Bab 4

22 11 2
                                    

Sembari cerita sebelah lagi direvisi dan belum bisa ku update, maka aku update Backharat aja

Gatahu juga ini cerita yang ke berapa, karena seperti biasa, ide yang bertebaran dan tidak tereksekusi dengan baik jadinya terbengkalai. Aku harap cerita yang ini juga bisa lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya. Kalau ada kesalahan typo, barangkali jika teman-teman bermurah hati, boleh di tandain. Terima kasih, dan selamat membaca ❤️


Setelah perkenalan tersebut, pria itu langsung masuk ke kamar mandi dan mengacuhkan diriku di pojokan. Kurang ajar. Aku bahkan tidak tahu namanya. Seolah tidak ada sopan santunnya. Memangnya, siapa dia?

Baiklah, dia Pangeran, seorang Pangeran, dan calon Raja masa depan. Tapi apakah sikap tidak sopan demikian mencerminkan figur mulia seperti itu? tidak! Jika ini adalah negara republik dengan sistem presidensial, maka aku akan memilih kandidat lain alih-alih orang seperti dirinya. Cuih!

Aku tidak tahu apa yang tengah orang itu lakukan di dalam sana, karena kesal, aku memilih tidur di atas kasur empuk nan nyamanku. Besok, aku juga masih harus hadir di kelas pertamaku.

***

Jake tampak sumringah dan bersemangat mengenalkanku kepada teman-temannya. Simon Alfonso dan Delbert Berlarin menjabat tanganku secara bergantian dan Delbert menepuk sebelah pundakku dengan cukup keras, sebagai tanda persobatan barangkali, haha...

Sial, aku lupa pertemanan laki-laki sebegini kasarnya untuk aku yang bertulang layaknya seorang putri. Sementara kami berjalan menuju kelas lapangan pacu kuda, Simon menyeletuk, "Johanca lagi-lagi berulah. Pemuda itu seolah seperti peramal saja."

Dan Delbert pun menimpali, "Aku juga mendengarnya dari Klein. Fajar dini hari selepas redanya badai tadi malam, Profesor Counsey harus bergegas mengirim seorang utusan untuk mengantarkan pesan kepada keluarganya. Bukankah itu mengerikan? Ini sudah kali ketiganya." Jake mengangguk setuju. Di depan sana, lapangan pacu mulai tampak, dan beberapa ekor kuda di keluarkan dari dalam istal. Kuda di sini benar-benar cantik dan terawat.

Kami bertiga melewati pintu yang membatasi area luar dengan lapangan dalam. Beberapa murid-murid ada yang sudah tiba di sana dan memilih kuda yang hendak mereka tungganggi untuk kelas berkuda ini.

Kurasa, sebenarnya bagi mereka ini mudah. Yang sulit itu bagiku yang sama sekali tidak pernah menunggangi kuda. Jadi, bagaimana kira-kira caraku menjelaskan kepada mereka bahwa putra Count Josefint ini adalah seseorang yang tidak pandai berkuda?

"Josefint, mari memilih kuda," ajak Jake melihat diriku yang tiba-tiba tanpa sadar terbengong sesaat. Aku mengangguk dan mengikuti mereka dari belakang. Ketika memasuki kandang istal, aku seolah diingatkan kembali, bahwa dunia ini kebanyakan memang memiliki hal-hal yang brengsek. Contohnya, bau pesing kencing kuda yang menguar dari balik jerami lebab itu. Mati-matian aku menahan diri agar tidak muntah.

"Josefint, ada apa denganmu?" tanya Delbert yang ternyata sudah berdiri di sebelahku.

Spontan aku menggeleng dan tersenyum. Jujur saja senyuman ini terasa begitu kaku di bibirku. Dan barangkali, membuatnya tampak canggung. Namun Delbert hanya menggangguk dan kembali berjalan melihat satu persatu kuda yang ada di sana.

Aku pun terpaksa melakukan hal yang serupa. Semakin cepat keluar dari sini semakin bagus. Aku menunjuk seekor kuda bewarna abu-abu. Tampak gagah, namun juga cantik. Sang petugas membantu menuntun keluar kuda tersebut.

Mister Rowan telah menunggu di depan sana, dan ketika peluit di ditiupkan dari kejauhan, seluruh murid bergegas untuk berkumpul di depan sana, begitu pun kami. Kuda-kuda yang tadi telah kami pilih diikatkan pada jejeran tiang kayu yang menjadi pembatas antara bagian dalam arena kuda dan tempat penonton.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang