O.22

31 4 1
                                        

Lima hari berlalu semenjak Riksha pergi bersama Jura ke kampung halamannya. Saat ini, Jura dengan semangatnya menghampiri si perempuan yang duduk di barisan depan paling kiri, bersebelahan dengan jendela.

"Sha!"

Riksha yang baru saja menutup mata di atas lipatan tangannya di atas meja harus kembali mendongak, menatap Jura yang menyunggingkan senyum lebar. Mata tajamnya yang biasa melirik sinis kali ini membulat penuh antusias.

Bergumam sebagai jawaban, Riksha menanti perkataan yang akan keluar dari mulut Jura. Sinar mentari siang menyorot lewat sela-sela jendela kelas, semakin mencerahkan senyum persona di hadapannya ini.

"Nanti pulang ke apartemen gue, ya!" ucap Jura semangat.

"HAH?!"

Bukan Riksha yang menjawab, namun beberapa persona yang masih berada di dalam kelas pada jam istirahat kedua ini. Mereka menatap Jura dan Riksha bergantian, menuntut penjelasan.

"Ada kakak gue, gak usah mikir yang aneh-aneh kalian!" sentak Jura berkacak pinggang. Mendapat anggukan kaku dari yang lain, ia kembali memberikan atensinya pada Riksha.

Mata Jura melebar, mulutnya terbuka. Perempuan manis di depannya ini sudah tertidur dengan tangan sebagai bantalannya.

"Lu bercanda?" Jura menghela napas.

"Kak Riksha sudah tidur?" Awan baru datang dengan dua botol air mineral di kedua tangannya. "Katanya ingin makan bekal bersama," bisik Awan kembali duduk di kursinya sebelah Riksha.

Jura mendengkus, lantas mengusak rambut Awan. "Bangunin Kakak lu, yang ada sakit lambung kalau gak makan. Istirahat pertama dia gak makan, masa istirahat kedua dia gak makan juga?"

Awan hanya mengangguk, berusaha membangunkan Riksha, hingga persona di sebelahnya itu membuka mata. "Kenapa?"

"Makan, Kak."

Bergumam tak jelas, Riksha akhirnya duduk tegak. "Oke, kita makan."

Merasa tidak dipedulikan, Jura berdeham, "Sha, nanti pulang ke apartemen gue."

"Ada perlu apa?" Riksha mulai membuka kotak bekalnya.

"Ada lah ... nanti juga lu tahu." Jura tersenyum sembari memainkan kedua alisnya.

Awan mengerjap menatap Jura. "Alisnya pegal?"

"Gak, joget." Jura mengerling malas, menjauh dari mereka untuk menghampiri kedua sahabatnya yang sedang memberi makan cacing-cacing perutnya di kantin.

"Alis bisa menari?" gumam Awan, "belajar menari sama siapa, ya? Nanti Awan mau ikut belajar."

Riksha tertawa geli. "Itu sarkasme, Awan. Gak ada sejarahnya alis bisa menari. Udah, habiskan bekalnya, ya."

"Oke!"









"Udah tanya Riksha?"

Jura mengangguk, memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. "Jantung gue berisik banget, sumpah."

Harsa dan Dean mengembus napas malas. Kapten futsal yang baru membawa kemenangan pertama setelah tiga tahun eskul sekolah itu gagal meraih piala juara satu nampak tersenyum aneh dan beberapa kali terkekeh.

"Sinting lu, ya?" Harsa merapikan piring dan mangkuk bekas nasi sotonya.

Dean mengangguk. "Udah miring kayanya."

Jura melirik mereka sinis. "Sirik."

"Mana ada orang yang sirik sama orang gila. Yakin banget lu bakal diterima Riksha?" Harsa bersandar pada kursinya.

Ꮒꫀᥲɾ ℳᥡ Ꮒꫀᥲɾtᖯꫀᥲt || Ꮖk᥉ᥲᥒ Ᏼꪮᥡ᥉ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang