Berpikir mengapa ada orang jahat dan baik, dan berpikir mengapa ada orang pemaaf dan pendendam terkadang tak akan ada habisnya, terlebih jika kau melihat melalui banyak sudut pandang. Selalu saja ada bantahan dari setiap jawaban.
Dan apakah menurutmu, berpura-pura menjadi bagian dari identitas tertentu adalah salah? Well… tak perlu dijawab. Aku tak akan memberikan nilai atas jawabanmu layaknya seorang dosen intelek.
Semua sudah terbenahi. Dan kini, tinggal bagaimana aku menyusun rencana untuk mencuri benda tersebut dan keluar dari sini dengan aman, maka semua akan berakhir seperti kejahatan kecil yang sebelum-sebelumnya pernah kulakukan.
Para murid berlalu lalang di depan gerbang. Sejenak, kutatap lantai paving blok di hadapanku. Setelah sebelah kakiku melangkah melewati gerbang ini, dan mulai menginjak lantai batu kokoh tersebut, maka permainan ini akan dimulai.
Berulang kali kutarik napas untuk menenangkan diriku. Setelah dirasa cukup, barulah tanganku dengan segera meraih bag berisi baju-baju dan perlengkapan seperti para murid asrama pada umumnya. Rambutku dipotong pendek dan dibuat sedikit acak-acakan agar menampilkan kesan kece ala badboy tahun enam ratusan. Haha. Sialan. Badboy zaman batu!
Kakiku mulai melangkah memasuki pelantaran asrama dipandu oleh seorang guru senior setelah melaporkan ke pihak akademi atas kedatanganku barusan. Dan disinilah aku. Di dalam sebuah kamar ruangan luas yang mewah. Aku sempat berpikir, apakah ini tidak terlalu mewah untuk seorang pelajar?
“Sebenarnya, kami telah kehabisan kamar untuk murid tahun pertama. Dan beruntung tersisa satu kamar yang belum ditempati secara berpasangan. Selebihnya, kamar lainnya telah di tempati secara berpasangan,” tuturnya. Dan aku mengangguk paham.
Untuk sebuah akademi terkenal di kota ini, tidak mungkin satu kamar akan di tempati secara sendirian. Yang demikian merupakan kemewahan yang mahal kurasa. Tapi yang membuatku penasaran, apakah semua kamar para pelajar di asrama ini semewah ini? Bisa-bisanya tirai gordennya kesulamkan benang emas.
“Tapi, kami mohon kepada anda, tuan Josefint, untuk senantiasa menjaga kebersihan kamar ini,” katanya seraya sedikit merunduk seolah tengah memohon.
“Apa?” bingungku. Sikapnya yang demikian semakin membuatku bertanya-tanya dan merasa aneh.
Walaupun aku menggunakan identitas samaran, tapi bangsawan Josefint yang dikenal barangkali tidak seberpengaruh itu andilnya di Backharat. Alih-alih, Josefint hanyalah sebuah keluarga bangsawan yang sudah hampir terlupakan dipergaulan kelas atas karena banyaknya kontrovensi yang dilakukan para pendahulunya hingga membuat keluarga itu sulit bangkit dan menjadikan status keberadaannya antara ada dan tiada di tengah masyarakat. Perlahan, aku mengehela napas. Bisa-bisanya mereka meminjamkan status samaranku dengan yang buruk.
“Sebenarnya, kami sudah menutup penerimaan murid baru untuk tahun ini. Selain karena asrama yang sudah penuh, juga karena waktunya telah lewat periode pendaftaran.” Aku melongo mendengarnya. Kalau begitu, mengapa aku diterima?
“Tapi, yang kudengar, bukankah masih ada tersisa satu kuota lagi untuk pendaftaran siswa baru?” Dan di situlah jawabannya.
“Benar. Karena memang begitu adanya. Tapi, dikarenakan kami kehabisan kamar asrama, kami terpaksa menghentikan penerimaan untuk tahun ini. Namun sepertinya, pihak akademi terlambat menarik infromasi terkait kuota tersebut, dan anda sudah terlanjur mendaftar.”
Benar-benar. Jadi dapat disimpulkan, aku diterima secara terpaksa oleh mereka. Tapi, jika itu masalah utamanya, bukankah kamar ini masih bisa di isi satu murid lagi?
“Jika begitu, bukankah kamar ini masih bisa diisi oleh satu murid lagi?”
Dan guru itu pun terdiam sejenak, sebelum kemudian menggeleng. Jujur saja aku tak paham apa maksudnya.“Saya berharap anda bisa berkooperasi dengan teman sekamar anda. Akademi Volna menjungjung persamaan derajat seluruh pesertanya. Tapi, kami juga tidak bisa mengesampingkan rasa hormat kami pada calon matahari kerajaan ini. Dan saya harap, anda bisa menjadi teman sekamar yang baik bagi pangeran,” jelasnya dengan penuh harap.
Bagaikan ada petir yang menyambarku dari langit kelabu itu. Kata terakhir pada kalimat terakhir tersebut menyaris membuatku mengumpat. Oh sial. Bagaimana bisa seorang pencuri satu kamar dengan seorang penguasa negerinya? kuralat, calon penguasa. Apa yang mesti kulakukan wahai saudara?
Dan setelah semuanya, guru senior itupun undur diri. Aku sampai lupa mengingat namanya. Tapi sudahlah, mari berkemas. Setelah pintu itu tertutup rapat, aku berbalik dan meraih tas yang tadi tergeletak di hadapanku dengan antusias menurun.
Selagi menyusun pakaianku ke dalam lemari, aku berusaha berpikir kemungkinan yang bakal kuhadapi sebagai seorang kriminal jika sekamar dengan pangeran itu. Yang pertama, jangan sampai penyamaranku terbongkar. Itu poi utamanya. Refleks, tanganku langsung menutupi kain pembalut yang digunakan untuk membaluti dadaku hingga rata bak dada bidang seorang pemuda kekar. Jangan sampai benda ini ketahuan.
Kutumpukkan kain-kain putih tersebut dan diselipkan di dalam lipatan baju agar tersembunyi. Seharusnya, jika dia adalah seorang yang tahu sopan santun, aku tak perlu repot-repot untuk cemas akan ketahuan.
Akademi Volna memang bukan sembarang akademi. Sesuai kabar yang sering kudengar dari masyarakat Backharat, akademi ini adalah sekolah formal yang dipenuhi oleh para anak bangsawan dan kalangan atas kaya raya. Yah… kecuali aku.
Setelah mengemas perlengkapanku, tanpa menunggu lama, aku langsung bergegas ke luar untuk berkeliling melihat-lihat lingkungan akademi ini. Bangunan-bangunan tua dan antik berdiri dengan megah di atas tanah. lantai batu hampir melingkupi setiap permukaan tanah. Rumput segar nan hijau menandakan kesuburan tanahnya, atau barangkali disiram pagi dan sore oleh petugas akademi.
Jika kucoba bandingkan dengan universitasku, maka lagi-lagi aku akan memilih Volna. Mereka sebelas dua belas, namun ada yang berbeda di antara keduanya. Seolah ada sesuatu yang lain yang membuatku menyukainya.
Akademi Volna memiliki cakupan area yang luas. Di belakangnya, terdapat tembok besar yang membatasinya dari hutan bebas di belakang. Hutan bebas itu menghubungkan dengan gunung Crestmyth. Sebuah gunung yang dilegendakan tempat bersemayamnya makhluk yang mengutuk negeri ini.
Aku tidak bisa benar-benar percaya takhayul itu. Karena masyarakat era ini kebanyakan mudah memercayai pada sesuatu yang mudah untuk dipercayai, alih-alih pada sesuatu yang ilmiah.Dulu aku terserang demam akibat flu. Dan orang-orang sekitar beranggapan aku mendapat kutukan dari dewa karena melakukan sesuatu yang salah di kehidupanku yang dulu. Ada-ada saja, beruntung balai pengobatan terdekat bersedia menerima dan merawat warga sipil tidak mampu dengan gratis.
Akhirnya aku bisa sembuh berkat itu.
Kembali tubuhku bergerak menyusuri ubin batu yang ditumbuhi rumput segar di atasnya. Sangat berkebalikan dengan daun-daun pohon oak yang gugur akibat perantian musim. Di depan sana, aku dapat melihat perpustakaan akademi.Lamat-lamat ku teliti dari jauh keadaan sekitarnya. Benar-benar sunyi. Tidak di dunia ini, tidak di dunia asli dulu, sama saja. Perpustakaan seringnya sepi. Aneh. Mengapa orang sangat tidak suka pergi ke sana? Padahal menurutku, tempat itu sangatlah tenang dan menenangkan untuk melepaskan penat sehabis kelas.
Aku kembali melanjutkan langkah ke tempat lain. Bukan itu perpustakaan yang dimaksud di surat. Itu adalah perpustakaan privasi yang berada di kawasan satunya lagi yang lebih tertutup. Dan tentu saja, tidak semudah itu untuk masuk ke sana.
Setelah puas berkeliling dan mulai mengingat tempat-tempatnya, suara dentangan bel bertalu-talu menggema di seluruh kawasan akademi. Benar-benar ajaib. Entah sebesar apa Lonceng tersebut. Semua murid dan berhamburan dari kelas. Matahari telah condong ke Barat. Dan kurasa, ini waktu yang pas untuk kembali ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKHARAT
FantasyBetapa menyenangkannya terjebak di dalam gudang penyimpanan roti di samping universitas. Berhari-hari aku terperangkap di dalamnya. Apa? tentu saja aku mencoba banyak cara kekerasan agar bisa keluar. Ketika pintu itu akhirnya berhasil terbuka, pada...