Hai! Aku kembali lagi...
Sudah memasuki chapter 15 aja nih.
Aku juga ga tahu pasti cerita ini bakal sampai berapa chapter ke depannya hingga tamat.Selamat datang di akun yang sepi ini, wkwk. Kalian boleh mampir sesukanya, dan menikmati cerita gaje ini dengan santai jika berkenan.
Selamat membaca, dan semoga suka.
.
.
.Seluruh stan buah seperti bazar yang semula berjejeran di sepanjang ruang kosong di jalanan pasar telah tersingkirkan. Winter memang benar-benar membawa perubahan bagi Backharat, yang pada awalnya lembab menjadi tambah lembab saja.
Butiran putih bak debu dengan kadar suhu menyejukkan melingkupi hampir semua sisi kepala tiap orang. Di sudut jalanan, tawa kikikan kanak-kanak terdengar nyaring nan riang, seolah tiada masalah yang perlu dicemaskan di dunia ini. Andai semua sesederhana seperti pemikiran tersebut, dan andai dunia memang seasik itu untuk di hadapi dengan tertawa lepas. Bagai melepas uap di udara, tawa itu menguap dan berasap. Begitulah yang diharapkan semua orang, perasaan yang mudah untuk melepaskan beban dalam diri.
Aku melangkah di sepanjang jalan bertumpukan salju itu dengan langkah gontai. Lubang cetakan sepatu mengukir di sepanjang jejaknya, bak tancapan tongkat kayu yang dahulu sering kutancapkan ke tanah sepanjang jalan pulang selepas sekolah di saat merasa bosan.
Kedai-kedai tertutup rapat, tetapi kehangatan di dalam sana cukup dapat dirasakan dari luar sini. Uap-uap hangatnya, demikian aroma wangi panggangan roti bercampur selai keju yang ditaburi daun parsley berhasil menusuk rongga hidung, pun merangsang sebuah gejolak dalam perutku.
Kruuiik...
Uh. Bagaimana mestinya aku harus menahan bunyi tersebut sedangkan sistemnya sendiri tak bisa kukendalikan dengan bebas. Pada suatu hari, saat kelas biologi di siang buta, aku hampir saja melalui ocehan panjang tak bermutu itu dengan berpetualang di alam mimpi, jika saja guru biologi yang mengajar pada saat itu tidak membangunkanku dan memberikan hukuman atas perbuatan yang sangat terpuji tersebut. Sebagai akibatnya, aku harus membaca dua bab penuh selama satu minggu dan mendapat percepatan ulangan dari teman-teman sekelasku lainnya. Nah, terpujilah hari itu. Berkatnya, aku akhirnya harus menyerah untuk berusaha membuat diam perutku yang keroncongan ini, karena memang tidak bisa dikendalikan secara sadar. Kecuali dengan makan. Kurasa, makan masih cukup bisa meredam, atau barangkali mengurangi gejolaknya.
Lalu sekarang, apa? makan? Tentu tidak. Oh kawan, coba pikirkan lagi. Ini Backharat. Yang berarti? Nah, benar! Brengsek. Harga makanan di kedai-kedai makan itu mahal. Bukannya aku sama sekali tidak memiliki uang seperserpun. Namun, penting untuk memikirkan nasib hari esok juga. Karena sekalinya aku masuk melangkah ke dalamnya, dan duduk di sana dengan manis saja, akan dikenakan tarif pajak. Belum lagi harga makanan yang tidak setara dengan porsinya.
Aku hampir mengumpat jika saja tidak mengingat bagaimana permohonan ampunku kepada sang Maha Pencipta hingga masih bisa bernapas sampai hari ini. Oh, aku merasa sungguh dilema. Apakah memang, Tuhan sebegitu adilnya?
Angin kembali bertiup dan semakin menambah kadar kegigilan dalam diriku. Pun sudah memakai pakaian ber-layer, sungguh hawa yang menusuk. Neraka dingin. Pepohonan bergoyang-goyang, meliuk-liukkan batang dan dahannya, seolah menakuti dedaunan di sana yang tidak berdosa agar jatuh dan melayang tertiup angin.
Cemara memang bertahan hingga musim dingin. Namun, pohon Nuga melebihi keperkasaan cemara jika ingin membandingkannya. Dan tahun lalu, aku berhasil membuat sebuah rumah pohon di salah-satu pohon Nuga yang ada di balik tembok Kerajaan Backharat. Hanya sebuah rumah pohon biasa, tanpa apapun di dalamnya selain sebuah mug kecil dan satu karpet yang dilengkapi satu selimut jerami–jujur saja membuatku merasa gatal tiap kali aku menggunakannya saat kedinginan.
Kakiku menapaki tangga melingkar yang tampak begitu rapuh. Sudah satu tahun berlalu, dan rayap hampir memangkasnya. Namun, aku masih belum ada uang untuk merenovasinya. Sudahlah, kupikir tak perlu dihiraukan. Karena jikalaupun tangga tersebut runtuh dan jeblok, aku masih bisa memanjat. Yang terpenting, bangunan di atas sana tidak ikut jeblok. Ini tempat bernaungku satu-satunya. Tempat ini begitu beharga bagiku.
Setelah tiba di dalam, di balik tumpukan selimut jerami, terdapat apel merah merona yang hampir busuk. Kuraih buah bewarna merah tersebut dan meraupnya dalam gigitan liar. Bunyi kriuk terdengar dalam gendang telingaku. Kutebak, dua hari lagi, apel-apel ini pasti akan raib lantaran busuk.
Setelah melahap apel sisa tersebut, aku meraih sebuah mug kayu yang di dalamnya dilapisi perekat agar airnya tidak meleber dan menyerap ke dalam kayunya. Aku kembali keluar, karena malas turun melewati tangga, kucoba menengadahkan mug itu ke langit menampung kristal-kristal di sana untuk diminum. Hawa dingin memang menusuk, tetapi perasaan melekat ditenggorokanku lebih mengganggu daripada kedinginan di luar.
Dan setelah cukup lama terkumpul dan menikmati sensasi dingin tersebut, aku kembali melangkah ke dalam.
Semuanya benar-benar sunyi, menyisakan suara gesekan dedaunan pohon Nuga yang tertiup angin di luar sana. Sensasi berangin dari celah-celah lantai kayu yang memberikan jarak spasi di antaranya meniup kakiku kala berdiri di atasnya tanpa karpet. Sebentar lagi gelap, dan ini saat yang tepat untuk mengutuk diri di dalam kegelapan dari balik selimut jerami. Aku benar-benar benci winter. Entah sudah berapa kalinya aku mengutuk kata itu.
Ketika pagi menyingsing, aku kembali termenung di atas karpet menatap dinding lapuk di depan sana yang membentuk macam-macam motif abstrak kayu. Coba tebak apa yang kupikirkan? Tentu saja uang. Apa lagi?
Puas bergulat dengan pikiran, akhirnya kuraih sebuah jaket yang terbentang di sisiku dan memakainya. Kakiku pun mulai melangkah gontai ke teras luar. Sensasi beku nan menusuk tak pernah lepas dari tulangku.
Berharap saja aku diterima. Ada beberapa opsi jika hendak bekerja menjadi buruh di saat winter. Namun, dari banyaknya opsi itu, banyak pula hambatannya. Terlebih untuk seorang perempuan sepertiku–demikian mereka lainnya yang merupakan perempuan. Diskriminasi gender merupakan salah-satu persoalan di era ini. Keterlaluan memang. Hanya orang-orang hebat yang beruntung dan memiliki kesempatan saja yang dapat mengenyam pendidikan, serta mewujudkan mimpi sebagaimana yang mereka harapkan.
Kami kaum rendahan–kusebut sebagai protelar–hanya bisa bekerja di bawah perintah dan bayang-bayang mereka yang memegang kuasa. Iri pun tidak akan mengubah fakta. Dunia ini memang kejam, kawan. Sudah lihat tadi malam aku tidur tanpa pelita, kan? bahkan pagi ini saja aku tidak sarapan. Dan, mari puji ketangguhanku tersebut.
Sejauh ini, aku belum ada melihat sedikitpun keanehan dari WL. Aku berharap, orang itu telah melupakan diriku. Lagipula, aku gagal. Dan tidak ada yang bisa diperbuat secara produktif dengan orang yang gagal. Kuharap, ancaman hukuman apapun itu berhubungan dengan hal-hal yang masuk akal, bukan di balas dengan…
Oh sial!
Sebuah anak panah melesat ke arahku dan hampir saja menancap tepat di dahi mulusku jika saja tidak sempat mengelak dan berkelik ke sisi sebuah pohon. Jantung di dalam sana mulai bertalu-talu berkontraksi, memompa darah secara menggila bak kesetanan.
Tanpa sadar dahiku mengernyit dan menangkap sebuah pergerakan di atas pohon di ujung sana. Perasaan ngeri kembali mengisi ragaku, menebarkan teror ke seluruh indra dan saraf-sarafnya. Tremor kembali mendera, dan seakan ada alarm tanda bahaya di dalam sana yang meneriakkan, “Larii!!”. Kedua kakiku secara refleks bergerak di luar kesadaran pasti, melangkah lebih lebar dengan cepat dan gemetar bak dikejar seekor monster, seolah di belakang sana hendak menerkam salah-satu kakiku, melumpuhkannya dan mengunyahnya hingga tandas.
Naluriku berkata untuk ikut masuk ke dalam sebuah bilik pos–mirip seperti bilik telepon yang ada di tepi jalanan kota London–di balik kerumunan untuk berlindung. Dan benar saja, setelah masuk ke dalamnya, di luar lalu-lalang orang-orang di luar sana, teror itu akhirnya terasa terhenti. Aku sedikit mengintip ke balik kaca yang sedikit tertutupi oleh tempelan brosur dan kertas poster di sisinya.
Jalanan riuh dan ramai. Cuaca tampak sedikit lebih cerah dari semalam. Dan hanya itu. Tidak ada lagi hal-hal yang janggal di luar sana. Bayangan itu telah menghilang, tanpa dapat kuhindari, aku pun merosot ke lantai bersandar pada pintu bilik hingga menimbulkan sedikit punyi hantaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKHARAT
FantasyBetapa menyenangkannya terjebak di dalam gudang penyimpanan roti di samping universitas. Berhari-hari aku terperangkap di dalamnya. Apa? tentu saja aku mencoba banyak cara kekerasan agar bisa keluar. Ketika pintu itu akhirnya berhasil terbuka, pada...