Bab 16

16 6 0
                                    

Aiyyoo...
Selamat malam. Udah setengah bulan puasa aja nih. Bener-bener ga kerasa puasanya gara-gara sibuk ama kuliah.
Kalian apa kabar? Kuharap everything is always honkie dokie yahh...

Selamat join di chapter 16, dan selamat membaca//Kiss muach

.
.
.
.

Aku tidak berani pulang. Sungguh. Selama seharian, berdempetan dengan para buruh yang sibuk melemparkan kertas lamaran di tiap-tiap tempat yang ada-dengan maksud dapat diterima di salah-satunya- aku pun melakukan hal serupa. Dan berharap, dengan begitu, dengan keramaian ini, aku dapat terhindar dari teror pembunuhan tersebut.

Semuanya hampir terasa jelas. Hukuman tersebut seolah tampak tengah menungguku. Memang benar-benar sial. 

Aku bisa gila!

Tapi aku harus apa? Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya lari dan bersembunyi. Lalu setelahnya apa? kembali ke akademi?  oh tidak, itu bukanlah pilihan yang tepat. Pun di sana, misiku telah gagal. Pangeran itu telah mengetahuinya, penyamaranku telah terbongkar. Oh ya, jangan lupakan monster malam itu yang hampir membunuh diriku.
Semuanya terasa jadi serba salah. Ibaratnya maju masuk jurang, mundur kecebur danau, kiri masuk pasir hisap, kanan masuk surga.
Nah, apakah sebaiknya ke kanan?

Planet merah di atas sana hampir menyingsing, dan kegelapan mulai mengganti perannya menjadi lebih kalem. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di sepanjang jalanan, menyorot kegelapan dan membiarkan kesan hangat dipandangan mata.

Tapi, tubuhku kian saja dingin. Tak ada kehangatan di dalam tumpukan salju, demikian di atas pohon yang di celah-celahnya meniupkan udara luar dengan kegelapan yang menyelimuti kala malam. Belum lagi teror yang tidak ada sudahnya.

Semakin malam, lalu-lalang orang semakin menyurut, dan tiba pada akhir sebuah belokan jalan, lagi dan lagi saat aku berniat hendak masuk ke sebuah kedai rongsokan yang menyediakan papan lamaran kerja,  sesuatu bergerak dengan cepat dari ujung mataku. Aku sedikit melirik.

Momen familiar kembali menghampiri seolah tengah melebarkan sebuah rentangan tangan untuk memeluk dan sebuah senyuman manis yang berkata “kita bertemu lagi”, sial.

Aku berlari dan tidak jadi masuk ke toko ronsokan tersebut karena keadaan sekitar benar-benar terlihat sepi dan ganjil. Dan bayangan itu seolah tengah mengintipku dari atas balkon bangunan ramping yang di sisi-sisinya ditumbuhi tanaman rambat.

Tiba persimpangan yang berdekatan dengan sebuah penginapan elit, aku menyelinap ke sebuah kedai roti dan mendorong pintunya dengan cepat menutupnya rapat. Suara di luar sana seketika teredam, dan disambut suara riuh dari para pengunjung di dalamnya.

Udara hangat berangsur-angsur mulai melingkupi diriku. Pandanganku kembali menyorot pada balkon bangunan ramping yang di tumbuhi tanaman rambat itu dengan perasaan was-was. Akan tetapi, tak ada apa-apa di sana. Sesaat, aku termenung berpikir. Apakah semua itu nyata atau tidak.

Namun, aku benar-benar melihatnya tadi. Aku serius melihat bayangan hitam siluet itu di ambang teras balkon tersebut. Kembali, kuintip objek pandangan tersebut. 

Brrrr…

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.  Kurasa aku memang akan mati malam ini. Tubuhku tanpa permisi telah kaku dan terasa sulit untuk digerakkan. 

Ada sekitar tujuh orang berpakaian jubah hitam dengan penutup wajah mengintip ke arah sini dari balik pendar bayangan.

Mata mereka hitam pekat, seolah tampak seperti hantu di serial film horor. Aku lantas bergidik tanpa sadar, dan memutuskan untuk naik ke lantai atas kedai untuk meminjam toilet. Tepat setelah bunyi klik dari kuncinya terdorong, bunyi riuh tak biasa dari luar sana dan jeritan orang-orang melesat hingga ke dalam ruang sempit ini.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang