Bab 19

21 6 0
                                    

Rambut pendekku yang telah dipangkas tanpa terasa semakin bertambah panjang. Tidak ada perbedaan yang signifikan, yang ada hanyalah perubahan ukuran. Sama seperti hidupku.

Sebagai hasil kesepakatan akhir perundingan, aku pada akhirnya harus kembali menyamar dan pulang ke akademi untuk menjalankan tugas baruku. Tidak ada yang benar-benar bisa dipilih oleh orang rendahan sepertiku. Kebebasan untuk memilih barangkali hanya dipertuntukkan bagi mereka yang kaya.

"Giliranmu, Fredinand Josefint!"

Aku beranjak dari kursi penonton dan beralih pada seekor kuda jantan bewarna keabuan yang dulu sekali pernah kupilih saat pelajaran pacuan kuda pertama kaliku.
Aku mulai memasukkan satu kakiku ke dalam sanggurdi sebelum kaki yang satunya lagi melompat naik ke atas pelana. Kucondongkan bahu sedikit lebih tegak hingga tidak meninggalkan postur bungkuk.

Mister Rowan tampak senang dengan kemajuanku. Tentu saja, siapa lagi yang menjadi guruku? Jake Zasvanor! Jake benar-benar menepati janji tawarannya. Sekitar seminggu setelah aku kembali ke akademi dengan dalih mengambil cuti dadakan selama beberapa waktu dengan alasan kesehatan Count Josefint yang kurang baik, pemuda itu berinisiatif mengajariku dengan sabar.

"Kau akan kesulitan jika ketinggalan pembelajaran. Maka, biarkan aku yang membantumu." Oh Jake, lihatlah betapa murah hatinya dirimu. Jangan sampai membuatku menaksir dirimu. Aku tahu, dan cukup sadar diri.

Setelah beberapa kali putaran, aku mencoba menarik sedikit tali kekangnya untuk mengendurkan laju kuda. Kuda mulai memelankan lajunya, dan ketika tiba tepat di hadapan Mister Rowan yang berada di tepi lapangan, hewan tersebut pun menghentikan langkahnya sepenuhnya. Aku turun dengan rapi dan merapikan tali pelana yang berjurai di sisinya.

"Kau lulus." Aku tersenyum lebar. Akhirnya, tidak akan ada lagi kelas tambahan melelahkan yang akan kuhadiri setiap sore selepas kelas terakhir. Ini semua juga berkat Jake. Aku tidak akan bisa seperti ini mungkin jika bukan karena pemuda itu mengajariku dengan begitu sabarnya.
"Terima Kasih, Mister Rowan."

***

Saat tiba jam makan malam, aula menyuguhkan keadaannya yang seperti biasa. Ramai dan riuh, dan jangan lupakan beberapa sikap dari segelintir murid yang tidak menunjukkan kesan bermartabat. Dengan beberapa alasan, sayangnya kami duduk secara terpisah. Delbert dan Jake pergi terlebih dahulu dariku.

Kursi di sebelahku bergeser. Suara benda tersebut teredam dengan keriuhan di sekitarnya. Aku tidak akan sadar dengan kehadiran sosok lain tersebut jika saja tidak menoleh ke samping.
Pemuda itu mendudukkan dirinya dengan tenang dan anggun. Tetap begitu. Gerakan tersebut begitu kontras dengan keadaan aula. Namun demikian, dirinya seolah memiliki sekat tersendiri, sehingga walaupun ia berada di tengah-tengah lingkungannya, pemuda itu tidak benar-benar terbaur dan menjadi bagian dari itu. Ia seakan memiliki ruangnya tersendiri.  

Aku tanpa sadar mengernyit ketika orang itu mulai mendudukkan dirinya. Entah mengapa, seakan ada yang salah dengan keadaan ini. Ini pertama kalinya ia duduk di tempat yang begitu dekat denganku saat jamuan makan malam.

Aku sama sekali tidak mengangkat suara, berpura-pura seakan kehadirannya adalah hal normal sama seperti murid lainnya. Karena peraturan Volna yang katanya menjunjung kesetaraan status sosial, selama menempuh pendidikan di sini, mereka tidak perlu bersikap tunduk dengan memberikan salam-salam sopan bagi mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi. 

Aku pun melakukan hal serupa. Namun begitu, seberapa  kerasnya usahaku untuk menganggap kehadiran orang ini adalah hal yang normal di sebelahku, kekakuan dalam diriku semakin saja menjalar hingga ke ranah yang membuat lidah terasa kelu untuk berucap. Pada akhirnya, tidak ada satu pun di antara kami yang berinisiatif angkat suara untuk mengobrol sebagaimana yang dilakukan para murid lain di seberang meja kami.

"Halo..." Seseorang menyapa, dan aku pun menoleh ke kanan melihat sang empu. Ia tersenyum ramah padaku hingga membuatku hampir tersedak melihat kerupawanan itu.
"Aku Teima Valamer, dari kepulauan Haubrias di Timur," ucapnya memperkenalkan diri.

Aku lantas membalas senyumannya. "Aku Fredinant Josefint, senang berkenalan denganmu, Valamer."

"Ah, kau dapat memanggilku Teima," katanya. 

"Kalau begitu, panggil saja aku Fredinant." 

Teima tampak senang menerima responku yang demikian.
Jujur, aku sama sekali belum pernah mendengar tentang kepulauan Haubrias. Jadi, daripada merasa terus-terusan penasaran, apa salahnya menanyakannya langsung pada orang aslinya, kan?

"Kepulauan Haubrias itu, tempat yang seperti apa?"

Ia menopang dagu dengan sebelah tangannya, dan berdehem sekilas.

"Hm... Kepulauan Haubrias itu...tempat yang cukup panas, dan cerah? jika dibandingkan dengan Backharat," ungkapnya seolah tengah membayangkan kedua tempat ini.
Aku mengangguk, dan ia kembali melanjutkan.

"Kepulauan Haubrias adalah tempat yang beriklim tropis. Musim panas umumnya lebih panjang daripada musim hujan. Dan setiap tahunnya, ada lebih dari 25 acara festival yang diselenggarakan oleh para penduduk setempat," jelasnya. Sudut bibirnya merekah menampilkan sunggingan.

"Sepertinya.... menyenangkan tinggal di sana," tuturku jujur. Dan ia mengangguk dalam menegaskan bahwa ucapanku barusan sangat tepat.

Makan malam dimulai. Aku mulai menyantap hidangan yang tersedia di hadapanku. Entah mengapa, aku merasa seolah berada di meja yang salah. Kulirik sedikit ke arah Cavrine. Pemuda itu tengah memotong daging dengan begitu rapi dan tidak amburadul. Kembali kulirik dari ujung mata ke sisi kananku tempat Teima berada. Pemuda itu tengah menyuapkan sendok ke dalam mulutnya dengan gerakan anggun. 

Kembali, kutatap piring di hadapanku yang telah berisi kumpulan potongan steik dan sayur-mayur yang berantakan letaknya. 
Ini tidak adil.

Sendok ramping dan panjang yang tengah kupegang entah bagaimana telah kehilangan kesan mewahnya saat berada di genggamanku.
Kembali, kucoba memotong steik yang tersisa sedikit lagi di dalam piringku. 

Tak!

Serempak, keduanya menoleh dan melirik ke arah piring yang ada di hadapanku. Sial. Aku malu!

Seakan peka dengan keadaannya, Teima lantas dengan cepat mengambil pisau pemotong yang berada di dekatnya dan menyerahkannya padaku.

"Kurasa pisau itu tumpul. Pakai saja punyaku," katanya seraya menyerahkannya dari samping. Aku pun tak kuasa menerimanya seraya mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.

Jantungku benar-benar sudah tidak tertolong. Sebisa mungkin, aku menormalkan tanganku yang ikut-ikutan bergetar. Aku malu.

Setelah makan malam usai, Teima mengucapkan pamit padaku dengan senyuman menawannya.

"Sampai bertemu kembali di makan malam berikutnya, Fredinant. Senang berteman denganmu. Oh, iya. Barangkali jika kau membutuhkan bantuan, aku berada di asrama Willton. Nomor empat dalam jejeran distrik asrama," ungkapnya.
Setelah itu, kami pun berpisah saat seseorang meneriakkan namanya dari kejauhan. Seperti sebelum-sebelumnya, aula makan riuh ramai dan semakin sesak selagi kakiku mulai berada dekat ke arah pintu.

Lonceng bergema ke seisi ruangan, hingga gemanya  berhasil menghantarkan diri di udara luar saat diriku telah berhasil bebas dari kesesakan tersebut.
Dan kembali, aku disambut dengan tepukan dan rangkulan hangat di pundakku. Jake dan Delbert menyerbu dan merangkulku dengan hangat. Aku ditengah-tengah, menjadi yang terpendek di antara keduanya. 

"Fred," panggil Delbert. Aku sudah mulai terbiasa dengan panggilan akrab tersebut. Karena sebelumnya, mereka memanggilku dengan nama belakangku.

"Mari kita pulang!" Seru Jake dan kami pun melangkah menapaki salju lembut yang membenamkan sol sepatu bot kami menuju distrik akademi.

BACKHARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang