O.12

84 13 0
                                        

"Wah, wangi cream soup!"

Seruan Awan membuat Aru menatap sekilas Riksha yang sarapan di depan TV. Memastikan Awan sudah masuk, ia lantas menutup pintu dan membuka sepatu. "Awan, sepatunya susun di rak ini."

Menurut, Awan meletakkan sepatunya tepat di sebelah sepatu Aru. "Bunda!" serunya berlari memeluk Riksha dari samping, "Awan kangen."

"Jangan lari-lari pakai kaos kaki, kamu bisa kepleset." Riksha menepuk pelan lengan Awan yang melingkar di pundaknya.

Aru duduk di sebelah Riksha yang tetap makan dengan tenang meskipun pergerakannya sedikit terbatas karena Awan masih memeluknya. "Cream soup dari mana, Riksha?"

Satu alis Riksha terangkat. "Kata Jura, Kak Aru yang bikin ini."

Menggeleng, Aru kemudian terkekeh, "Bocah gengsinya setinggi langit."

"Eh ... ini Jura yang buat?"

"Iya, Riksha. Gue mana bisa masak," tawa Aru melenggang ke kamarnya.

Awan melepas pelukannya, lantas membuka mulut begitu Riksha menyodorkan sesendok cream soup padanya. "Enak. Bapak Tirek pintar masak."

Riksha mengangguk. "Sama kaya kamu, ya?"

Menepuk dadanya bangga, Awan tersenyum lebar. "Iya, dong, anaknya!"

"Terserah Awan."

Awan tertawa kecil. Tak lama, matanya melirik ke sana ke mari. "Mana Bapak Tirek?"

"Pergi ke sekolah buat latihan futsal, sebentar lagi pertandingan antar sekolah."

"Bunda mau nyusul? Kita nyusul, yuk! Awan mau lihat Bapak Tirek main bola. Mau? Mau, yaa?? Bunda, please." Awan menatap Riksha penuh harap, membuat yang ditatap menghela napas.

"Gak boleh."

Awan beralih menatap Aru yang baru berganti baju. "Kenapa?"

"Bunda lu masih harus istirahat. Kalau perlu ke dokter." Aru menuju kompor untuk mengambil semangkok cream soup.

Seakan disadarkan, Awan dengan cepat menggenggam pelan pergelangan tangan Riksha yang masih memerah, juga mencermati pipi Riksha yang masih ditempel plester luka.

"Maaf, Bunda pasti masih sakit. Awan gak sadar. Maafin Awan, ya." Awan menunduk sedih masih memegang tangan Riksha.

"Iya, terima kasih, Awan."

Awan langsung menengadah menatap Riksha kaget. "Bunda, maaf. Jangan marah sama Awan."

"Aku gak marah. Ini buka lagi mulutnya." Riksha mengarahkan sendok ke mulut Awan yang diterima ragu-ragu.

Aru mengangkat kedua bahu, berusaha acuh walau hatinya entah kenapa sedikit nyut-nyutan.

"Lu di sini dulu aja, Riksha. Jura yang bakal jagain lu di sini, dan gue bakal jagain lu dari Jura kalau anak itu mulai kumat gobloknya," ucap Aru menyalakan televisi yang menayangkan kartun anak kecil tengil dengan beruang sirkus.

"Aku ...."

"Gak ada penolakan. Gue benci niat baik gue ditolak." Aru melirik sinis pada Riksha yang mau tak mau mengangguk.

Menelan suapan terakhir, Riksha berlalu menuju wastafel. Bibirnya menipis saat melihat banyak peralatan masak yang ditinggalkan begitu saja tanpa dicuci. "Jelas perbuatan Jura," embusnya mulai mengambil sabun juga sponge.

"Lu masih mau?" tanya Aru menyodorkan sendok pada Awan yang duduknya masih berjarak.

Awan mengangguk. "Masih ada?"

Ꮒꫀᥲɾ ℳᥡ Ꮒꫀᥲɾtᖯꫀᥲt || Ꮖk᥉ᥲᥒ Ᏼꪮᥡ᥉ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang