Dari balik gorden jendela kamarnya, Flo melihat langit sudah terang. Tidur larut malam, membuat badannya seperti remuk. Dia juga merasa, tidurnya semalam tidak begitu nyenyak. Banyak hal yang mengganggu pikirannya, soal lelaki itu. Masih dengan kondisi rambut urak-urakan dan pakaian tidur, Flo mencium aroma masakan yang memasuki kamarnya lewat sela-sela pintu. Aromanya cukup menusuk hidung. Dia cepat-cepat turun dari tempat tidur, persetan dengan penampilannya yang masih acak-acakan.Flo menilik lelaki itu, tengah berdiri membelakanginya di dapur memasak dengan teknik ala chef-chef yang pernah Flo lihat sebelumnya, membalikkan masakan dengan cara melemparkan masakan di atas wajan. Dari belakang, lelaki itu terlihat piawai mengayun-ayunkan wajan. Seolah, dia sudah ahli dalam hal masak-memasak.
"Oh, sudah bangun?" Lelaki itu bertanya tanpa menoleh, seolah sudah tahu kehadiran Flo. Dari percakapan ini dan aksi yang dilakukan lelaki itu, seakan-akan rumah ini adalah miliknya.
Flo yang semula terdiam, kini buka suara, "Ngapain kamu di dapur? Memangnya aku ngizinin kamu buat nyentuh dapur?"
Lelaki itu tertawa sembari berbalik membawa wajan menghadap Flo. "Memangnya kamu nggak lapar?"
Flo tidak menjawab. Keterlaluan jika dia menjawab "tidak". Sejak semalam, dia tidak makan apapun. Terakhir kali dia mengisi perut, saat di rumah sakit. Refleks, Flo memegangi perutnya yang berbunyi minta diisi. Sementara lelaki itu melemparkan senyum menggoda, menyadari Flo kelaparan. Dituangkannya nasi goreng itu pada piring, lengkap dengan telur mata sapi, tomat, dan timun. Lelaki itu kemudian meletakkannya di meja makan. Dari tatapannya, seolah menyuruh Flo untuk memakannya.
"Siapa yang jamin makanannya nggak beracun?" Flo masih berdiri di tempat yang sama, melirik sekilas nasi goreng yang sudah berada di atas meja.
"Saya yang jamin. Lagi pula kalau memang beracun, setidaknya kita mati sama-sama." Lelaki itu tertawa dan melanjutkan kalimatnya ketika diberi tatapan tajam oleh Flo. "Bercanda. Kamu tenang aja, makanannya aman. Anggap aja itu sebagai balas budi karena kamu sudah merawat saya semalam."
Flo menyeringai. "Kamu ngelakuin ini semua seolah-olah kamu pemilik rumah ini, ya." Gadis itu melipat tangan di depan dada.
Lelaki berbahu lebar itu kini sudah duduk di meja makan, kemudian terkekeh untuk kesekian kalinya. "Mau sampai kapan kamu ngasih pertanyaan ke saya? Beneran nggak lapar?" Diulanginya lagi pertanyaan itu.
"Aku bakalan makan, tapi setelah ini kamu harus pergi dari rumah aku!" tukas Flo, tajam.
Lelaki itu mengangkat kepalanya, mengangguk tanpa mempertimbangkan. Membuat Flo sejenak mengerutkan dahi, seolah hal itu bisa dilakukan. Padahal, sejak pagi lelaki itu enggan pergi.
Flo tidak dapat menolak, perutnya sudah minta diisi sejak tadi. Terlebih, dia tidak pandai memasak. Ketika suapan pertama, Flo sudah mengakui lelaki itu benar-benar piawai dalam memasak. Berbanding terbalik dengan dirinya. Di tengah-tengah melahap nasi goreng, Flo mengamati lelaki itu yang kini sudah terlihat bugar. Padahal semalam, badannya masih lemas, dan suhu tubuhnya tinggi. Flo curi-curi pandang pada lelaki itu.
"K-kamu udah sehat?" Flo bertanya ragu-ragu. Sejujurnya, dia malu untuk menanyakan hal ini.
Lelaki itu menghentikan makannya, menoleh pada Flo. Mengunyah sampai selesai makanan yang masih berada dalam mulut, kemudian menjawab, "Jauh lebih baik. Terima kasih ya, kamu sudah merawat saya."
***
Flo mengunci pintu pagar rumahnya yang berdecit rapat-rapat. Tepat setelah dirinya dan lelaki itu keluar. Takut kalau-kalau lelaki itu datang kembali. Sementara dirinya sudah mengenakan seragam putih abu-abunya. Dia kembali menilik lelaki yang sudah berdiri di sampingnya. Kendati lelaki itu lebih tinggi darinya, membuatnya harus mendongak setiap kali ingin menatap lelaki itu. Pakaian lengkap bak seorang dokter---pakaian yang semula dipakai lelaki itu sewaktu bertemu Flo---sudah dikenakannya lagi.
Semalam, pakaiannya memang sudah basah kuyup. Namun sudah sempat Flo keringkan, meskipun dirinya tidak yakin pakaian itu sudah benar-benar kering. Bagaimana pun juga, lelaki itu harus pergi hari ini. Lagi-lagi Flo merutuki dirinya sendiri, kenapa bisa membiarkan lelaki ini masuk ke rumahnya. Jika saja lelaki itu tidak dalam kondisi tubuh yang sakit, Flo mungkin akan mengusirnya malam itu juga.
"Saya akan pergi. Sekali lagi, terima kasih sudah merawat saya, Flo."
Flo tidak menjawab. Bertalah menyandang tas ransel yang semula hanya tergantung di sebelah bahu. Gadis itu berbalik badan meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri di depan pagar memandanginya. Angin sejuk membelai wajahnya. Tanah masih basah karena Jakarta diselimuti oleh hujan hampir sepanjang malam lamanya. Dia berlari sembari sesekali menilik jam tangannya, menuju jalanan besar untuk menaiki angkutan umum.
***
"Tanpa sawi hijau?" tanya Flo, kepada Vio yang datang membawa nampan berisi dua mangkuk bakso. Vio mengangguk. Diletakkannya bakso itu pada meja. Sejak kecil, dia tidak menyukai sawi hijau. Pandangan Flo menyapu ke seantero kantin yang tidak biasanya terasa lengang. Hanya ada beberapa siswa-siswi.
Flo menenggak sedikit air mineralnya. "Vio, keadaan Mama kamu gimana?"
Vio mengangkat kepalanya, memandang Flo yang duduk di depannya. Menyeka sisa noda di bibirnya dengan punggung tangan kemudian menjawab,"Udah mendingan. Flo, maaf ya, gue nggak tahu situasinya bakal kayak gini."
"Nggak apa-apa. Lagi pula, kamu juga 'kan harus jagain Mama kamu," sergah Flo.
Untuk beberapa saat, keduanya menikmati bakso yang disantap. Hampir rampung memakan bakso, atensi keduanya terkunci kepada beberapa siswa-siswi yang semula duduk di meja dekat mereka, kini mulai satu-persatu pergi sembari berlari kecil. Bersamaan dengan itu, derap langkah kaki terdengar nyaring bersamaan dengan sorak-sorai ricuh dari arah koridor. Suara siswi-siswi lah yang paling mendominasi.
Flo bertanya pada Vio lewat tatapan mata. Namun gadis berambut pendek itu hanya mengangkat bahu dan justru mengisyaratkan agar turut serta dengan siswa-siswi lainnya menuju sumber kegaduhan.
Kedua gadis itu sejenak memperhatikan dari kejauhan. Tepat di tengah-tengah koridor---menghalau siapapun yang lewat---terdapat kerumunan para siswi. Yang sepertinya, mengerumuni seseorang. Flo hanya bisa menerka-nerka. Mungkinkah sumber kegaduhan ini berasal dari Nora? Mulanya, dirinya berniat untuk mengacuhkan. Namun di sisi lain, rasa penasaran juga terus menguasainya. Sampai pada akhirnya, Flo melihat seseorang yang tak asing baginya. Dari rambut seorang lelaki yang terlihat dari sela-sela kerumunan, Flo jelas mengenal betul. Sementara para siswi tidak kunjung berhenti bersorak riuh.
"Flora."
Seseorang dalam kerumunan berteriak memanggil Flo. Para siswi perlahan mundur dan membelah kerumunan, sehingga seseorang yang baru saja dikerumuni itu dapat keluar. Sementara para siswi yang sudah menepi, memandang semua ke arah Flo. Meski tatapan menyeramkan dilemparkan oleh para siswi pada dirinya, bukan hal itu yang paling menyeramkan menurutnya. Tetapi, seorang lelaki yang tengah berjalan ke arahnya. Lelaki yang semalam dirawatnya, masih berpakaian lengkap dokter.
Flo tidak berkutik. Kakinya kaku, seluruh badannya seperti tidak bisa digerakkan. Dia hanya bisa terdiam dengan jantung yang berdebar. Dia tidak pernah berpikir, hal ini terjadi dalam hidupnya.
"Ngapain kamu di sini?" Flo bertanya tanpa bersuara tepat setelah lelaki itu menghentikan langkahnya tak jauh dari hadapannya.
"Ketemu kamu," jawabnya, cukup menarik para perhatian hampir setiap insan yang memenuhi koridor. Alih-alih ikut memelankam suaranya, lelaki itu justru menjawab cukup keras.
Bahkan, Vio yang juga sempat terdiam dan dilanda kebingungan, kini bertanya pada Flo yang berdiri di sampingnya tanpa mengalihkan pandangannya dari lelaki itu. "Siapa dia, Flo?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Masa Depan [End]
Fiksi RemajaFantasy, romance, time travel Bagaimana jadinya jika ada seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dan mengaku bahwa dia adalah jodohmu dari masa depan? Flo, seorang siswi SMA biasa yang tengah dilanda kasmaran seperti remaja-remaja pada umumnya. Dia ju...