Bab 11 : Kedatangan Dia

158 30 4
                                    

Flo tidak menjawab pertanyaan Vio. Dia terdiam, memandangi seluruh pasang mata yang menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya di koridor. Dia menjadi satu-satunya pusat perhatian saat ini. Bahkan yang mulanya hanya para siswi, kini justru para siswa juga turut penasaran apa kiranya yang menjadi sumber kegaduhan di koridor. Flo memandang ngeri semua tatapan itu, jantungnya masih berpacu, tiba-tiba dia seolah kesulitan menelan salivanya.

"Ikut aku!" Flo berdecak, ditariknya tangan lelaki itu menjauh dari kerumunan. Dia pikir, ini satu-satunya cara terbaik untuk menangani masalah yang tak terduga ini. Sementara itu, sorak-sorai kembali terdengar. Mirip sorakan kecewa, karena sebelumya mereka melemparkan sorakan pujian pada lelaki itu. Bahkan, Vio juga terlihat cengo.

Sampai sayup-sayup suara ricuh itu kian menghilang ketika Flo menarik lelaki itu sampai di depan ruang UKS. Paling ujung koridor, tidak begitu ramai. Paling jarang dilewati siswa-siswi. Flo berjongkok memegangi kedua lututnya, sejenak mengatur napas. Bukan karena lelah berlari, semuanya karena kegaduhan dan kengerian yang tiba-tiba muncul pada dirinya tanpa diduga-duga. Kejadian ini berlipat-lipat lebih mengerikan dibanding saat lelaki itu tiba-tiba muncul di kamarnya. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Flo melirik lelaki itu. Ketakutan-ketakutan menjalar dalam dirinya. Bagaimana jika guru mengetahui soal ini? Bagaimana jika seantero sekolah mulai menjadikan hal ini bahan perbincangan? Otaknya seakan tidak bisa berfungsi. Flo tidak tahu langkah apa selanjutnya yang harus dia ambil.

Flo berdiri tegap, menarik napas dalam-dalam. Meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, meskipun dia juga tidak yakin. "Sekali lagi aku tanya, ngapain kamu ada di sini? Kamu ngikutin aku ke sekolah?" Flo menekankan setiap pertanyaan yang dilemparkannya pada lelaki itu, menyiratkan amarah yang ditahan sebelumnya.

"Hm, tidak." Lelaki itu menjeda kalimatnya. "Saya memang tahu kamu sekolah di mana."

Rasa geram sudah membengkak dalam diri Flo. Entah harus dengan cara apalagi untuk membuat lelaki ini pergi. "Terserah apa kata kamu. Yang jelas, penuhin janji kamu buat pergi jauh-jauh dari aku. Mau di rumah atau di sekolah sekalipun!"

Lelaki itu tidak langsung menggubris. Bahkan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Derap langkah kaki membuat jantung Flo kembali berdebar. Dia menggigit bibir, berharap hal-hal buruk setelah ini tidak akan terjadi.

"Flo."

"Bimo."

Keduanya menoleh, namun satu-satunya yang menampilkan wajah kaget adalah Flo. Dia memandang hampir tidak berkedip Bimo yang tiba-tiba muncul dari balik tembok. Lelaki itu masih mengenakan Jersey basket berwarna merah menyala bernomor punggung 20. Tanggal lahir dari Flo. Dia juga mengenakan headband berwarna senada yang dipakai di kepalanya. Sudah jelas-jelas basah karena keringat.

Flo hampir saja membisu. Tidak tahu Bimo akan tiba-tiba saja muncul seperti ini. Sementara Bimo, lelaki itu yang semula menatap Flo kini melirik sekilas lelaki berpakaian dokter yang berdiri di samping Flo. "Siapa dia, Flo?" Pertanyaan yang jelas-jelas memenuhi pikiran setiap orang di koridor belum lama ini.

***

Bimo berkali-kali men-dribble bola basketnya. Terlihat mencolok paling bersemangat berlatih dibanding teman-teman yang justru asik duduk di tribun-tribun penonton di gedung olahraga. Semuanya terlihat kelelahan, kecuali Bimo yang terlihat tidak ada lelahnya. Lelaki itu melempar bola dan memasukkan pada ring. Bersorak tak tertahan untuk kesekian kalinya setiap kali bisa memasukkan bola pada ring.

Seorang lelaki yang juga berpakaian sama dengan Bimo, berambut agak ikal melempar sebotol air minum. Dengan sigap, Bimo menangkapnya dengan sempurna. Lelaki itu menenggaknya hingga setengah, sisanya dia siram ke kepalanya yang terasa panas. Kemudian, jatuh terduduk karena lelah. Meluruskan kakinya. Teriakan dari arah luar gedung olahraga terdengar semakin nyaring.

Bimo hanya melengos saat tahu siapa yang memasuki gedung olahraga. "Kenapa, lo?"

Lelaki berperawakan lebih pendek, pun sama-sama anggota basket. Teman dekat Bimo, terlihat napasnya tidak beraturan setelah berlari. "Gue ada berita penting buat lo." Nada bicaranya terdengar serius.

Bimo mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Paling-paling lo mau ngejebak gue lagi 'kan? Biar mau traktir lo lagi di kantin? Ogah!" timpal Bimo, disambut gelak tawa teman-temannya yang masih duduk di tribun.

Namun lelaki itu tidak tertawa sedikit pun. Ekspresinya justru terlihat serius. Bimo mengenal betul temannya yang satu ini. Dikenal sebagai orang yang humoris dan paling jahil.

"Kenapa, Vin?" ulang Bimo, kali ini serius.

"Gue lihat Flo lagi sama cowok, penampilannya kayak dokter. Mereka kelihatan deket banget, Bim."

Saat itu juga detak jantung Bimo seakan berhenti. Nyeri di dadanya kian menjalar dalam tubuhnya. Dia melemparkan asal dengan penuh emosi bola yang semula dipegangnya. Kemudian berlari, sampai netranya menangkap keramaian di koridor dekat kantin.

"Flo, pergi ke arah sana." Satu-satunya jawaban yang diberikan Vio ketika Bimo bertanya. Bimo kembali berlari ke arah yang ditunjuk. Berharap tidak ada hal yang mengerikan yang terjadi. Akhir-akhir ini dirinya memang sibuk latihan basket.

"Flo."

"Bimo."

Di depan ruang UKS, Bimo melihat seorang lelaki yang sama persis seperti dikatakan oleh temannya. Pakaian dokter. Namun, jas putihnya sudah kotor di sana-sini. Pandangan Bimo kembali pada Flo. Dia bukan cemburu, hanya sekadar memastikan. "Siapa dia, Flo?"

***

Flo tidak langsung menjawab. Wajah Bimo menyiratkan rasa penasaran yang mendalam. Meski tidak terasa panas, tiba-tiba Flo berkeringat. Mulutnya terbuka tetapi lidahnya seolah kelu, kesulitan mengeluarkan suara. "K-kakak sepupu," kata Flo, asal.

Pandangannya tak dialihkan ke arah manapun. Hanya kepada Bimo. Takut kalau-kalau Bimo tidak percaya dan masalah ini akan kian membengkak tak kunjung usai.

"Sejak kapan kamu punya kakak sepupu?"

Flo bertukar pandang dengan lelaki misterius yang masih berdiri di sampingnya. Mendadak harus terpaksa berbohong. "Sejak dulu aku emang punya, Bim. Kayaknya aku belum cerita ke kamu ya?" Flo tersenyum paksa. Mengarang cerita.

Flo melingkarkan lengannya pada pundak lelaki itu, bersikap seolah-olah sudah kenal lama dan dekat. "Jadi dia emang dari luar kota. Baru pertama kali ke Jakarta. Karena masih bingung dan Mama aku nggak ada di rumah, ya udah dia nemuin aku ke sekolah." Mendadak Flo seperti kesulitan bernapas. Baru mengarang cerita seperti ini saja napasnya sudah terengah-engah.

Sejenak diselimuti kesunyian. Flo masih menunggu jawaban dari Bimo. Pada akhirnya, Bimo mengangguk. "Ya udah kalo gitu, aku pikir ada apa-apa. Aku balik latihan lagi ya."

Saat itu pula Flo seperti keluar dari ruangan penuh sesak, kini dia bisa bernapas lega melihat Bimo sudah kembali ke gedung olahraga. Namun dia juga diterpa perasaan bersalah. Dilepaskannya secara cepat lengannya yang semula bertengger di pundak lelaki itu. Dia bagaikan burung dalam sangkar yang bisa terbang bebas. Namun bukan berarti, masalah ini sudah rampung.

Kedua bola mata coklat gadis itu menatap lelaki yang masih berdiri di sampingnya dengan tatapan menyiratkan rasa marah dan geram. Namun, Flo tidak serta merta meluapkan segalanya pada lelaki itu. Rasa lelah lebih banyak menyelimuti daripada amarahnya sendiri---kendati demikian Flo lebih banyak menghela napas.

"Siapa lelaki itu? Pacar kamu?" Lelaki itu agak tertunduk setiap kali menatap Flo yang jauh lebih pendek darinya.

Flo tersenyum miring mendengar pertanyaan lelaki itu. Rupa-rupanya, lelaki itu juga dilanda rasa penasaran. "Iya, emang kenapa?" Flo mengubah posisi tubuhnya yang semula berada di samping, kini sudah berada di hadapan lelaki itu.

"Jodoh aku itu, dia. Bukan kamu." Flo menekankan. Teringat kerap kali kata-kata soal jodoh selalu keluar dari mulut lelaki itu.

Lelaki itu tersenyum tipis. "Kamu yakin jodoh kamu itu dia?" tanya lelaki itu, nadanya agak mengejek. Membangkitkan rasa kesal yang lagi-lagi muncul pada diri Flo. Lelaki itu kemudian mengelus-elus rambut hitam lebatnya itu berkali-kali. "Padahal kalau dilihat-lihat, lebih ganteng saya daripada dia."

Kalimat terakhir lelaki itu sontak membuat Flo mengangkat kepalanya. "Jangan banyak omong ya. Kalau pun memang Bimo itu bukan jodoh aku, yang pasti jodoh aku itu nggak kayak kamu!" Telunjuk gadis itu menjulur di depan wajah lelaki itu.

***

Jodoh Masa Depan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang