O.6

97 14 5
                                        

Jura mengerang. Mobil yang dikendarai Aru berisik karena Awan terus berceloteh pada Riksha yang duduk tenang di sebelahnya.

"Berisik!" tegur Jura akhirnya.

Awan langsung bungkam, bersembunyi ke belakang pundak Riksha. "Tireknya marah, Bunda."

"Tirek?" tanya Aru melirik spion dalam.

"Iya! Dulu waktu pertama lihat Tirek di kelas 11, dia lagi lari-larian sama Harsa di lapangan sekolah sambil pose mirip T-rex. Makanya, Awan panggil Tirek sampai sekarang," jelas Awan.

Jura mendengkus, "Jelek banget sebutannya."

"Suka-suka Awan, wle!"

Nyaris menarik kerah sweater Awan di belakangnya, Jura urung melanjutkan karena tatapan tajam Riksha tertuju padanya seolah menyatakan; sentuh Awan, lu mati.

"Lu benar bundanya dia?" Aru memandang mereka penuh curiga. "Bunda semacam apa? Mommy sugar?"

"Bukan, tapi iya." Riksha mengelus kepala Awan yang rebahan di pahanya. "Bukan bunda kandung tentunya apalagi mommy sugar, tapi iya aku bundanya dia sekarang. Terserah Awan mau anggap aku apa."

Awan tersenyum. "Sekarang sampai nanti, ya?"

Riksha turut senyum. "Semoga. Eh, udah sampai!" ujarnya menghentikan laju mobil. "Makasih banyak, Kak Aru. Aku berhutang nyawa sama Kakak. Makasih juga Jura." Ia turun dari mobil beserta Awan yang menggendong tasnya.

"Kakak, nanti mampir lagi ke toko kue Awan, ya! Awan kasih bonus biskuit bintang nanti. Dah!" seru Awan sebelum mobil Aru tancap gas.

Aru hanya mengangguk. Labiumnya tertarik sedikit. "Gemasnya."

"Hah, siapa gemas?" Jura membeo.

"Yang pasti bukan lu," desis yang lebih tua.

"Kaya lu iya aja," balas Jura kesal.

Aru menghela napas pendek. Tangannya dengan lihai memutar kemudi terarah pada rumah keluarga mereka yang cukup jauh dari kos Riksha. "Lu suka sama perempuan tadi, 'kan?"

"Mana ada!" kilah Jura membuang muka.

Aru berdecih, "Gue hidup sama lu bukan cuma satu atau dua tahun, Zuzu. Jangan denial terus, nanti nyesel."

Jura masih geming merasakan panas di telinganya yang memerah.








⛅⛅⛅








"Kenapa lagi?" embus Riksha frustrasi.

Seharian ini Jura mengikuti ke mana pun ia pergi. Saat istirahat pun Jura tetap berada di kelas bersama dua kawannya. "Gak apa. Memang arah gue ke sini aja."

"Ke toilet perempuan?"

"Eh? Oh, itu--gue mau ke ... Yesa!" panggil Jura setelah tadi tergugu bingung menjawab.

Ia berlari pada Yesa yang tengah menunjuk dirinya sendiri. "Aing?"

"Iya," tawanya kaku merangkul Yesa dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan tujuan mereka sebelumnya.

Menatapi punggung Jura yang semakin jauh, Riksha masuk ke toilet untuk membasuh wajahnya yang kusut menahan kantuk selama pelajaran tadi.

Ia menatap pantulan diri di cermin. Mata lelah juga labium yang jarang tersenyum. Entah sudah berapa lama netranya nyaris kehilangan binar semenjak kejadian traumatis itu. Hanya beberapa hal yang membuat sisa binarnya itu bertahan.

"Bunda di dalam? Ibu Ana udah datang. Dia minta aku nyari Bunda," panggil suara yang menemani harinya setahun ini.

Awan; salah satu alasan ia mempertahankan binar kehidupan di kedua netra kelamnya.

Ꮒꫀᥲɾ ℳᥡ Ꮒꫀᥲɾtᖯꫀᥲt || Ꮖk᥉ᥲᥒ Ᏼꪮᥡ᥉ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang