Bab 18

18 5 0
                                    

Di sebuah benua yang terasingkan, terbentang daratan luas nan permai. Tak ada langit di negeri lain yang dapat menandingi cerahnya langit di benua tersebut. Burung-burung, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan lainnya dengan beragam macam jenis dan spesies. Juga, pegunungan, yang menukik dan menjulang membentuk deretan pegunungan landai di sekitar pulau.

Satu dari banyaknya gunung tersebut merupakan gunung dengan puncak tertinggi di pulau tersebut. Gunung Crestmyth, sebuah gunung yang dihuni seekor naga bertanduk lima.

Pada pertengahan abad sebelum ditetapkannya kalender Hezmi, lima orang pemuda berlayar mengarungi samudra membelah lautan bumi untuk menemukan dunia baru. Kelimanya berasal dari negeri yang berbeda. Joshua dari kerajaan Douceven di tenggara, Marco dari Zutasha yang berada di Barat,  Gill dari Mirithii yang berada di Selatan, Miel dari Kragezia yang ada di Timur, dan Tiffan yang berasal dari Braetus di Utara.

Di suatu malam yang mencengkam, tanpa bintang yang menerangi kehampaan ruang angkasa itu, langit gelap seolah tengah membendung segala kecacatan yang ada di dunia.
Angin bertiup dengan sangat kencang, teramat kencang untuk dijadikan hal-hal positif, agar dapat mendorong layar perahu contohnya.

Ombak di tengah laut kian menjadi-jadi. Gill menarik kemudi sekuat mungkin, berusaha membelah ombak dengan sebaik mungkin agar kapal mampu menyeimbangkan dirinya.
Layar sedikitnya telah robek saking kuatnya tekanan angin pada saat itu. Tetesan air dari langit turut turun mengguyur lautan. Ketika Joshua yang tengah berpaut pada tiang perahu di pinggiran deck, pria itu menangkap pemandangan yang teramat horor di luar kapal. Laut seolah tengah diaduk oleh makhluk monster berukuran besar, menciptakan ombak-ombak tinggi yang membuat kapal mereka tak kuasa harus menukik dan terhempas menghantam dasar ombak.
Miel bergidik ngeri dari atas menara pengintai. Laut berubah hitam pekat. Melebihi pekatnya dosa makhluk dunia fana yang tidak tahu diri.

Ia lantas meraih melepaskan ikatan teropong yang tersampir di pinggangnya, dan mendekatkan penglihatannya ke dalam lensa teropong.
Kabut menghalangi jarak pandangnya. Beberapa kali pemuda itu menahan dirinya berpaut pada pinggiran pot tempatnya berdiri saat kapal menukik ke bawah dan menciptakan hempasan keras.

Ke kanan, tidak, sedikit ke kiri. Sesuatu tampak berpendar dari balik kabut. Miel berusaha memutar teropong tersebut agar jarak pandangnya di dalam sana menjadi lebih dekat menangkap objek yang jauh tersebut.

Ia lantas menyungging seringai ketika menangkap sesuatu yang dapat menjadi harapan mereka saat ini.

"Arah utara, 45 derajat dari kanan!" teriaknya pada Tiffan yang berada di samping kemudi. 

"Arah Utara, 45 derajat dari kanan!" ulangnya dan diangguki oleh Gill. Pria itu lantas melakukan komando yang diutarakan oleh si pembaca arah dari atas sana.

Kemudi sedikit berputar. Kapal melawan arah angin, menyebabkannya condong dan miring sebelah. Namun begitu, keadaan kembali berhasil terkendali saat tak jauh dari kapal mereka di depan sana, sebuah pulau mulai tampak.

Layar angin dari arah berbeda di turunkan, sedang layar yang lainnya mulai diikat. Tidak mudah mengikat layar besar di tengah cuaca buruk begini. Akan tetapi, dengan beberapa alasan hal tersebut terpaksa mereka lakukan.

Joshua dan Marco setelahnya mulai menyiapkan sekoci dan segala peralatan yang mesti mereka bawa selama turun ke daratan.

Badai masih menerpa, tetapi tidak sekencang saat mereka berada di tengah-tengah laut tadi.
Kini, di bawah deraian hujan, beberapa meter dari pesisir pantai, mereka mulai menurunkan jangkar. Sekoci diturunkan, dan kelimanya satu persatu naik ke sampan kecil itu, mendayungnya bersama-sama untuk mencapai daratan pesisir.

Petir lagi-lagi menggelegar dasyat dari atas langit. Sesuatu melesat dengan cepat, berputar-putar di balik awan mendung yang gelap gulita. Langit hampir menyingsingkan cahaya fajar. Tanah terasa bergetar, gempa kecil.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang