Bab 6

13 10 1
                                    

Kegelapan menyapa diriku saat aku mengerjab untuk beberapa kalinya. Semua terasa gelap, namun aku masih bisa melihat sekitar. Keanehan mulai timbul. Aku langsung bangkit dari tempatku berbaring dan baru menyadari di mana aku saat ini.

Terakhir kali, aku...

"Sudah sadar?" lontar sebuah suara di sudut ruangan. Aku menoleh, dan memandang subjek yang barusan melemparkan pertanyaan dengan nada tajam. Aku membuka mulut dan hendak membalas pertanyaan tersebut. Akan tetapi, digagalkan oleh perasaan tercekat yang timbul di kerongkonganku. Sebuah gelas bening berisi air tiba-tiba sudah terulur di hadapanku, dan tanpa pikir panjang kuterima dengan suka rela. Setelah serangkaian aksi tersebut, barulah aku membuka suara.

"Mengapa aku di sini?"

Sungguh. Dari banyaknya pertanyaan, entah  hanya perntanyaan itu saja yang terbesit di benakku. Dan spontan mendapat sambutan tawa sinis dan decihan dari si lawan bicara.

"Tentu saja karena kau gagal mencuri, dan berakhir ditembak dengan pencuri lainnya. Atau, apa sebaiknya kunamai kalian sama-sama sebagai perampok?" Oh, haha. Tajam sekali omongannya. Tidak pernah pulang, sekalinya kembali membawa pisau gerigi di mulut. Persis alligator.

Pemuda itu duduk dengan angkuh, melipat satu kakinya ke atas kaki yang lain, dan menyilangkan kedua tangan di dada. Mata amethyst itu berkilat tajam menatapku. Seolah tengah mengamati perilaku mangsanya dari kejauhan sebelum menerkamnya dengan ganas.

Aku ketahuan. Inilah hal yang paling kutakutkan tempo hari lalu. Sudah kubilang, pencuri dan penguasa mana bisa menjadi teman akrab sekamar. Itu menyalah! Aku baru kembali tersadar dengan ucapannya barusan.

"Tunggu, apa maksudmu dengan pencuri lain?"

Pemuda itu membuang muka mendengar pertanyaanku, dan selama beberapa saat, kami saling terdiam. Petir melolong di atas sana. Demikian cahayanya yang berkelap kelip menembus tirai putih samar jendela balkon.

Pangeran tersebut beranjak dari tempat duduknya dan mulai melangkah mendekati ranjangku. Ada sesuatu yang terkandung dalam setiap gerakannya. Sebuah keanggunan, namun juga kebuasan yang dapat mengancam. Tanpa sadar, dia sudah berdiri di sebelahku dan menatapku lurus dari atas sana.

"Kau sudah melakukan kesalahan," ucapnya dingin. Lagi, petir menggelegar di atas sana. Memancarkan cahaya putihnya ke dalam ruangan sekali lalu.

"Mencuri arsip dan barang milik akademi dapat dikenakan sanksi berat berdasarkan Undang-Undang Backhkarat." Aku menggeram tanpa sadar. Tidak bisa. Aku tidak boleh sampai tertangkap!

"Mereka tidak bisa melakukan itu. Tidak ada bukti aku melakukannya," bantahku keras.

"Mereka tidak butuh bukti maupun sanksi lain. Cukup aku," balasnya melemparkan sebuah senyuman remeh.

Posisiku jika digambarkan mirip seperti tikus yang sudah terkepung oleh seekor kucing dan mentok di tempok. Sialan. Perkataannya sebenarnya ada benarnya. Dia pangeran. Hanya dengan pengakuan dari mulutnya saja, bisa mempengaruhi keputusan hakim di negeri brengsek ini. Selain itu, aku juga tidak bisa menjamin siapa saja yang mengetahui aksi yang kulakukan tempo hari lalu selain mereka berdua–dia, dan pencuri lain itu. Ide lain kembali kulontarkan untuk berkelit.

"Tapikan, aku juga korban penembakan di sini," kukuhku.

Dan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulutnya membuatku ingin kembali ke duniaku saja sekarang juga.

"Masuk ke Akademi Volna khusus pria dengan menyamar menggunakan identitas palsu untuk seorang gadis sepertimu adalah bentuk pelanggaran dari aturan akademi yang dibuat oleh dewan akademi itu sendiri," tandasnya.

Oh, selamat Freya! Lawan mengambil alih lapangan. Tim dibubarkan. tamat! Aku sudah kehabisan kata-kata untuk membantah tudingan tersebut, karena memang berdasar. Sial.

Dia kembali duduk ke kursi di sudut sana, dan kembali duduk dalam pose yang sama seperti sebelumnya. "Siapa tuanmu?"

Setelah diancam, sekarang aku diinterogasi. Hebat. Ini adalah kemajuan dalam kecepatan pemprosesan hukum. Tidak perlu diborgol terlebih dahulu dan dibawa ke kantor polisi.

Aku mengeleng. Dan tatapan itu mendelik tajam. Decakan terdengar dari seberang.

"Tak perlu membela tuanmu lagi. Sudah terlambat. Dia tak akan membantumu."

Nah, bukan itu masalahnya. Aku saja tidak tahu siapa tuanku. Katakan aku bodoh menerima pekerjaan ini dengan suka rela, tapi pria misterius itu sama sekali tak memberi tahukan namanya. Sedangkan mereka tahu namaku. Bukankah ini tidak adil? Tampaknya, aku memang terlalu bodoh.

Tapi teman-teman, harap maklum. Kemiskinan membutakan akal dan pikiran, demikian hati nurani. Dan mungkin itu yang terjadi padaku saat ini. Benar-benar mirisnya...

Dia mulai merogohkan sesuatu di dalam saku jubat akademinya. Sesuatu yang tampak seperti logam. Hingga kilat kembali menyambaar dan mencurahkan cahaynya dalam dalam sekejab mata, barulah aku tahu benda apa yang ada di dalam genggamannya itu dan di arahkan kepadaku. Sial.

"Katakan siapa tuanmu, atau kau hendak pergi seorang diri saja ke neraka?"

Pistol sialan. Ini zaman apa sih? kok bisa ada pistol. Memangnya pistol keluar pada tahun berapa?

Aku menggeleng cepat. Sekujur tubuhku kembali bergetar. Aku masih bisa merasakan sensasi terbakar dan perihnya timah panas tersebut saat benda itu menembus organ tubuhku.

"Saya bersumpah, saya benar-benar tidak tahu!"

"Saya bahkan tidak tahu namanya, tempat tinggalnya, bahkan anak siapa di- maksud saya nama keluarganya..."

Ceklek!

"Saya serius pangeran!"

Jeritku ketika momcong itu telah sepenuhnya ditodongkan ke arahku dan jari itu hampir melepaskan peluru di dalamnya.

Tubuhku telah bergetar hebat. Air mata telah lolos mengguyur kedua pipiku. Bodoh. Aku menangis seperti seorang pengecut. Mataku terpejam dengan erat, tinggal menunggu saja benda itu menghantam menembus kulitku.

Namun selama beberapa saat itu, aku tidak merasakan apapun, dan ketika aku pelan-pelan mencoba membuka kedua mataku dan melihat lagi apa yang terjadi, piintol tersebut telah dimasukkan kembali ke dalam sakunya, dan pemuda itu tampak kembali duduk seperti sedia kala dengan tenang. Sedangkan aku masih berusaha menahan diri dari perasaaan shock yang mendera akibat kejadian barusan.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang