Aroma sup ayam menyeruak memenuhi hampir seisi rumah. Seorang wanita paruh baya mengaduk sup itu pelan, lantas mencicipinya sedikit. Beberapa orang kerap kali mengakui bahwa masakannya lah yang paling enak. Dia cukup lihai dalam urusan dapur sampai-sampai lupa mengurus diri. Tubuhnya kurus dibalut daster corak bunga-bunga yang tampak agak kelonggaran. Senyum terukir di bibirnya tatkala dia melihat dari ekor matanya, putrinya keluar dari kamar dan menuju meja makan.
"Ada terong balado, kamu pasti lapar 'kan?" ujar Ratih tanpa mengalihkan perhatiannya dari sup ayam yang hampir matang.
Flo mengangguk meski sang Mama tidak melihatnya. "Iya, Ma."
Ketukan pintu mengalihkan perhatian keduanya. Ratih cepat-cepat menaruh sup itu di meja makan dan hendak membukanya.
"Eh, nggak usah, Ma. Biar Flora aja yang buka pintunya," sergah Flo cepat-cepat. Lantas Ratih mengangguk dan duduk di meja makan. Membiarkan putrinya yang membuka pintu.
Ketukan itu cukup nyaring terdengar karena jarak pintu dengan dapur tidak begitu jauh. Rumah mereka hanya satu lantai, tetapi cukup luas. Dapur dan ruang tamu maupun ruang keluarga berdampingan. Berada di satu ruangan yang luas tanpa sekat. Model rumah klasik khas jaman dulu.
"Iya cari sia-."
Kata-kata Flo terhenti. Tiba-tiba dia mematung tatkala mendapati seorang lelaki dibalut jaket jeans sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Yang tanpa disangka-sangka, orang yang bahkan sedang dihindari olehnya sendiri, Bimo.
Bimo tersenyum tipis. Aroma parfum lelaki itu sempat mengusik hidung Flo. Flo memandangi penampilan lelaki itu yang terlihat berbeda. Gaya rambut undercut lelaki itu tampak rapi, tidak seperti biasanya.
Flo menutup pintunya, tidak sampai benar-benar tertutup rapat. Hanya agar sang Mama tidak melihatnya sedang bersama Bimo. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Flo, ketus.
Wajah Bimo tiba-tiba terlihat tertunduk lesu. "Aku mau minta maaf sama kamu." Kata-katanya terhenti, dia yang semula tertunduk kini mengangkat kepalanya menatap Flo. Suaranya terdengar pelan.
"Soal tadi. Aku ngaku salah, Flo. Aku janji nggak bakal ngulangin hal itu lagi," tambahnya.
Seolah sudah muak, Flo bahkan beberapa kali membuang muka ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Bimo. Lelaki itu datang ke rumahnya malam-malam begini hanya untuk meminta maaf padanya. Namun sama sekali tidak membuat hati Flo terenyuh sedikit pun.
Ini bukan pertama kalinya Bimo melakukan hal ini. Dan bukan pertama kalinya juga meminta maaf padanya. Flo hanya muak, Bimo akan mengulangi kesalahan yang sama.
"Aku lagi nggak pengen bahas hal ini, Bim. Mending kamu pulang aja." Flo sama sekali tidak menatap lelaki itu. Namun, nada bicaranya terdengar lembut.
"Flo, aku mohon sama kamu maafin aku ya?" mohon Bimo. Diraihnya tangan Flo.
Sesekali Flo mencuri-curi pandang pada Bimo. Namun sedetik kemudian, dia melepas pegangan tangan Bimo secara paksa. Saat ini, pikirannya masih kalut. Lagi-lagi, dia perlu waktu. Flo berbalik badan sejenak, mengintip dari celah pintu rumah. Sang Mama yang masih menunggunya di meja makan.
Permasalahan ini akan memakan banyak waktu. Dia merasa tidak enak dengan mamanya. Atensinya kini kembali pada Bimo yang masih memandangnya dengan tatapan iba. Tatapan yang jelas sangat berbeda dengan tatapan yang Bimo berikan padanya saat di sekolah.
"Bim, aku perlu waktu. Aku nggak mau bahas ini dulu."
Bimo tersenyum kecut. Kemudian mengangguk lesu. Seolah dia benar-benar mengerti perasaan Flo saat ini. Sejujurnya, Flo merasa tidak tega melihat Bimo seperti itu. Namun di sisi lain, luka di hatinya pun masih menganga. Flo memandangi punggung Bimo yang semakin menjauh. Hingga kemudian dia menaiki sepeda motornya dan hilang dari pandangan mata.
"Siapa Flo? Kok kamu lama banget, nih makanannya sampe udah hampir dingin gini," heran Ratih ketika Flo sudah duduk di hadapannya.
"Bimo."
"Kenapa nggak kamu ajak dia masuk? Sekalian ajak makan malam," ujar Ratih, sembari menyendok nasi pada piring.
Flo tidak langsung menjawab. Untuk sesaat, dia dilanda rasa bingung untuk menjawab pertanyaan mamanya. Dia tidak ingin hal ini sampai diketahui sang Mama.
"Lagi ada urusan katanya, jadi nggak bisa mampir dulu," jawab Flo, sekenanya.
Flo tertunduk, mendadak nafsu makannya sirna. Ujung matanya tiba-tiba berair. Dia mengusapnya cepat-cepat sebelum Mamanya mengetahuinya. Terpaksa, dia harus berbohong.
"Lain kali kamu ajak dia ke rumah buat makan bareng. Udah lama dia nggak main ke rumah. Terakhir kali ke sini cuma buat berangkat sekolah bareng," ujar Ratih, masih mengunyah makanannya. Wajahnya ceria. Seolah dia benar-benar mengharapkan hal itu.
Flo mengangguk. "Iya, Ma. Nanti Flo ajak Bimo makan bareng."
Flo ikut tersenyum. Meskipun luka itu masih saja terasa perih di relung hatinya. Namun setidaknya ada secercah kebahagiaan ketika dia melihat wajah Mamanya yang seceria itu. Sang Mama mengenal Bimo sebagai seorang lelaki yang cukup baik. Bahkan ketika usia hubungan Flo dan Bimo yang hampir genap satu tahun pun mereka hampir tak ada masalah.
Dering telepon membuat keduanya menghentikan kegiatan makan malam. Ratih bertalah berdiri. "Biar Mama angkat."
Kendati ruang tamu yang berada satu ruangan dengan dapur, Flo dapat memperhatikan dari kejauhan Mamanya yang tengah mengangkat telepon. Hanya saja, dia tidak dapat mendengar dengan jelas dengan siapa Mamanya berbicara dan apa yang sedang dibicarakan.
"Halo?"
"..."
"Astaghfirullah, terus gimana kondisinya?"
"..."
"Yaudah, tolong dijaga baik-baik, ya. Insyaallah besok saya ke sana. Kalau terjadi sesuatu tolong kabarin, ya?"
Flo masih memperhatikan dari meja makan. Raut wajah masam Mamanya saat mengangkat telepon cukup menyita perhatiannya. Rasa penasaran itu terus menghantuinya.
"Siapa, Ma?" tanya Flo penasaran, ketika sang Mama sudah kembali duduk di meja makan.
"Mama dapet kabar dari Bibi kamu di Bandung, katanya Nenek jatuh sakit. Jadi kemungkinan besok Mama harus ke sana untuk ngeliat kondisi Nenek kamu. Lagian kasian juga Bibi harus ngerawat Nenek sendirian."
***
Flo menghentikan langkahnya, diam membeku di tengah segerombolan siswa-siswi yang tengah keluar kelas saat jam istirahat tiba. Dipandanginya seorang lelaki yang sudah berdiri di depan pintu kelasnya. Bahkan tampaknya, sudah menunggu sejak bel istirahat baru berbunyi.
"Maaf." Kata itu yang pertama kali keluar dari mulut Bimo, sembari menyodorkan coklat yang dibalut pita berwarna merah muda.
Flo tidak langsung menerima, dia justru hanya memandang sejenak coklat itu. "Apa ini?"
"Coklat, anggep aja sebagai permintaan maaf."
"Sogokan maksudnya?" ralat Flo.
Bimo terkekeh. Menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. "Beda tipis lah. Maafin aku, ya," cicitnya.
Flo gamang. Dia teringat dengan kesalahan-kesalahan yang kerap kali Bimo lakukan. Nyeri hati yang kerap kali dia rasa cukup menyiksa diri. Dia selalu tidak ingin merasakannya lagi. Namun melihat raut muram lelaki itu, membuat Flo seakan tidak tega.
***
Ini tandanya Flo maafin Bimo nggak ya? 🤔
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Masa Depan [End]
Fiksi RemajaFantasy, romance, time travel Bagaimana jadinya jika ada seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dan mengaku bahwa dia adalah jodohmu dari masa depan? Flo, seorang siswi SMA biasa yang tengah dilanda kasmaran seperti remaja-remaja pada umumnya. Dia ju...