Prolog

55 16 2
                                    

Ikan berenang-renang di pinggiran kali yang terselimuti lumpur. Anak-anak menangis tersedu-sedu meminta dibelikan mainan pada sang Ibu. Menunjukkan, bahwa selain beban keluarga, juga beban masyarakat, sungguh mengganggu.

Beberapa pemuda  yang berlalu lalang di alun-alun air mancur melemparkan guyonan kocak dan di antaranya terkesan kurang ajar dan tidak bermartabat. Rambut yang rapi dengan pakaian yang di sudut kerahnya bersematkan kilauan pin emas. Lambang burung setengah naga tercetak jelas di baju lengan kiri atasnya. Akademi Volna.

Suhu yang pada awalnya kering, tiba-tiba saja berubah lembab dan semakin dingin. Awan melingkupi langit seolah ada makhluk besar yang menaungi atas sana. Kabut mulai turun dan menutupi jarak pandang di sekitar menjadi lebih pendek. Padahal hari masih siang-siang buta. Entah apa yang terjadi dengan negeri ini, seolah seperti yang dikatakan banyak orang, negeri terkutuk.

London dan Backharat sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat. Walau tempat ini senantiasa diselimuti oleh kabut dan awan mendung, namun arsitektur bangunannya mengalahkan keindahan london dan kota-kota sekitarnya.

Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada terjebak dalam gudang penyimpanan roti di kedai makan samping universitas, dan terkurung di sana hingga tiga hari lamanya. Di momen mengerikan itu, tentu saja aku berupaya mencari jalan keluar, dari mendobrak pintu dengan sekuat tenaga, menggunakan barang-barang yang ada di sana untuk menghancurkan pintu tersebut agar dapat terbuka. Dan alih alih berhasil keluar, London indahku telah menghilang dari pandangan. Tersisa sebuah tempat asing yang berciri khas hampir sama. Gelap, mendung, dan tua.

365 hari yang lalu, aku di London. Namun, beda cerita sekarang. Sebutan negeri orang masih kurang pas untuk mendeskripsikannya. Benar-benar di luar dari pada itu, dan seakan kembali mengulangi waktu ke belakang.

“Minggir!” nah, lihatlah. Aku  hampir saja terjungkal jika saja tidak cepat-cepat mengelak barusan. Benar-benar Backharat. Penuh huru-hara dan kesibukan. Di Backahart, kau harus siap bertarung walau di dalam lubang got sekalipun, karena tempat ini sama sekali tidak menyediakan zona nyaman untukmu.

Brakk!

“Apa-apaan kau? berani sekali budak rendahan sepertimu  mengotori gaun kesayanganku? pengawal!” hardik seorang wanita berambut pirang di sebelah sana.

Tidak. Pengeculian untuk mereka yang kaya dan berpangkat tinggi. Kau bisa melakukan sesuatu sesuka hatimu dengan lebih leluasa. Karena barangkali, hukum di sini bisa dibeli dengan uang.
Dan hari-hariku seringnya berjalan sebagaimana biasanya. Melakukan beberapa pekerjaan dan menjual apel keliling yang kupetik dari pohon liar di luar wilayah. Hingga suatu tawaran mengubah hari indahku yang tak seindah harapan. “Sebuah tawaran bodong.” Begitu aku menyebutnya, sial.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang