Bab 8 : Dia dan Hujan

220 44 10
                                    

Keduanya diselimuti oleh kesunyian. Hingga akhirnya lelaki jangkung itu menjawab, "Mau saya, kamu percaya bahwa saya adalah jodoh kamu dari masa depan."

Binar mata lelaki itu seakan menyorotkan cahaya kebahagiaan yang mendalam pada Flo. Flo menyadari, lelaki itu sejak tadi pagi memancarkan senyum manis di wajahnya. Sama sekali tidak terlihat raut mencurigakan bahwa lelaki itu akan membuatnya celaka sedikitpun seperti yang dikatakan Vio. Namun lagi-lagi, Flo juga digerayangi perasaan ragu. Meski dari rupa dan cara bicara lelaki itu sama sekali tidak mencerminkan seorang penjahat yang hendak menculik dirinya maupun mencuri barang-barang di rumahnya, dia tetap harus waspada.

"Sampai kapanpun, saya nggak bakalan percaya sama semua omong kosong kamu." Flo mengangkat dagunya, melemparkan tatapan mengancam pada lelaki yang masih berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu berbalik, membuka paksa pagar rumahnya yang tak begitu besar sampai menimbulkan suara deritan. Seolah dia benar-benar muak berurusan dengan seorang lelaki yang tak jelas asal-usulnya ini.

Flo melangkah hati-hati, menginjak hamparan rumput yang sebagian besar sudah menguning yang memenuhi halaman rumahnya. Selain tanaman rambat hias dan tanaman anak nakal yang memenuhi sekeliling pagar rumahnya, beberapa tanaman hias lainnya seperti bunga pucuk merah juga tumbuh di halaman rumahnya yang cukup luas.

Setelah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Flo, lelaki itu yang mulanya hanya membatu kini mulai buka suara, "Saya nggak akan pergi sebelum kamu percaya bahwa saya adalah jodoh kamu dari masa depan." Daripada hanya sekadar berkata biasa, suaranya lebih terdengar teriakan yang sempat membuat Flo terhenti untuk melangkah.

Namun alih-alih menanggapi, Flo justru acuh tak acuh. Hanya menghentikan langkahnya untuk sekian detik lalu cepat-cepat membuka pintu rumahnya dengan tak sabaran. Gadis itu membanting pintu hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Mungkin, sampai terdengar oleh lelaki itu. Punggungnya menubruk pintu, cukup keras. Dadanya naik turun, tiba-tiba napasnya kembali tidak beraturan. Kepalanya pening, memikirkan apa yang harus dilakukannya saat ini. Sementara seorang lelaki aneh di luar sana tak kunjung juga pergi.

Flo menyingkap gorden, menilik lelaki itu yang masih di sana. Berdiri di tempat yang sama saat dia meninggalkannya. Tubuhnya masih tegap, seolah udara dingin malam itu tidak mengusiknya sama sekali. Padahal tangan lelaki itu sudah sedingin es. Flo kembali menutup rapat-rapat gorden itu. Menepis jauh-jauh pemikiran soal lelaki itu, mencoba tidak peduli. Dia bertalah memasuki kamar.

Flo melempar tas di atas kasur, lalu membanting tubuhnya juga di tempat tidur yang sejak tadi pagi belum dijamahnya. Bahkan, belum sempat sama sekali untuk dirapikan sejak lelaki misterius itu muncul di hadapannya tadi pagi. Senada dengan cat kamarnya, hampir semua seisi kamarnya juga berwarna putih susu. Selimutnya, lemarinya, nakasnya. Begitupun juga karpet bulu tebal yang beberapa tahun yang lalu pernah dibelikan Papanya.

Rasa lelah menghajarnya. Cukup lengang, hanya suara denting jam dinding di atas meja belajar yang terdengar. Meski masih pukul delapan malam, rasanya matanya tak kuasa menahan rasa kantuk. Tidak dapat dipungkiri, dia benar-benar lelah. Setelah dari rumah sakit, justru harus berurusan dengan seorang lelaki yang bahkan sama sekali tak dia kenal. Mirisnya, bahkan tidak tahu asal-usulnya. Flo membuang jauh-jauh pikiran itu lagi, tidak ingin pikirannya dipenuhi oleh lelaki itu. Dia tidak peduli. Tubuhnya lemas untuk sekadar keluar dan mengusir si Jangkung itu yang jelas-jelas akan berakhir sia-sia. Lelaki itu cukup keras kepala.

Mata gadis itu terpejam sejenak, hanya sekadar mengusir rasa lelah yang menyerang. Bahkan seragam putih abu-abu itu masih melekat di badannya. Tanpa gadis itu sadari, dia benar-benar hanyut dalam mimpi. Dia sudah terlelap.

***

Suara keras nan menggelegar datang setelah kilatan cahaya di balik jendela kamar Flo terlihat. Gorden-gorden kamarnya menari-nari bersamaan dengan sepoi angin yang melambai-lambai menelisik kulitnya. Derasnya suara hujan membuat gadis yang tengah terlelap itu akhirnya mengerjapkan matanya karena merasa terganggu. Flo terduduk, sejenak menyadari hujan turun begitu derasnya disertai kilat yang terus-menerus mengintip dari balik jendela yang rupanya masih belum dia tutup dengan sempurna.

Flo memeluk tubuhnya, pun baru menyadari masih mengenakan seragam sekolahnya. Kendati demikian, roknya yang hanya sebatas lutut membuatnya menggigil. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Dia mendengus kesal, menyalahkan diri sendiri kenapa bisa tertidur dengan kondisi seragam yang masih lekat di badan. Setelah turun dari tempat tidur, Flo teringat sesuatu. Satu pertanyaan yang saat itu terlintas di benaknya adalah,

"Apakah lelaki itu masih di sana?"

Perasaan bersalah menjalar dalam dirinya. Seolah dia benar-benar bersalah atas semua yang telah terjadi. Padahal, lelaki itu yang terus mengusiknya sejak tadi pagi. Flo menarik napas dalam-dalam. Menyakinkan diri sendiri bahwa jika memang lelaki itu masih berdiri di sana, itu bukan salahnya. Lagi pula siapa peduli, pikirnya. Bagaimana jika faktanya, justru lelaki itu sudah hengkang dari depan rumahnya sejak sebelum hujan turun? Harusnya, dia bersyukur dan tidak ambil pusing.

Namun, perasaan ragu juga tidak kalah menguasainya. Meski sering dibuat terbakar amarah karena lelaki itu, Flo bukanlah seorang gadis yang kejam. Dia juga memiliki perasaan tak enak hati yang kerap kali muncul. Termasuk saat ini. Beberapa kali mencoba tidak peduli pun, justru semakin sering terlintas di benaknya.

"Bagaimana jika dia kehujanan?"

Pertanyaan kedua yang kali ini memenuhi kepalanya. Cukup mengusiknya juga. Flo muak. Sudah hampir sepuluh menit memandangi jendela kamarnya yang menghadap halaman depan. Dia menyingkap sedikit gorden itu, hanya sekadar memastikan lelaki itu sudah benar-benar pergi dan dia mungkin bisa tidur nyenyak lagi.

Mata Flo terbelalak, dahinya mengerut, dan rahangnya terbuka ke bawah menyebabkan bibir dan giginya terpisah. Dia ternganga, terdiam seribu kata tatkala mendapati lelaki itu masih berdiri di tempat yang sama tak bergeser sedikit pun di tengah derasnya air hujan.

Flo mendesis, "Cari penyakit nih orang."

Dipakainya jaket miliknya yang tergantung di pintu, dia melangkah panjang menuju pintu depan. Lalu menyambar payung berwarna kuning, satu-satunya yang tergeletak begitu saja di dekat rak sepatu, memakai sandalnya dengan terburu-buru. Ketika membuka pintu, suara derasnya akhir hujan terdengar lebih keras. Di tengah-tengah rintik hujan dan dari kejauhan, Flo melihat, lelaki itu tersenyum simpul melihat kedatangannya. Flo membuka pagar yang berdecit.

Kini, Flo sudah berdiri persis di depan lelaki gila berpakaian dokter yang tersenyum padanya di tengah hujan. Rambut lelaki itu sudah urak-urakan, matanya menyipit karena air hujan yang terus melelehi wajahnya. Kulit pucat pasi yang terkena air hujan di malam hari terlihat seperti lampu temaram taman. Bibirnya bergemeletuk karena kedinginan. Tetapi tak juga kunjung pergi untuk meneduh. Bodoh, dasar lelaki bodoh! Flo menyumpah serapahi dalam hati. Bagaimana dia melihat kondisi lelaki itu yang sudah benar-benar kedinginan dan pakaian yang sudah basah kuyup.

"Akhirnya, kamu mau menemui saya." Lelaki itu lebih dulu membuka suara.

Flo tersenyum hambar. "Mau masuk? Atau tetap di sini sampai besok pagi?"

***

Jodoh Masa Depan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang