat terawat beserta kolam yang berisi ikan koi di sisi samping rumah.

Sejak pertemuan pertama mereka, Indra sudah menduga kalau Valen beserta keluarganya masih keturunan Chinese. Dinding-dinding rumah mereka dihiasi oleh kaligrafi-kaligrafi China yang dilukis dengan artistik.

Indra duduk di atas sofa ruang tamu dengan rasa cemas dan deg-degan. Rasa sakit dari tamparan malam itu masih belum dia lupakan sepenuhnya. Dia sudah mempersiapkan rencana untuk kabur apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.

Dari arah lantai dua, ayah beserta ibu Valen kelihatan menuruni anak tangga secara perlahan-lahan. Indra masih tertunduk lesu sembari memainkan jari-jarinya demi mengurangi rasa grogi. Dia tidak punya keberanian untuk menatap wajah kedua orang tua Valen. 

“Nak Indra!” ucap ayah Valen. Panggilan itu terdengar sangat ramah. Berbanding terbalik dengan intonasi yang didengar Indra pada malam itu. Dengan perlahan, Indra mendongakkan kepalanya dan menyapa ayah Valen.

“Iya, Om,” jawabnya dengan ekspresi yang kikuk. Hatinya jauh lebih lega dari beberapa saat yang lalu. Rasanya, dia seperti seekor rusa kecil yang berhasil melarikan diri dari predator yang berniat memangsanya.

Ayah dan Ibu Valen duduk berhadap-hadapan dengan Indra. Sementara itu, Valen duduk di sofa yang menghadap ke arah samping seolah-olah dialah yang menjadi penengah yang memediasi pertemuan hari itu.

“Saya sudah mendengar cerita lengkapnya dari Christie. Jadi, saya dengan tulus ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf kepada kamu karena saya telah berburuk sangka kepada kamu,” ucap beliau dengan tutur kata yang sopan.

“Tidak apa-apa, Om. Saya bisa memakluminya. Yang penting, jangan larang saya untuk ketemu sama Valen, Om!” Indra menyeletuk santai sembari cengengesan.

Ketegangan di ruang tamu itu lambat laun jadi mencair. Berubah menjadi suasana yang hangat dan bersahabat. Indra disambut dengan baik oleh keluarga Valen. Rasanya, dia sudah seperti menantu di keluarga tersebut.

Sesuai permintaan Valen, pembantunya sudah masak banyak hari ini khusus buat Indra. Ada berbagai masakan khas China yang disajikan. Indra sebenarnya sudah makan di rumah, tapi dia merasa sayang untuk melewatkan masakan tersebut.

Namun, Indra ingin memastikan satu hal sebelum dia menikmati hidangan tersebut. Dia memanggil Valen dan menanyakan sesuatu. “Val, ada daging babinya, nggak? Lo pasti udah tahu kan kalau gue gak makan babi?”

“Lo nggak bercanda, Ndra? Lo ternyata muslim? Gue pikir agama lo Kristen,” ucap Valen dengan memasang reaksi terkejut. Dia buru-buru memberitahu pembantunya untuk menyiapkan makanan yang tidak ada unsur babinya.

“Nak Indra! Jangan sungkan-sungkan! Silahkan dinikmati makanannya sepuasnya!” Ibu Valen yang merasa ada yang aneh dengan Indra karena anak itu belum menyentuh makanannya sama sekali. Kesalahpahaman itu kemudian diluruskan oleh Valen.

Malam itu, Indra pada akhirnya hanya menyantap satu ceplok telur dadar ditambah sup sayur hangat. Walaupun rasanya tidak begitu seberapa, kehangatan di meja makan itu membuat Indra jadi merasa tersentuh. 

***

“Kira-kira, ada berapa miliar bintang yang ada di langit?” tanya Valen kepada Indra.

Setiap kali perempuan itu merasa insomnia, dia suka menelpon Indra secara tiba-tiba ketika tengah malam, tepatnya pas Indra hendak mau tidur. Dia suka membicarakan hal-hal yang tidak jelas dengan Indra, apalagi jawaban Indra selalu kocak dan membuatnya tertawa.

“Triliunan mungkin. Cuma Tuhan yang tahu, Val. Ngomong-ngomong, kenapa sih lo suka melihat bintang? Mau jadi astronot?” Indra menjawab dengan santai sembari menahan kantuknya. 

“Gak ada alasan yang spesial. Gua suka aja melihat pemandangan langit malam yang menurut gue indah walaupun sering tertutup kerlap-kerlip lampu kota,” ucapnya dari seberang sana. 

“Mau gue telpon PLN biar ada pemadaman listrik?”

“Nggak usah. Nanti repot tau. Pasti banyak yang marah-marah,” balas Valen. Dari nada suaranya, perempuan itu tengah terpingkal-pingkal karena tak kuat menahan tawa.

“Ya udah, Ndra. Lo kelihatannya ngantuk banget. Sampai jumpa besok! Good night!” Kalimat penutup itu tidak dijawab oleh Indra. Valen sudah bisa menduga bahwa anak itu baru saja tertidur pulas.  

Dari hari ke hari, hubungan mereka berdua menjadi semakin dekat meskipun status mereka masih sebatas teman. Namun, mereka merasakan lebih dari itu. Tanpa perlu dijelaskan oleh kata-kata, mereka berdua tampak seperti kekasih yang saling mencintai satu sama lain.

***

Pada suatu sore, Indra mengajak Valen untuk jalan-jalan sembari menonton film romantis di bioskop. Setelah menggantungkan hubungan mereka selama kurang lebih satu bulan, Indra ingin memperjelas semuanya.

Indra tahu bahwa dia terlibat kisah cinta beda agama. Namun, dia saat itu masih sangat muda dan naif. Dia tidak begitu memikirkan hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang dia tahu hanyalah dia sangat mencintai Valen pada saat itu.

“Val, gue pengen jujur ke lo. Gue nggak tahu gimana ngomongnya. Namun, gue cuma pengen lo tahu kalau gue benar-benar sayang sama lo. Sebelum terlambat, gue pengen bilang terus terang. Lo mau nggak jadi pacar gue?”

“Hari ini gue pengen ngomong gitu, Ndra. Eh … keduluan sama lo,” jawab Valen dengan malu-malu. Kelihatan banget kalau dia saat itu lagi salah tingkah setelah mendengar pengakuan dari Indra.

“Jadi, gimana?” Indra bertanya sekali lagi untuk memastikan.

“Iya, gue mau jadi pacar lo.”

Indra sontak berjingkat-jingkat akibat kegirangan. Lantas, dia melakukan gerakan yang mirip seperti selebrasi pemain sepak bola. Hari itu adalah salah satu hari yang paling membahagiakan baginya. Valen resmi menjadi pacar pertama dalam sejarah hidupnya.

Sebagai kenang-kenangan pada hari itu, Indra mengajak Valen untuk berfoto di sebuah photobox yang ada di pusat perbelanjaan yang mereka kunjungi. Cetak foto tersebut ibarat prasasti yang mengukir kisah cinta mereka.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang