Bab 5

20 11 1
                                    

Hai hai hai 😁
Apa kabar?
Perasaan, baru aja kemarin tahun barunya, eh udah masuk bulan baru aja nih.
Adakah yang masih terjaga? Wkwk
Selamat membaca, bagi yang masih terjaga❤️
DAN
Mimpi indah, bagi yang sedang melanglang buana di samudra mimpi ❤️

.
.
.
.

"Oh, Ophelia yang Indah... pemilik bibir merah semerah ceri... Pemilik suara semerdu nyanyian burung di pagi hari... Pemilik senyuman seredup rembulan muda..."

"Oh, Ophelia yang menawan... kaukah yang menari bagaikan tarian opera legendaris? Gerakan yang bagaikan sapuan angin musim semi... Yang menghantarkan aroma semanis ceri Bowlan..."

"Oh, Ophelia yang..."

"Cukup Simon! Opheliamu akan sakit kepala mendengar puisi menjijikkan itu!" gerutu Delbert dengan kesal. Sedangkan Jake berusaha mencoba menahan diri saja sembari memijat pangkal keningnya yang telah berdenyut sedari mendengarkan sajak romantisme Simon yang sungguh menistakan saraf-saraf pendengarannya.

Di sisi lain aku hanya menyantap makanan yang ada di hadapanku dengan tenang. Tak kusangka, tongkrongan para pemuda ternyata lebih parah dari gadis-gadis. Seolah tidak terima, Simon melemparkan protes dan malah mendapat jitakan di dahinya dari Jake. Tampaknya Jake sudah tidak tertolong lagi.

"Ja-Jake?!" tanyanya tak percaya. Dan ah sudahlah, selanjutnya tak perlu kukasi tahu apa yang terjadi. Karena mereka kukasi tempe. Eh.

Aku sibuk menatap ke arah Utara akademi. Coba berpikir, bagaimana caraku masuk ke perpustakaan privat itu? Karena terlalu hanyut dalam lamunan pikiran, tanpa sadar, suara-suara di sekitarku mulai lenyap dan lambat laun menjauh dan seolah mendengarnya dari kejauhan. Benar-benar jauh hingga hampir tak terdengar dengan jelas lagi.

Sinar mentari musim gugur yang redup tertutup kabut di atas sana menciptakan tembakan cahaya hingga memantul menghantam atap gedung bangunan utara akademi.

"Josefint!" Aku tersentak kaget mendengar teriakan itu. Bukan, bukan teriakan, namun itu terasa seolah mengejutkan diriku bagaikan setrum. Dan lamunan keheningan yang tadi berhasil tercipta dalam sekejab dirobekkan dengan panggilan tersebut. Aku menatap Jake dengan bingung, dan seolah paham, pemuda itu mendengus melihat responku.

"Sebenarnya, apa yang sedang kau lihat, hah?" tanyanya heran sekaligus penasaran. Dan cepat-cepat aku menggeleng dan melempar senyum bodoh.

ini hari ke lima, dan aku masih belum saja bisa mendapat akses ke perpustakaan itu. Setelah lonceng usai makan malam berdentang, seluruh murid bergergas berhamburan membubarkan diri. Kebanyakan memilih pulang ke asrama. Setiap pukul sepuluh malam, patroli keamanan akan dilakukan, dan bagi yang berada di luar asrama pada waktu itu, maka akan dikenakan saksi jika tertangkap. Dan asumsiku pada pangeran sombong itu cuma dua. Yang pertama, menginap di asrama teman. Kedua, lolos dari patroli keamanan.

Aku juga merasa aneh, pemuda itu tidak pernah terlihat selama aku di sini sejak terakhir malam badai lebat yang menghebohkan akademi. Itulah kali pertama ia pulang, dan setelahnya, tidak pernah.

Aku masih harus waspada agar penyamaranku tidak ketahuan. Seorang pencuri dan seorang pemimpin negeri menjadi rekan sekamar bukanlah hal yang bagus. Jika saja aku bisa memilih. Tapi alih-alih memilih, bahkan kehadiranku saja sebenarnya sudah merupakan keteledoran dari pihak akademi sendiri.

Semua manusia tercerai berai, demikian dengan diriku yang juga ikut terbawa arus deraian itu. Malam ini, akan kucoba untuk mengambil manuskrip itu. Semoga aku beruntung.

Selagi arus para murid berhamburan di sekitar aula hingga berjalan ke luar gedung tersebut, aku menyelipkan diri di antaranya dengan sedikit merunduk menutupi wajah tampanku. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, beberapa ada yang menuju taman akademi di gedung depan aula penjamuan, dan dengan ligat kakiku menuntun ke jalanan pavement yang mengalur seperti air menuju ke arah kiri. Tanganku langsung meraih kompas yang terdapat di dalam saku kemeja putihku. Jarum merah runcing tajamnya berputar-putar selagi diriku berlari di pelantaran jalanan itu. Lagi, aku menoleh dengan ke belakang mengecek apakah ada yang mengikuti, atau barangkali menyadari keberadaanku saat ini. Namun nihil. Suara-suara yang tadinya riuh kini telah menghilang. Kerumunan murid telah berada jauh dariku. Tampaknya, memang hanya tersisa diriku saja yang berada di sini.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang