Bab 33 : Pengganggu

80 14 2
                                    

Semenjak berakhir hubungannya dengan Flo, Bimo menjadi lebih banyak melamun. Meski sudah bersama dengan kekasih barunya, nyatanya masih ada perasaan yang mengganjal di hatinya. Tidak dapat dipungkiri dia merasa bersalah saat melihat wajah nelangsa Flo malam itu. Bimo menyesal bisa mengakhiri hubungannya dengan Flo secepat ini.

Dia menyadari keputusannya untuk putus dengan Flo adalah kesalahannya karena terlalu cepat bertindak. Dia memang bahagia bisa dengan Meghan, mantan pacar yang sejak lama berpisah dan sejujurnya masih dia cintai. Namun ketika sudah bersama dengan Meghan, sering kali pikirannya selalu tertuju dengan Flo. Ternyata dia menyadari, jauh di dalam lubuk hatinya terdalam, nama Flo masih terukir jelas di sana.

"Bim, menurut kamu dress yang bagus buat birthday party aku yang mana?" Gadis yang menggelayut manja di lengan Bimo itu bertanya, sembari menyodorkan ponsel yang menampilkan beberapa foto dress.

Bimo menoleh dengan malas. Pasalnya sejak tadi Meghan sudah menanyakan pertanyaan yang sama, sudah berkali-kali juga dia menjawab, tetapi seolah tidak merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh Bimo. Gadis dengan lesung pipit itu tetap bertanya lagi.

"Yang mana aja juga bagus." Bimo berujar malas, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bahkan sama sekali tidak melihat ponsel yang disodorkan oleh Meghan sedikit pun.

Meghan sontak saja membenarkan posisi duduknya menjadi tegap kala mendengar jawaban kekasihnya yang terdengar malas. Gadis itu menampilkan wajah kesal. "Kok gitu sih jawabnya? Memangnya kamu nggak pengen aku pakai dress cantik di acara aku sendiri?"

Bimo memutar bola matanya malas. Muak dan bosan rasanya meladeni Meghan. Bimo pura-pura tersenyum. "Bukan gitu, aku rasa kamu itu udah cantik, jadi kamu pakai dress apapun juga pasti cantik, sayang."

Tampak rona merah menghiasi pipi gadis dengan rambut curly itu. Dia jelas tidak bisa menahan senyum di bibirnya. Sementara Bimo, dia harus berpura-pura mengatakan hal semacam itu. Karena sejujurnya dia lelah harus menghadapi sosok perempuan seperti Meghan. Flo dan Meghan jelas dua perempuan yang bertolak belakang, Flo adalah orang yang sederhana dan pendiam. Lain hal dengan Meghan yang penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki harus modis, begitupun juga sifat manja gadis itu yang membuat Bimo tidak tahan.

Bimo kembali menatap ponsel miliknya yang menampilkan pesan terakhir messenger Flo yang meminta izin padanya untuk menemuinya ke kelas. Dia ingat betul saat itu Flo tampak sedih saat dirinya lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh Meghan daripada Flo, kekasihnya sendiri. Seandainya saat itu Bimo lebih memperhatikan Flo, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Bimo yang lebih dulu mengkhianati Flo,  hal itu jelas membuat Flo juga pasti merasa sakit hati karena ulahnya. Mungkin juga, Flo membencinya.

***

Netra Flo membidik Vio yang berdiri mengantre di kantin, sudah hampir lima belas menit sampai tak terasa jus jeruk yang diserap Flo sudah tandas. Gadis itu masih berdiri di sana, kendati keadaan kantin yang sesak dan ramai. Flo menghela napas, menjauhkan jus jeruk itu darinya karena sudah habis. Dia menoleh ke depan saat mendengar suara kursi di depannya berderit. Mulanya, dia berpikir itu adalah Vio yang sudah kembali memesan makanan. Namun semburat kekecewaan nampak di wajah gadis itu karena ternyata yang datang adalah Bimo.

Flo melengos, melirik Bimo dari ekor matanya. Entah, rasanya dongkol melihat seseorang yang akhir-akhir ini sedang dia hindari justru duduk di hadapannya dengan tampang tak berdosa. "Ngapain kamu duduk di sini?" Flo bertanya tanpa menoleh.

"Kamu masih marah sama aku?" Pertanyaan bodoh itu dilemparkan oleh Bimo. Seandainya dia meresapi segala kesalahan yang dia lakukan kepada gadis yang berada di hadapannya, jawabannya sudah pasti 'iya, gadis itu akan marah'.

Flo melepas paksa saat merasakan Bimo menggenggam tangan kanannya yang berada di meja. Lancang sekali, Bimo masih berani menyentuhnya setelah ribuan duri yang lelaki itu tancapkan pada dirinya. Bahkan, meski satu-persatu duri itu mulai rontok, rasanya masih ketara. Luka yang lelaki itu torehkan pada dirinya jelas masih menganga.

"Ngapain kamu di sini? Aku nggak izinin kamu duduk di sini." Flo menimpali. Dia tidak bisa menutupi raut kecewanya pada lelaki itu. Melihat lelaki itu hanya mengingatkannya pada kejadian malam itu. Hanya akan menghadirkan luka yang semakin terasa perih.

"Sebentar aja, Flo, aku janji. Aku cuma pengen minta maaf sama kamu. Rasanya aku menyesal udah putus sama kamu. Kamu benar, aku emang cowok brengsek."

Kalimat-kalimat bodoh itu menghadirkan rasa geram dalam diri Flo. Seandainya bisa, ingin dia layangkan tinjuan di wajah lelaki itu. Pun untuk menghilangkan senyuman mematikan lelaki itu yang dulu sempat membuatnya jatuh sedalam-dalamnya pada pesona lelaki itu. Namun kini, melihat senyumnya saja sudah membuat Flo muak.

"Aku udah maafin kamu sejak dulu. Tapi tolong kamu jangan dekati aku, Bim. Cukup sudah rasa sakit itu kamu berikan padaku."

"Aku muak kamu selalu minta maaf tapi juga selalu melakukan kesalahan yang sama," sambung Flo seraya hendak bangkit berdiri tetapi dengan cepat lelaki itu menahannya, mencekal lengannya.

"Aku mau kita kayak dulu lagi, Flo." Meski tidak menatap lelaki itu, dari suaranya terdengar agak lirih. Menyiratkan kesedihan, tetapi Flo tidak ingin merasakan perih di hatinya untuk kedua kalinya karena tenggelam dalam tipu daya lelaki itu lagi.

"Nggak bisa. Bukannya kamu bilang sendiri kalau masih cinta sama mantan kamu itu? Lalu kenapa kamu malah kayak gini setelah apa yang baru saja kamu dapatkan? Bim, tolong jangan dekati aku!" Flo menghempas tangannya, membuat cekalan itu terlepas.

Flo selama ini terbodohi oleh sikap manipulatif lelaki itu. Bukan kali ini, melainkan sudah berkali-kali dirinya dipermainkan oleh Bimo. Selama ini dia hanya mencoba untuk sabar, mencoba selalu berpikir bahwa Bimo---orang yang dicintainya---tidak mungkin mengkhianatinya. Namun peristiwa yang baru saja terjadi telah menyadarkannya bahwasannya Bimo tidak sebaik seperti yang ada dalam pikirannya.

Kini Flo sudah tahu di mana hatinya bisa berlabuh. Seorang lelaki yang jelas lebih layak untuk dia cintai daripada Bimo. Seorang lelaki yang bahkan selalu melindunginya setiap waktu, bahkan rela datang ke masa ini untuk menemuinya. Sampai dia mulai menyadari, Darren adalah obat dari patah hatinya. Luka di hatinya berangsur lenyap, tergantikan dengan rasa cinta yang menyelimuti Flo karena Darren.

***

Jodoh Masa Depan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang