Sembilan Belas || الباب التاسع عشر

21 4 16
                                    

~~"Seperti wabah dan didatangkan penawar, seperti pasien yang didatangkan dokter, dan seperti kegelapan yang didatangkan pelita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~"Seperti wabah dan didatangkan penawar, seperti pasien yang didatangkan dokter, dan seperti kegelapan yang didatangkan pelita. Maka seperti itulah kamu didatangkan oleh Tuhan ke dalam kehidupanku yang hampa. Kamu bagaikan pelita di kegelapan laraku."~~

***

Fauzan masih duduk di ranjang. Terpaku. Ia hanya menatap sang istri yang sangat khusyuk melangitkan doanya hingga bulir-bulir air mata pula telah menetes.

"Eh dia udah selesai," batin Fauzan. Sontak ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia kemudian menyimpan Alquran di tangannya. Berlagak seolah ia bukan memerhatikan gadisnya dari tadi.

"Hmm ... Lia."

Yang dipanggil pun langsung menoleh dan menjawab. "Iya, Ustaz."

Azalia pun menyelesaikan melipat seperangkat alat salatnya, dan ia simpan rapi di lemari. Kemudian ia segera berjalan menuju ranjang. Duduk di sebelah suaminya. Tidak terlalu dekat, namun cukup akrab.

"Kenapa, Ustaz?"

"Kuliah kamu di Mesir gimana?"

"Alhamdulillah, lancar."

Azalia sempat menceritakan tentang kuliahnya pada Fauzan. Tentang ia yang kuliah di sana dengan beasiswa dan bantuan uang saku dari Pak Hamdan, dan tentang ia yang mengambil izin untuk melangsungkan perkuliahan secara online untuk sementara waktu.

"Kamu harus segera balik ke sana, kan?"

Azalia mengangguk. Walau ekspresi Azalia terlihat aman-aman saja, namun sejujurnya ia sedari tadi sedang berusaha menahan gejolak kegugupannya. Bahkan menatap lama wajah suaminya saja ia belum bisa. Sesekali ia melihat ke sembarang arah. Saking gugupnya gadis ini.

"Lia. Boleh aku minta tolong? Tolong ambilkan celengan ayamku di lemari."

"Oke."

Segera Azalia bangun dan mengambil benda yang dimaksudkan oleh suaminya.

"Ini."

"Makasih," ujar Fauzan, dengan menampilkan senyum manis yang hanya khusus ia beri pada istrinya. Tentu membuat jantung Azalia semakin tak karuan.

" Hmm, Ustaz?"

"Iya?"

"Celengannya buat apa diambil?" tanya Azalia kebingungan.

"Kan, istriku harus balik ke Mesir. Coba, deh, kita pecahin bareng dulu. Siapa tau cukup buat ongkos ke sana."

Lengkungan manis langsung terlukis menawan di bibir Azalia. "Gini, ya, rasanya diperhatikan dengan spesial oleh seseorang?" Terharu? Jelas! Azalia merasa sangat senang dengan perlakuan suaminya ini.

Fauzan turun duduk ke lantai.

Prang ...

Si ayam pun pecah. Terlihat berlembar-lembar kertas merah, biru, dan hijau yang bernilai telah mengisi celengan hampir penuh. Azalia pun kemudian ikut duduk ke lantai di hadapan suaminya.

Kita & 69 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang