O.14

26 8 0
                                    

"Sialan!" geram Aru mendengar penjelasan Awan yang sudah duduk tenang di sampingnya. Ia bahkan sampai memukul setir mobil.

Awan tersentak, mengelus dadanya tak siap dengan kata kasar yang keluar dari mulut Aru. "Bahasanya tidak baik, Kak."

Aru berdecak, ia menggigiti kukunya kesal. "Lama-lama orang itu gue bunuh."

"Kak Aru gak boleh bunuh orang. Dosa. Biar Tuhan aja yang balas, Kak. Tuhan tahu karma terbaik yang bisa dia terima itu apa," jelas Awan berusaha menenangkan.

"Gak, gak. Gue gak mau merepotkan Tuhan, biar gue aja yang balas." Aru mengklakson mobil yang tiba-tiba menyalip di depannya disertai makian yang membuat Awan menarik napas dalam.

Menerima pesan dari Jura, Awan mengangguk paham. "Nanti Awan bakal diwawancara polisi, deh. Soalnya Awan juga saksi kejadian yang lihat pelakunya. Awan juga ingat persis plat nomor motornya."

"Bagus." Aru memasuki parkiran rumah sakit.

Mereka berjalan terburu-buru ke ruang rawat Riksha. Keadaannya sudah membaik setelah mendapat penanganan di UGD. Di luar ruang rawat itu, terdapat beberapa polisi yang nampak berbincang dengan Jura, kemudian menyadari eksistensi kedua persona yang berjalan ke arah mereka.

"Saudara Awan, bisa kita berbicara sebentar?" tanya salah satunya.

Awan mengangguk, meninggalkan Aru yang menghampiri Jura di depan ruang rawat. Kedua saudara kandung itu terduduk lesu di kursi yang rumah sakit sediakan.

"Riksha gimana?"

Jura masih menunduk. "Udah membaik."

"Gak tunggu Riksha sadar di dalam?"

Menggeleng, Jura kemudian bersandar pada tembok, menatap langit-langit. "Kenapa gue selalu telat datang, Kak?"

Aru terdiam, membiarkan adiknya kembali berbicara.

"Gue bilang ke dia kalau gue ada buat dia, jadi dia gak perlu cari-cari Awan lagi. Tapi, apa? Awan selalu jadi yang lebih dulu ada buat Riksha, bukan gue. Gue ... gak berguna banget."

Menipiskan bibirnya, Aru menepuk pundak Jura. "Gue tahu lu telat datang, tapi setidaknya lu selalu tahu kapan dia butuh bantuan. Selanjutnya, pastiin Riksha selalu aman. Apa yang udah lewat, ya udah. Lu gak bisa berbuat apa-apa."

Jura menoleh menatap kakaknya yang berusaha menghibur.

"Kalau kemarin lu gak berguna, seenggaknya besok lu bisa berusaha untuk jauh lebih berguna." Aru akhirnya tersenyum tipis. "Kita tunggu di ruang rawat, ya?"

Jura mengangguk, mengikuti langkah kakaknya memasuki ruang rawat Riksha. Si puan tampaknya benar-benar gemar bermimpi, enggan membuka mata untuk sekadar menyapa mereka.

"Awan pasti mau jadi pemadam kebakaran, deh. Dia cerita  seperti apa kejadiannya pas dia bawa keluar Riksha. Pintar banget," puji Aru menduduki brangkar di sebelah kaki Riksha.

Jura tak mendengarkan, ia sibuk menatap Riksha yang masih berperan menjadi putri tidur. Ia memang terbiasa melihat Riksha terlelap, tapi kali ini berbeda. Jura merasa tidak nyaman melihatnya belum mau membuka mata.

"Cewek lu bakal baik-baik aja. Percaya sama gue," decak Aru memutar mata malas.

"Gue tahu, gue cuma ... takut." Jura menarik kursi agar bisa duduk di sebelah brangkar Riksha.

Aru menghela napas. Matanya beralih pada satu notifikasi di layar HP-nya. "Gue harus keluar sebentar. Bilang Awan, sejam lagi gue balik."

Jura menatap bingung Aru yang keluar dengan terus mengotak-atik HP-nya. Memilih acuh, Jura kembali memandangi Riksha. Sedikit merasa bersyukur karena Awan benar-benar dengan baik membungkus tubuh Riksha dengan handuk basah, hingga tak ada satu pun luka bakar yang Riksha terima. Riksha hanya sesak napas karena asap dan kekurangan oksigen.

Ꮒꫀᥲɾ ℳᥡ Ꮒꫀᥲɾtᖯꫀᥲt || Ꮖk᥉ᥲᥒ Ᏼꪮᥡ᥉ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang