"Bunda," panggil seorang anak kecil berusia 5 Tahun yang baru saja memasuki dapur.
"Hey, Sayang," balas sang Bunda yang sedang memasak untuk makan siang.
"Bunda masak apa?"
"Masak sop ayam kesukaan kamu, Nak."
"Asik, makasih Bunda. Jiran sayang Bunda Chika selamanya," ucap Jiran mencoba menggapai Chika, pria kecil itu ingin mencium pipi Bundanya.
"Ish gak nyampe, Bunda tolong nunduk sedikit dong, aku mau cium Bunda." Mendengar permintaan anaknya Chika terkekeh gemas, ia menuruti permintaan putranya setelah mematikan kompor. Kemudian Jiran mencium kedua pipi Chika, ia tersenyum senang setelah melakukan itu.
"Ayo sekarang kita ke meja makan," ajak Chika setelah menegakan tubuhnya, ia kemudian membawa mangkuk sup yang sudah disiapkan ke meja makan.
Jiran duduk di samping kanan Chika, ia mengambil nasi dan lauk pauk sendiri. Melihat kemandirian putranya membuat Chika tersenyum bangga dan bahagia, pertumbuhan dan perkembangan putranya yang pesat membuat Chika senang.
"Makan yang banyak, Nak," kata Chika pada putrnya yang diangguki semangat oleh Jiran.
"Habis makan kita main ke taman ya, Bun. Hari ini Bunda libur kan gak ke Cafe?"
"Iya sayang, kamu makan yang banyak nanti di taman belakang Bunda temani main basket." Jiran semakin bersemangat mendengar apa yang dikatakan Bundanya.
***
Seperti yang diucapkan Jiran tadi, bahwa seusai makan ia ingin aku temani untuk bermain di taman. Kami membawa sebuah bola basket untuk dimainkan di taman belakang rumah yang memang dipasang sebuah ring basket mini.
Aku menatap putraku yang terlihat bersemangat untuk ditemani bermain basket. Selama ini aku selalu sibuk bekerja mengurus cafe peninggalan suamiku, jika kalian bertanya ke mana Arzee? Mengapa aku yang bekerja mengelola cafe? Jawabannya adalah suamiku telah meninggal. Ya, Arzee meninggal karena ada pendarahan di kepalanya, ia meninggal saat aku masih mengandung Jiran di usia 6 bulan.
Kepergian Arzee yang begitu tiba-tiba membuatku sangat terpukul, apalagi saat itu aku masih mengandung. Cukup sulit untukku bangkit dari keterpurukanku, aku bangkit saat mengingat pesan terakhir Arzee.
"Kalau aku udah gak di sisi kamu lagi, aku mohon kamu tetap lanjutkan hidupmu bersama anak kita, jaga dia dan besarkan dia. Aku percaya bahwa kamu mampu, aku yakin kamu akan menjadi ibu yang hebat untuk anak kita," ucapnya kala ia berada di rumah sakit dengan napas tersenggal.
"Gak, kita harus besarkan anak kita sama-sama. Kamu gak boleh ninggalin aku," tolakku menangis dengan sesenggukan, Arzee tersenyum dan mengelus tanganku.
"Sini deh kamu naik ke ranjang, aku mau cium perut kamu dan bicara sama anak kita." Aku mengikuti ucapannya, ia memeluk perutku dan mencintainya.
"Hallo jagoan Ayah dan Bunda, gimana kamu di sana, baik-baik aja kan? Ayah titip Bunda ya, Nak, tolong tumbuh dan berkembang menjadi anak yang hebat dan kuat. Jaga dan lindungi Bunda dari orang-orang jahat." Zee menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "maaf karena Ayah gak bisa jaga kalian lebih lama lagi, Ayah sayang kalian."
Setelah mengatakan itu, aku tak mendengar Zee bersuara lagi bahkan aku tak merasakan deru napasnya. Jantungku berdegup kencang, aku tahu suamiku telat tiada, tapi aku tidak dapat menerima itu. Aku menangis meraung memeluk tubuh Zee yang sudah terkulai lemah tak bernyawa.
"Bunda, ayo," panggil Jiran menyentuh tanganku, membuat lamunanku buyar.
"Ah, ayo sayang kita main." Aku beranjang mengikuti tarikan tangannya menuju depan ring.
Kami bermain dengan penuh semangat, aku bahagia melihatnya tertawa lepas seperti itu. Setelah cukup lama bermain, aku melihat Jiran yang duduk menatapku dengan tangan yang menopang dagunya.
"Zee, lihat deh. Putra kita sangat mirip dengan kamu, aku merasa sosok kamu di dalam diri putra kita. Zee makasih ya kamu udah menitipkan putra yang manis dan lucu seperti Jiran."
Jiran Pratama Harlan nama lengkap dari putraku yang berusia 5 tahun, sudah hampir 6 tahun lamanya Zee meninggalkanku. Tak mudah untukku bertahan selama itu apalagi saat anakku mulai menanyakan Ayahnya.
Rasanya sedih mendengar ia merindukan Ayahnya yang belum pernah dilihatnya secara langsung.
"Bunda kenapa nangis?"
Tanpa sadar ternyata aku menangis di depan putraku, kedua tangan mungilnya mengusap air mataku dan mengelus pipiku. "Bunda jangan nangis, siapa yang jahat sama Bunda? Sini biar Jiran lawan orangnya, Bunda tenang aja aku pasti lindungi Bunda." Sikap Jiran yang begitu dewasa ini membuat aku senang dan tak dipungkiri aku bangga dengan putraku.
"Gak ada yang jahat sama Bunda sayang, Bunda nangis karena kangen Ayah kamu," ucapku jujur karena aku yakin bohong pun percuma karena putraku takkan mudah percaya.
"Bunda kalau kangen sama Ayah tinggal berdo'a sama Tuhan, terus nanti Ayah dateng ke mimpi Bunda. Kemarin juga aku mimpi Ayah," katanya dengan ekspresi yang menggemaskan. Jiran duduk di pangkuanku dan menghadap ke arahku.
"Ohya, kamu mimpi apa sayang? Ayah bilang apa?"
"Ayah bilang kelak saat aku dewasa, harus jadi anak yang baik dan tidak boleh melawan Bunda. Ayah Zee juga bilang kalau aku harus jadi pria yang hebat dan kuat, Bun." Semangatnya dalam bercerita membuat aku teringat kala Zee koma. Aku tersenyum mendengar putraku bercerita.
"Aku akan wujudkan itu, jadi Bunda gak boleh sedih dan nangis lagi. Kalau ada yang jahatin Bunda bilang sama Jiran, biar aku marahin orangnya." Aku mengangguk dan tertawa melihat dia yang mengepalkan tangannya dengan semangat. Lalu, aku memeluknya erat dan menciumi wajahnya.
"Terima kasih Tuhan atas kebahagiaan yang telah Kau berikan," batin Chika. Ia sungguh bahagia walau harus hidup berdua bersama putranya di Bandung.
Setelah kepergian Zee dan kelahiran putra mereka, Chika memilih untuk menetap di Bandung, di sebuah rumah sederhana yang tak jauh dari cafe milik Zee yang ternyata sudah diganti menjadi atas nama Chika sebagai pemiliknya. Chika tidak menyangka bahwa Zee mengganti semua kepemilikan cafenya pada Chika. Itu semua Zee lakukan bahkan sebelum mereka menikah, tepatnya saat Zee melamar Chika setelah lulus SMA.
***
Akhirnya tamat.
Rencananya prtgh bulan mau buat crta lg, ada yg mau request couplenya?Terima kasih semua, see you again
KAMU SEDANG MEMBACA
ONLY TODAY (END)
General Fiction"Love is like war; easy to begin but very hard to stop." Kalimat itu yang selalu menjadi pegangan seorang Arzeendra Harlan atau yang kerap disapa Zee. Arzeendra memiliki 3 orang adik, sosok Kakak penyayang walau cuek. Seorang pemuda yang sulit dita...