Bab 3

25 13 1
                                    


Aula makan riuh dan ramai. Seperti apa saja, benar-benar absurb dan tidak terlihat bermartabat. Beberapa yang kulihat memang tampak bermatabat dan duduk dengan elegan. Namun, kebanyakan yang lainnya berisik dan bergerak dengan tidak tahu diam. Barangkali ADHD. Aku juga tidak paham di mana letak tata krama kebangsawanan mereka. Atau barangkali, mereka yang tidak tahu diam adalah kategori murid yang remedial dalam mata pelajaran tata krama kebangsawanan? Baik. Kutetapkan seperti itu saja.

Seketika, seluruh kebisingan dan suara-suara yang tadinya mengganggu tiba-tiba saja berubah sunyi saat dari arah sudut ruangan, seorang siswa masuk dan menuju sebuah kursi di bagian salah satu pojok meja panjang.

Hanya dengan kehadirannya saja, seisi aula makan berubah menjadi tenang. Dan gerakannya ketika duduk itu benar-benar berbeda sekali dengan dua orang yang tidak bisa berhenti diam di sebelahku ini—Anggun.Padahal, dia adalah seorang pria—Berarti tidak remedial. Apakah dia rekan sekamarku? Sudah setengah hari di akademi ini, dan setengah hari ini pula aku belum bertemu dengan rekan sekamarku.

Tak berapa lama kemudian, barulah makan malam kami dimulai. Aku mulai mencicipi hidangan dengan tidak sabaran. Tapi tenang saja, diriku masih bisa terkontrol kok. Ketika sesuap sendok kuah sup masuk ke mulutku, tiba-tiba dari arah meja di belakangku, seseorang berteriak histeris dan tampak ketakutan hingga tanpa sadar piring yang berada agak condong ke tepi di hadapannya itu jatuh, menimbulkan gema pecahan renyah ke seisi ruangan.

"Berdarah! Aaaa!"

Siswa tersebut tampak ketakutan. Wajahnya pusat pasi. Bulir-bulir keringat terbit di dahinya, dan tubuh itu bergetar dengan hebat. Seluruh atensi di ruang aula makan ini tertuju padanya. Pandangan bertanya-tanya pun kian dilemparkan orang-orang pada sosok yang berteriak histeris tersebut.

"Apa yang terjadi?" tanya seorang siswa yang satunya lagi yang duduk berhadapan dengannya mencoba menenangkan. Aku seakan menangkap raut lelah dari ekspresi itu.

"Darah di mana-mana. Gedung tiga belas bagian timur..."

Mendengar kalimat yang keluar dari siswa yang ketakutan tersebut, pria itu pun lantas berdiri dan bergegas keluar bersamaan dengan beberapa siswa lainnya yang juga ikut bersama dirinya entah hendak pergi ke mana. Aku juga bingung apa yang terjadi. Maklum saja, baru setengah hari di sini. Maka, tanpa pikir panjang tanganku kembali menyendok sesuap sup lagi ke dalam mulut. Andai kalian tahu betapa lapar dan enaknya sup ini di mulutku. sangat cocok untuk disantap di momen sekarang.

Selagi meneruskan kegiatan makanku, sesekali aku dapat mendengar gosipan dari gumaman yang dilontarkan oleh orang-orang pada kejadian barusan. Namun, aku masih tidak paham maksud arah pembicaraan mereka tersebut. Dan setelah kejadian tadi, siswa yang berteriak kalut itu diantarkan ke asrama oleh seorang siswa lainnya.

Semuanya kembali berjalan normal. Aku kembali ke asrama setelah makan malam di aula bersama usai. Seorang siswa berambut pirang mengajakku berbicara tadi setelah aku menyantap makanan. Kami mengobrol sebentar dan sedikit berkenalan. Dan kesan pertama yang singkat tersebut sudah dapat membuatku menggali sejumlah informasi baru.

Keganjilan aneh ini, kurasa Volna bukan hanya sekadar akademi biasa. Akhir-akhir ini, para siswa dan guru kerap mendapat teror berupa kematian yang kian sering menimpa siswa di sini. Dan mereka mati dengan cara yang beragam. Namun, ada sedikit kejanggalan dari caranya merenggang nyawa.

Kasus pertama terjadi di bulan ketiga bertepatan saat musim semi. Putra bungsu keluarga Count Younafth, Gerard Isver Younafth ditemukan terjatuh di bawah pohon ek di samping gedung administrasi akademi yang berada di bagian Selatan. Lalu, beberapa bulan setelahnya, pada bulan ke tujuh di akhir musim panas, seorang siswa kembali ditemukan tewas bersimbah darah di gedung kedua bagian Utara. Dan kejadian di gedung kedua diduga siswa tersebut melompat bunuh diri dari lantai empat ruang musik, lantaran saat itu ditemukan jendela tersebut terbuka lebar dan mayat itu ditemukan telah bersimbah darah keesokan harinya di bawah sana. Kematian Gerard sendiri belum diketahui penyebabnya dengan pasti. Dugaan awalnya yang mengatakan pria itu terjatuh dari pohon tinggi itu tidak membuat keluarganya percaya begitu saja. Count Younefth menolak asumsi tersebut dan menganggap hal itu sangat tidak masuk akal, karena Gerard sendiri tidak bisa memanjat. Dan sebenarnya, hal itu bisa saja menjadi masuk akal jika dikaitkan dengan bagaimana caranya dia bisa sampai terjatuh. Namun, yang selalu membuat orang-orang merasa aneh, dari kedua kejadian tersebut, mengapa setiap kali terjadinya selalu disertai dengan turun hujan yang begitu dahsyat dan petir yang menggelegar, serta Johanca yang menggila seperti yang terjadi di aula makan tadi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dan sekarang, aku mulai mendengar samar-samar suara rintikan hujan di atas atap yang lambat laun berubah menjadi semakin keras seiring bertambahnya intensitas rambahannya. Langit kembali mendung, dan apa cerita yang di sampaikan Levian tadi ternyata benar adanya. Beruntung aku sudah tiba lebih cepat sebelum hujan menimpa.

Sesuatu berderit di belakangku, dan spontan aku membalikkan tubuh berputar ke arah belakang untuk melihat sumber suara tersebut. Bodohnya aku, kenapa bisa lupa menyalakan lilin? Padahal hari sudah gelap sedari tadi. Kini yang memberikan cahaya hanya sesekali kilatan petir dari luar. dan tepat di suatu momen, kilatan itu menjadi begitu terang dan dalam sekejab mengisi seluruh sudut ruangan dengan cahaya putihnya. Saat itulah aku melihat sosok pemilik kamar yang asli ini.

Rambut itu selegam malam tanpa bintang. Dan aku hampir terperanjat saat menyaksikan bola mata merah menyala itu. Namun, kilatan tersebut tak bertahan lama karena setelahnya, keadaan kembali gelap, dan petir kembali bergemuruh dengan hebat.

Bangunan bergetar. Dan suara tetesan air yang mengalir dari tubuh yang basah kuyup tersebut ajaibnya dapat kudengar. Dan tanpa berpikir lama lagi, aku langsung meraba-raba sebuah kain yang berada di atas tempat tidurku.

"Sebaiknya kau mengeringkan tubuhmu terlebih dahulu," ucapku dan melempar kain tersebut. Benda serap air itu jatuh tepat di hadapannya, dan aku dapat melihat sosoknya yang masih kian berdiri di sana tanpa melakukan gerakan apapun selagi petir di luar sana bertalu-talu menyambar hingga menimbulkan kilatan cahaya putih bak lampu korslet.

Setelah beberapa saat, barulah aku merasakan gerakan darinya. Ketegangan pun kembali berkurang ketika pria itu mulai berjalan menuju meja di sudut tempat tidurnya, meraba-raba sesuatu di dalam kegelapan yang tak bisa kulihat dengan jelas. Beberapa saat kemudian, ruangan yang awalnya gelap, kini berubah berderang ketika cahaya kejinggaan yang muncul dari api lilin itu mencurah seisi ruangan.

"Siapa kau?" tanya suara itu dingin. Terdengar menusuk dan tidak senang.

Aku tahu, aku tahu. Tapi, aku hanya akan berada di sini sebentar saja. Setelah mendapatkan manuskrip kuno itu, aku akan kabur dari sini, sahutku dalam hati.

Aku mencoba menetralkan perasaanku dari aura intimidasi tersebut, berdehem sebelum menjawab pertanyaan tersebut dengan nada yang dibuat seramah mungkin.

"Hai, aku Fredinand Josefint, teman baru sekamarmu."

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang