Bab 14

17 10 0
                                    

Ini mengerikan. Sungguh. Sekujur tubuhku bergetar hebat, mengigil menatap sosok di hadapanku yang berdiri dengan aura mengintimidasi.

Apakah ini adalah orang yang sama dengan yang kemarin menjadi pawang burung itu? Semuanya lenyap begitu kedua mata berbeda warna itu menatap tajam padaku dengan pandangan mengerikan. Ia lalu tertawa dan menutup separuh wajahnya dengan salah satu telapak tangan. Tawa tersebut terdengar sangat mengerikan.

"Kau semestinya tidak bermain di sini malam ini, gadis kecil," katanya menyeringai.

Aku secara tak sadar telah beringsut mundur menjauhinya dari jendela tersebut. Namun tampaknya hal itu sama sekali tak memberi pengaruh saat ia mulai menginjak ranjang ini hingga menyebabkan tempat tidur ini bergoyang. Ia terus mendekat, dan sebaliknya begitupun aku, hingga diriku sudah berada di ujung. Ia menekuk satu kakinya dan mulai berjongkok di hadapanku.

Senyum dingin dan pongah terbit di bibir itu. Seolah memiliki kepribadian ganda, tawa aneh bak orang gila tadi telah lenyap dan kini kedua mata yang berbeda warna itu menatapku dengan sorot dingin dan terkesan remeh.

"Manusia sepertimu hanya makhluk rendahan," cemoohnya kasar.

Salah satu tangannya terangkat dan mulai mengarah ke wajahku. Kuku runcingnya membelai dengan pelan, tapi terkesan begitu rawan untuk menyakiti.

Tubuhku semakin membeku dan tidak bisa bergerak saat dirinya mulai melakukan hal-hal aneh dan terkesan kurang ajar. Aku meringis dalam hati dan memejamkan mata guna menahan rasa takut. Ingin aku memberontak, tapi tak mampu. Rasa takut benar-benar telah mendominasiku. Seakan menjerat seluruh indera untuk bergerak dan melawan. Saraf-sarafku seolah telah dilumpuhkan.

Ia mencondongkan dirinya ke arahku, dan memainkan poniku yang berjuntai di depan kening, Sebelum menciumnya dan menjilatinya. Aku spontan merinding. Beralih dari situ, kepala itu semakin tercondong ke depan dan mulai mengendus area di sekitar leherku. Berulang kali seolah mengikuti alur cekungan tersebut dan berakhir berhenti di belakang telingaku.

Sesuatu yang basah dan dingin terasa melingkupi leherku. Selama beberapa saat, posisi kami terus begitu, sebelum aku meringis dan hampir menjerit kencang jika saja dirinya tidak segera membekap erat mulutku dengan satu tangannya yang lain, sedang tangan lainnya menahan punggungku agar tidak bergerak.

Perih.

Leherku terasa disayat dan di tusuk oleh sesuatu yang tajam dan berukuran besar. Tusukan tersebut terkesan cukup dalam. Dan ketika ia mengangkat wajahnya dari sana, aku sekilas dapat melihat bercak darah bersimbah di bahuku dengan berantakan, demikian di sudut bibirnya. Bau anyir dan besi menguar di indera penciumanku.

Entah makhluk apakah dia ini. Aku bersumpah, setelah semua ini usai, Jika nyawaku masih tersisa hingga esok, besok aku akan segera mengundurkan diri dari sini. Akan kucari cara untuk mengambil kembali manuskrip itu dan membawanya keluar tanpa ketahuan. Aku sudah bertekad. Segalanya terasa keliru. Kacau. Akan lebih baik mengacaukan saja semuanya dengan melakukan perbuatan yang nekat sekali lagi.

Aku kembali menjauhkan wajahku dan beringsut menjauhinya. Namun tangan penuh tenaga itu dengan cepat kembali menahan punggungku dan menjilati darah di sekeliling bahuku yang sudah bersimbah darah, bahkan sampai membasahi bajuku.
Semakin lama, tubuhku seolah terasa semakin lemah dan tak berdaya, demikian dengan napasku yang tanpa sadar telah berubah menjadi terengah-engah.

Sepertinya makhluk ini menyadari perubahan dalam diriku. Dan ketika kesadaranku mulai hilang, sesuatu yang basah dan lembut menyentuh bibirku selama beberapa saat. Pikiranku memberontak, tetapi tubuhku tak bisa merealisasikan emosi di dalamnya. Rasanya sungguh pening. Aku mendengar sebuah gumaman yang tak begitu jelas setelahnya, sebelum segalanya berubah padam.

Ketika pagi membangunkanku, semuanya tampak kacau. Kapuk bantal berserakan di lantai. Dan kulihat sesuatu berkilat di bawah sana.Genangan air tampak berpendar dari sini terpantulkan oleh cahaya. Vas mawar di meja samping pintu itu telah pecah, demikian dengan mawar-mawarnya yang tergelatak tak bermakna di bawah sana.

Dan daripada itu, yang kembali membuatku terpaku, kehadiran seseorang yang kini tengah terbaring di sebelahku terpejam rapat. Hembusan napas pelan dan teratur senantiasa keluar dari hidung mancung itu. Rupa yang sempurna, tetapi tidak berhasil menghilangkan ketakutanku atas kejadian tadi malam.

Dan tanpa sadar, lagi-lagi tubuhku bereaksi tremor. Astaga. Sejak kapan aku jadi penakut.

Tanpa menunggu lama lagi, aku melangkah dalam diam dan mengambil seluruh pakaianku yang tersimpan di dalam lemari, sebelum kemudian menjejalkannya semua ke dalam sebuah bag kecil berbentuk segi empat.

Beruntung barang-barangku sedikit. Aku mengambil sebuah kain sembarang yang terdapat di atas nakas guna mengelap bekas darah yang masih menempel di pundak dan telinga ku. Kemudian meraih sebuah mantel musim dingin dan melapisinya ke tubuhku agar baju di bawahnya tidak terlihat kotor. Beruntung celana yang kemarin kupakai masih belum sempat kuganti.

Dan kini, aku lantas melebarkan kaki dan meraih kenop pintu dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi agar tidak menimbulkan bunyi, sebelum kemudian menutupnya dari luar dan beranjak dari sana.

***

Aku bolos, dan sekarang berada di ruang administrasi akademi. Madam Jeffeny menanyai banyak pertanyaan padaku dan kujawab dengan jawaban ajaib. Di luar dugaan, wanita itu mempercayainya.
Aku beralasan untuk mengambil cuti mendadak selama beberapa minggu kedepan karena ayahku tengah sakit. Dan mendengar nama Rudolf Josefint keluar, wanita itu lantas langsung memercayainya tanpa bertanya lagi lebih lanjut. Tapi sebelum benar-benar pergi, aku berusaha menyempatkan diri menyelinap ke perpustakaan itu, namun di sana aku mendapati seseorang yang sangat kukenali.

Beberapa orang tampak keluar dari pintu tersebut. Aku memutuskan bersembunyi di balik beberapa rak yang ada di sana dengan wajah tertutup. Tidak ada yang menyadari kehadiranku.

Kupikir aku tengah bermimpi. Tapi nyatanya, itu bukan mimpi. Suara itu terdengar begitu jelas.

Suara tembakan bergema keseisi ruangan tersebut. Seketika degup jantungku bertambah berkali-kali lipat lebih kencang.

Siapa lagi yang menembak? Apakah orang kemarin? Dan ketika aku mendengar suara langkah buru-buru yang semakin mendekat ke arah pintu tempatku berdiri saat ini, aku pun memutuskan bersembunyi di balik pintu besar tersebut yang terlipat ke dalam.

Saat orang itu berlari keluar, aku lekas kembali masuk ke dalam dan menuju ke sebuah rak yang kemarin menjadi tempat diletakkannya manuskrip itu. Dan tentu saja tidak ada apa-apa di sana.

Kurasa manuskrip itu sudah dipindahkan ke tempat lain. Tapi di mana?
Suara-suara ribut mulai terdengar dari kejauhan, dengan panik aku sontak langsung keluar dan berlari menjauhi bangunan itu hingga melompati pagar setinggi tiga meter akademi.

Kalian tahu? segalanya terasa kosong. Aku seolah terombang ambing di dunia ini. Aku merasa bingung dan hilang arah. Seakan, kemana pun aku pergi, semua terasa salah, berbahaya, dan berisiko. Kupikir perkara diriku dahulu cukup memberatkan.

Namun ternyata, aku salah. Akan lebih berat jika kalian menghadapi kesulitan tersebut di tempat asing yang antah berantah. Tidak ada rumah sebagai tempat singgah. Dan orang terkasih yang benar-benar dapat dipercaya.
Kakiku terus berlari tanpa henti. Akademi semakin jauh dari pandangan, tertelan di balik bahu. Dan tembok bangunan tersebut sepenuhnya menghilang ketika kerumunan telah melalap habis diriku.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang