Bab 61 : Faktanya

111 7 2
                                    

"Ren, apa benar kamu selingkuh?"

Darren terpaku, terperangah dengan pertanyaan yang terlontar oleh Dini padanya. Jadi, semua orang memang menuduhnya selingkuh? Ia menghela napas dalam, kemudian menatap sendu liontin yang masih dalam genggaman.

"Sebenarnya saya itu nggak selingkuh. Mungkin Flo salah paham sama sikap saya selama ini. Waktu itu, saya lagi nyiapin kado ulang tahun buat dia."

Dini yang mendengarnya, masih belum mengerti dengan maksud dari kata-kata Darren. Wanita itu mengernyit, "Kado?"

Darren mengangguk membenarkan. "Kamu tahu 'kan Flo ulang tahun besok? Jadi, dari seminggu yang lalu saya menyiapkan kado ulang tahun buat dia."

***

Seminggu yang lalu.

Darren meregangkan otot-otot tangannya, ia baru saja selesai menangani pasien seekor kucing jantan yang mengalami scabies. Kucing itu tak bisa diam saat tengah ia periksa, membuat kucing itu mencakar bagian lengannya. Ah, rasanya ia sudah sering mengalami hal semacam ini saat melakukan pekerjaannya. Ia harus berinteraksi pada pasien yang tak dapat bicara, belum lagi harus mengedukasi owner pasien yang beragam karakternya.

Kalau diingat-ingat, ini memang bukan pekerjaan impiannya. Rasanya juga melelahkan, menjadi dokter hewan tak "sehijau" dilihat orang dari "depan pagar". Namun perlahan dari keterpaksaan itu, Darren mulai terbiasa. Ia sudah biasa menghadapi hewan-hewan yang tak mau diam dan melawan saat dia tengah memeriksa. Ada rasa bangga dan bahagia sendiri yang terselip ketika ia berhasil menyelamatkan nyawa hewan.

Saat tengah membereskan meja kerjanya, netranya tak sengaja melihat kalender kecil di mejanya. Ada salah satu tanggal yang sengaja ia lingkari dengan bolpoin merah. Itu adalah hari ulang tahun Flo. Untunglah ia sempat melingkari tanggal itu. Kalau saja tidak, mungkin ia lupa karena terlalu sibuk pada pekerjaannya.

Selepas pulang bekerja, Darren pergi ke sebuah kios lukisan. Sudah lama sekali ia tak bertandang ke tempat itu, seingatnya beberapa bulan lalu. Saat Darren datang, seorang pria dengan rambut agak ikal dan kulit kuning langsat yang semula duduk di kios itu sigap menghampiri Darren.

"Darren? Tumben kamu mampir ke sini?" tanyanya sumringah sembari memeluknya sekilas dan menepuk punggung. Darren tahu pria itu pasti akan terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

"Bukan mampir Ngga, tapi emang sengaja ke sini." Darren menjelaskan.

Meskipun Darren mendapat tekanan dalam hal pendidikan, bukan berarti hidupnya semengerikan itu. Nyatanya, ia memiliki beberapa teman ketika duduk di bangku perkuliahan. Salah satunya Angga, seorang kakak tingkat dari Fakultas Seni Rupa. Ia mulai mengenal pria itu karena memiliki kecintaan yang sama di bidang seni.

Pria yang disebut bernama Angga itu nyengir lebar sembari menuntunnya memasuki kios dengan dipenuhi jejeran lukisan itu. "Darren, Darren. Kita ini meski tinggal sama-sama di Bandung, tapi jarang banget ketemu, ya? Sekalinya ketemu lagi, eh aku malah dapet undangan nikahan kamu. Nggak nyangka Darren yang ambisius dan nggak pernah melirik wanita itu bisa nikah duluan dari aku."

Darren terkekeh mendengarnya. Ya memang sih, Angga lebih banyak experience-nya dalam hal cinta-cintaan. Mantannya, jangan ditanya berapa banyaknya! Darren sampai muak kalau dulu pria itu mulai membahas soal mantannya.

"Namanya juga jodoh, Ngga, nggak ada yang tau," timpal Darren, sembari melihat-lihat jejeran lukisan.

"Oh iya Ren, ada perlu apa kamu ke sini? Tumben banget, biasanya sibuk," kata Angga, membuat Darren menoleh.

"Saya mau ngasih kado buat istri saya."

Angga mendecih, "Dasar pasutri baru, bucin abisss."

Darren hanya mengulas senyum tipis, kemudian duduk di kursi yang tersedia saat Angga mempersilahkannya untuk duduk. Begitupun juga pria itu yang duduk di sampingnya.

Jodoh Masa Depan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang