O.13

82 12 0
                                        

"Serius gue tinggal gakpapa?" Aru menatap Riksha yang bersikeras memintanya untuk segera pergi setelah Aru mendapat panggilan dari cafe.

Riksha mengangguk. "Kak Aru bisa jemput aku nanti malam. Aku mau siapin barang-barang aku dulu. Tenang aja, Kak, di sini ramai."

Menunjukkan ekspresi ragu, Aru mau tak mau mengiyakan perkataan Riksha. "Kalau ada apa-apa, telepon gue, atau Jura, atau Awan. Oke? Tapi, semoga gak ada apa-apa."

"Iya, Kak. Tenang aja, ya? Hati-hati di jalan, Kak." Riksha melambaikan tangan.

Memandangi mobil Aru yang menjauh, lalu menghilang di tikungan, Riksha membuang napas lesu. Ia mau tak mau menerima uluran tangan dari kakak teman sekelasnya. Ia berjalan pelan ke arah kamar kosnya di lantai dua, memutar kunci, lalu membuka pintu.

"Riksha pulang," ucapnya pelan.

Kebiasaannya untuk mengucapkan salam sebelum memasuki rumah terus terbawa sampai sekarang meski tak ada satu pun yang menyambutnya. Ia terduduk lemas di atas kasur busanya yang tertutup seprai bergambar bunga.

Ia memindai isi kosnya yang cukup berantakan karena sudah beberapa lama ia tidak bersih-bersih kamar. Memfokuskan pandangan pada lemari, ia mengembus napas pelan.

Berjalan menuju lemari plastik empat tingkat, ia membukanya, mengeluarkan satu per satu isi lemari ke atas tempat tidurnya. Tangannya dengan cekatan merapikan semua baju-baju yang berserakan ke dalam tas besarnya.

"Apa lagi yang harus aku bawa, ya?" gumamnya menelisik ruangan, "kata Kak Aru alat mandi udah dia siapin di apartemen."

Riksha menimbang-nimbang, akhirnya ia hanya menyiapkan tas berisi baju-baju serta skincare, dan peralatan rias. Sepatu yang ia punya pun hanya dua ditambah satu sandal.

Ia merebahkan tubuhnya yang lelah. Hampir empat jam ia berkutat dengan barang bawaan juga alat bersih-bersih, akhirnya kosannya terlihat lebih rapih dan tertata dari pada sebelumnya.

Riksha memejamkan mata, pikirannya yang awalnya penuh perlahan mulai kosong seiring kesadarannya menghilang karena lelah.










Awan bersenandung riang. Senyumnya terus merekah, membayangkan kalau ia akan pergi ke pasar malam karena Riksha dan Aru sudah berjanji akan menemaninya ke pasar malam, meski ada sedikit perdebatan di mobil saat mereka mengantar Awan ke toko kue. Perdebatan terjadi antara Aru yang melarang Riksha pergi karena keadaannya baru lebih baik juga Riksha yang enggan meninggalkan Awan berdua dengan Aru ke pasar malam.

"Dari sini ke kiri!" Awan bertepuk tangan, menemukan kosan Riksha yang berada di ujung jalan. "Hore, Awan ingat!"

Dengan sedikit berlari, Awan tersenyum cerah. Namun, detik selanjutnya, senyum itu luntur seketika begitu seseorang bermasker dan memakai helm berlari ke luar gerbang kosan, lalu memacu motornya pergi dengan terburu-buru.

"Kok mirip sama yang kemarin, ya?" gumamnya curiga.

Berkutat dengan pikirannya, Awan berjalan semakin pelan ke gerbang kosan. Matanya melirik ke kamar kosan Riksha, seketika ia terbelalak.

Angin berembus, hawa hangat menerpa wajah Awan yang membatu memandang bunga api yang tengah berkobar di depan matanya. Si jago merah tampak merambat ke kamar-kamar yang lain, menambah warna jingga yang menyatu dengan langit sore. Percikan api melompat-lompat begitu membakar potongan kayu, menggerogotinya hingga menjadi arang.

Teriakan demi teriakan bersautan, suara tapak kaki juga seruan semakin ramai seiring membesarnya kobaran api.

Otak Awan terasa mati, sampai suara berisik di sampingnya membawa kesadarannya kembali.

Ꮒꫀᥲɾ ℳᥡ Ꮒꫀᥲɾtᖯꫀᥲt || Ꮖk᥉ᥲᥒ Ᏼꪮᥡ᥉ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang