O.5

45 5 0
                                    

Hari itu, Jura tidak masuk kerja. Bahkan keesokan harinya ia tidak ke sekolah. Harsa dan Dean sendiri kebingungan, ke mana perginya kapten futsal itu.

"Kita ke rumah Jura. Gimana?" tanya Harsa.

Dean menggeleng. "Gue udah ke rumah dia tadi pagi buat ajak berangkat bareng. Tapi, kata ART, dia lagi gak tinggal di rumah. Gak tahu di mana."

Obrolan mereka tertangkap rungu Riksha yang masih piket setelah bel pulang berbunyi. Dua persona itu juga ikut membersihkan kelas karena memang sudah jadwalnya, meski kerjanya hanya menghapus papan tulis dan membereskan meja guru.

Jura kenapa?

Menyelesaikan tugasnya, Riksha segera meletakkan sapu di pojok ruangan dan menggendong tasnya.

Ya, peduli apa aku?

"Riksha!" Seruan Harsa menghentikan langkahnya. "Lu kerja di kafe Blue Sky, 'kan? Jura kemarin masuk?"

Riksha menggeleng.

"Lah? Ke mana?" lanjut Dean.

Mengangkat bahu, Riksha keluar kelas tanpa satu kata pun. Harsa dan Dean saling berpandangan.

"Lu kedinginan gak?"

Harsa tertawa, "Banget, tulang gue sampai beku sama sikapnya Riksha."

Mereka tak sadar kalau persona yang bicarakan masih berada di sebelah pintu kelas, mendengarkan dengan seksama. Bahunya naik, lalu turun dengan berat. Ia sendiri tak paham kenapa bersikap seperti itu.

"Awan di mana, ya?" Matanya terarah pada benda pipih di tangannya. Bermaksud menanyakan kabar 'anak'-nya.

"Di sini!" Awan menepuk kedua bahu Riksha dan mendorongnya seperti bermain kereta api. "Ayok, kita pergi!"

Menerima semua tindakan Awan, Riksha tersenyum tipis. Tak peduli akan tatapan aneh yang berlabuh pada mereka dari siswa yang masih berlalu-lalang di sekitar sekolah. Toh, yang penting ia tidak mengganggu yang lain.

Sesekali tawanya menguar kala Awan bernyanyi dengan lirik yang melenceng dari lagu aslinya.

"Naik kereta Bunda, tut tut tut. Siapa hendak turut? Awan! Ke sekolah, ke tempat kerja. Bolehlah naik tapi harus bayar. Ayok, kawanku lekas naik. Gak naik nanti kita tinggal. Tut tut!"

"Salah lirik, Awan," tegur Riksha tetap tertawa.

Persona yang ditegur turut tertawa. Permainan kereta mereka berhenti saat naik ke angkutan umum. Awan berceloteh ria, dan Riksha berperan sebagai pendengar yang baik.

"Terus, Awan turunin deh kucingnya. Kasihan gak bisa turun dari pohon. Aneh banget, 'kan?"

Riksha mengangguk. "Iya. Bagus kamu tolong kucingnya. Suatu saat nanti kamu yang akan dapat pertolongan kalau kesulitan di hal yang biasanya kamu ahli."

"Emangnya Awan ahli ngapain, Bunda?"

"Ahli ngapain, ya? Ahli buat kue dan memahami pelajaran mungkin," balas Riksha.

Obrolan mereka menyita perhatian dari persona yang ada di angkutan umum. Beberapa berpikir akan hubungan aneh di antara mereka karena panggilan Awan pada Riksha. Tak sedikit yang merasa tidak suka, tapi tidak sedikit juga yang merasa tidak peduli.

Turun dari angkutan umum, Awan menggenggam tangan Riksha saat berjalan, dan mengayunkannya. "Bunda jangan lupa makan. Kalau capek, tidur aja lagi. Kalau mau nangis, kasih tahu Awan. Biar Awan peluk sampai Bunda selesai nangis."

"Iya, Awan."

"Bunda janji?"

Riksha hanya tersenyum. "Udah, semangat kerjanya."

Ꮒꫀᥲɾ ℳᥡ Ꮒꫀᥲɾtᖯꫀᥲt || Ꮖk᥉ᥲᥒ Ᏼꪮᥡ᥉ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang