Bab 12

17 7 0
                                    

Aku mengekor di belakangnya sepanjang kami turun dari gua itu. Aku sudah bilang padanya jika aku tersesat dan tak tahu arah menuju akademi, demikian menjelaskan kejadian di perkemahan semalam agar dapat membujuknya hingga memperbolehkanku untuk ikut bersamanya. Akan tetapi, tampaknya perbuatanku itu hal yang sia-sia saja.

Sebenarnya, pemuda itu sama sekali tidak merespon selama aku menceritakannya. Aku tidak tahu apakah ia risih, menolak, atau mengiyakan. Namun, responnya yang demikian kuanggap saja sebagai jawaban iya.

Kalian tahu? berbicara dengan orang sepertinya seolah kita harus punya indera ke enam yang bisa membaca isi hati. Mulut itu seolah tidak digunakan semaksimalkan mungkin. Setidaknya ia bisa merespon agar lebih memberikan kejelasan, tetapi, ah sudahlah. Tampaknya otot di sekitar nya akan lebih awet karena jarang berkedut-memangnya itu teori dari mana?

Sesuatu berkoak di atas sana. Seekor burung bewarna putih mirip merpati, tetapi tidak bisa kusimpulkan demikian karena pada bagian wajah dan ujung tercemar warna merah gelap.
Entah hewan apa lagi namanya itu. Yang jelas itu adalah seekor burung, tidak seperti monster yang memburuku tadi malam yang identitasnya bahkan tidak jelas. Mungkin, jika itu adalah murid Volna sungguhan, merupakan hal mudah untuk membunuhnya. Namun, jadi lain cerita karena yang semalam itu adalah aku. Sialan.

Burung itu tiba-tiba hinggap di kepalaku dan berkukur pelan. Seketika, langkahku terhenti dan sekujur tubuhku mendadak kaku.

“Puuurrr…”

Aku berkedip. Sepertinya, pemuda itu mendengar suara kukuran binatang ini. Lantas, langkahnya pun ikut berhenti dan mendadak membalikkan separuh badan menatap belakang. Ia menatapku, lalu menatap burung di atas kepalaku dengan intens.

Entah apa yang ada dipikirannya, yang jelas kepalaku jadi berat. Aku mencoba menggerak-gerakkan kepalaku ke kiri dan kanan, menggeleng-geleng agar burung imut dan sopan terbang dari atas kepalaku alih-alih bertengger nyaman.

“Puurrr…” kukurnya lagi namun lebih kuat dari sebelumnya, tetapi hanya itu. Ia tetap bertengger di sana dan seolah tak terganggu sama-sekali dengan aksiku barusan.

“Apa-apaan sih!” gerutuku kesal.

Kucoba lebih kuat dan seolah kuku kaki itu mengkerut di rambut indahku yang telah di warna dengan indah kemarin. Ajaibnya ia tak merasa licin dan tergelincir  dari sana. Padahal tidak pula kuku itu mencengkeram sampai ke kulit kepalaku.

“Biarkan saja,” kata pemuda itu di depan sana dan kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkanku seorang diri yang tengah bersusah hati. Dasar! bukannya membantuku untuk menurunkan binatang ini, malah  menyuruh membiarkannya.

Aku lantas mencoba menyusul sembari meraihkan kedua tangannya pada burung ini tetapi lagi-lagi memang brengsek. Binatang ini berkaok kaok dan menjering-jering padahal baru di pegang belum kutarik paksa.

Ia mengepak namun tidak juga kunjung pergi. Karena kesal, tak sengaja lehernya kucekik hingga menimbulkan bunyi jeritan mencicit darinya dan spontan kembali menghentikan langkah pemuda itu kembali.

Ia menatapku kesal, begitu pun aku. Ku pelototi mata ungu amethys itu dengan kesal seperti seorang pembangkang. Kuayun-ayunkan kepalaku ke depan dan belakang seperti orang gila yang mabuk.

Tampaknya, perbuatanku yang demikian berhasil menaikkan skala kejengkelannya. Sekilas aku mendengar decakan dan lekas ia berjalan menghampiriku. Entah sudah berapa persen kemarahan tersebut, namun kulihat alis sebelahnya sudah menukik dengan cukup ekstrim. Jangan membayangkan seperti roller coaster terekstrim di dunia. Kalian salah. Sejujurnya, dan dari hati terdalam, aku membenci mengakui ini pada musuh yang telah tertulis di daftar hitamku. Namun secara objektif, yang demikian membuatnya tampak lebih tampan. Kupertegas lagi, secara objektif. Oke cukup.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang