Bab 7

16 9 1
                                    

Suara pintu diketuk secara bertalu-talu menggema dari koridor luar sana. Aku terbangun dan sedikit mengernyit ketika gelegar gemuruh di luar menggetarkan bangunan asrama. Suara ketukan itu tak kunjung henti hingga tanpa berpikir lagi aku langsung saja menyibakan selimut yang entah sejak kapan membungkus diriku dan bangkit dari ranjang. Tapi tampaknya, aku membuat kesalahan besar. Rasa nyeri di balik perban yang membungkus kulitku merebak ke sekujur saraf-saraf tubuh, hingga tanpa sadar membuatku meringis.

Seseorang bergerak dari ranjang seberang dan bangkit menuju pintu berisik tersebut dengan tenang. Sejenak, aku hampir lupa jika aku berbagi ruangan dengan penghuni lain.

Bunyi klik dari pintu terdengar dan benda tersebut terbuka separuh menampilkan sosok pria berkumis uban. Keadaan yang remang-remang ini membuatku tidak bisa menangkap rupa orang tersebut.

"Selamat malam, tuan Adrennus. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda itu tenang. Kedengarannya sih begitu. Tapi, apakah memang benar? di telingaku, pertanyaan tersebut lebih mirip seperti sebuah sindiran. Kutebak pemuda itu tengah mengumpat di dalam sana.

"Mohon maaf jika saya sudah membangunkan anda, Pangeran. Kami sedang melakukan pengecekan tiap-tiap kamar di setiap asrama. Tolong izinkan saya untuk masuk melihat," ucapnya. Terdengar tegas dan kukuh.

Tanpa banyak bertanya, kulihat ia mulai mundur dan membukakan pintu itu lebih lebar dan membiarkan pria tersebut masuk. Saat ia melangkah ke dalam, barulah aku dapat melihat siapa yang datang mengetuk-ngetuk pintu di tengah malam buta ini.

Pria itu tidak begitu tinggi, namun juga tidak pendek. Rambutnya pirang di atas bahu, setengah keriting bagaikan musisi eropa zaman dahulu. Ia menatapku yang juga tengah menatapnya dari atas tempat tidur ini. Beruntung posisi tubuhku bukan dalam posisi tidak karuan.

"Anda siswa baru tempo hari lalu, kan?" tanyanya padaku memastikan. Aku mengangguk, dan pria itu juga ikut mengangguk menemukan jika asumsinya benar.

"Baiklah. Saya datang hanya untuk mengecek keadaan. Kalian pasti tahu apa yang sedang terjadi di akademi di cuaca yang buruk begini," tuturnya bermakna. Awalnya aku tidak merasa aneh, karena belum paham dengan maksud ucapannya barusan. Setelah beberapa saat, barulah aku langsung mengerti ke mana arah pembicaraan ini berlangsung. Ada yang tewas lagi.

Sekujur tubuhku entah mengapa seketika menjadi dingin dan meremang. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan akademi ini? Jika tidak salah, dengan kasus barusan, berarti sudah terhitung empat kali. Dengan gejala fenomena yang sama-badai kilat. Dan, apakah Johanca juga kembali menjadi cenayang? atau kali ini, membuat nubuat barangkali?

"Apa Johanca kembali mengatakan sesuatu?" tanyaku tak tahan ingin tahu lebih jauh lagi. Dan memang benar. Pria yang tadi dipanggil Adrennus itu mengangguk.

"Oh!" Seruku tanpa sadar menutup mulut dengan sebelah tangan.

"Kali ini siapa?" tanya pemuda itu akhirnya setelah lama menutup mulut.

"Simon Alfonso."

Aku tidak tahu lagi perkataan selanjutnya dari pria itu setelah nama tersebut terlepas dari bibirnya. Petir kembali menggelegar memanah salah-satu pohon liar di luar sana. Entah mengapa, dunia di sekitarku seolah berputar dengan cepat, hingga membuatku hampir lenyap ke dalamnya.

"Kau mengenalinya?" tanya pemilik suara itu yang menatapku dari ranjang seberang. Aku mengangguk. Tak berniat melakukan kesalahan yang sama seperti beberapa jam yang lalu. Setelah Adrennus kembali, ruangan kembali senyap seperti semula.

Tadi, setelah diancam hampir ditembak, tampaknya aku ketiduran di kasur karena shock. Sebenarnya ini juga adalah sebuah mukjizat bagiku masih bisa membeliakkan mata menatap cahaya nyata kilat yang tengah menyambar di luar sana dari balik gorden. Aku menatap ke jendela yang berada di samping tempat tidur.

"Kau harus cepat pergi dari sini," katanya terdengar kasar.

"Apa?" tanyaku dan spontan langsung mengalihkan pandangan menatap ke arahnya lagi. Ia balik menatapku. Walaupun tertutupi oleh keremangan, namun pantulan warna amethyst tampak berkilat akibat dari kobaran api lilin di sudut ruangan.

"Kau sudah melihat kejadian hari ini. Ini akademi khusus pria, gadis sepertimu tidak cocok berada di tempat seperti ini," katanya tegas. Kalimat tersebut seolah berkerikil dan kasar.

Keluar katanya? ini baru berapa hari aku berada di sini? Bagaimana bisa aku melakukan pengajuan keluar begitu saja tanpa menimbulkan tanda tanya di benak para pengajar? belum lagi reputasi dari nama belakang yang tengah kusandang saat ini? Lalu, bagaimana bisa aku mengatakan pada si inisial WL jika aku gagal dan ketahuan.

KETAHUAN! oh betapa bodohnya engkau Freya. Kau telah ketahuan! Itu berarti, misi ini telah gagal berdasarkan kontrak yang berlaku. Dan aku akan mendapatkan sanksi! Oh Tuhan. Apa yang aku lakukan sebenarnya?

Aku kembali cemas memikirkan hukuman apa yang akan kuterima atas kelalaian kerahasiaan misi ini. Entahlah, kurasaka memang waktuku sudah di penghujung tanduk. Apa sebaiknya aku menghimbau kepada seluruh para tukang apel di pasar untuk membuatkan karangan bunga yang besar untuk pemakamanku? Hah, lelucon. Memangnya aku siapa? Selir ke sepuluh raja?

"Dari ekspresimu itu, sepertinya kau masih menyimpan rahasia ya mengenai tuanmu?" Nah, memang dasarnya tolol ya tolol saja. Sudahlah miskin, melarat dan lemah. Aku sangat mengutuk wajah penuh kejujuran teladan ini, sialan. Tuhan, aku ingin minta maaf karena mengejek masterpiece-mu. Namun karena barangkali tampaknya takdir yang digarisi olehmu padaku sangatlah indah dan penuh warna, maka maafkanlah hambamu ini yang gemar mencela dan tidak besyukur.

Ekhem. Aku berdehem sesaat dan menarik napas, sebelum kemudian mulai mengarang sebuah naskah lakon cerita. Semoga percaya.

"Bukan begitu pangeran. Saya hanya sedang membanyangkan dampak negatifnya pada nama keluarga Josefint jika saya keluar begitu saja. Bukankah, pandangan orang-orang akan buruk pada Count?" jawabku.

"Memang sudah buruk. Tak perlu menahan untuk membuatnya tambah buruk!" celetuknya.

Nah. Bukan aku ya yang berkata demikian, Count Josefint. Itu murni keluar dari bibir calon raja kalian.

Aku kembali tersenyum. Senyuman tulus penuh kesabaran seluas kebun pala milik tetangga komplek yang mengejarkan dengan parang panjang layaknya penyamun.

"Anda benar, pangeran. Tapi, saya juga yang akan kena imbasnya." Kuharap, dia tahu apa makna dari kalimat tersebut. Maksudku, aku juga takut jika harus disidang oleh si WL itu karena telah mengagalkan misi dan melanggar aturan kontrak. Iya, aku tahu. Kalian pasti akan berpikir dan bilang, siapa suruh aku blanblabla. Sudahlah. Aku juga lelah. Terkadang, ketika seseorang tertimpa masalah, yang dia butuhkan bukan sebuah repetan menjemukan, namun solusi akhir atas kebodohan yang telah ia lakukan. Benar kan?

"Aku tak peduli," tandasnya menyelekit. Sial.

Lalu melanjutkan," kuberi waktu seminggu padamu untuk berkemas dan pergi dari sini. Jika tidak, kau akan menyesal."

Setelah itu, ia berbalik dan menutup diri dari pandanganku. Pembicaraan pun selesai. Aku diusir? Awas, kutandai kau pengeran!

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang