Chapter 12 Savage

126 2 0
                                    

"Ck! Lo mah gak peka banget dah jadi cowok Vid, sumpah." Greget Emile
Ai yang mendengar nama pria itu akhirnya ingat jika pria yang sebelumnya tiba-tiba duduk di sampingnya itu adalah Davidson. Seingat Ai pria itu dulu dijuluki most wanted boy di Kampusnya karena ketampanannya.

"Lah, gue kenapa emang?"

Lagi-lagi Emile berdecak melihat tingkah Davidson yang jadi cowok kok susah amat dibilangin. Tinggal enggak ngehalangin kan gampang. Lagian ngapain Davidson pakai ngehalangin segala, kalau cuma nanya sih gak masalah pikir Emile. Bagi Emile tingkah Davidson sekarang sangat merepotkan kelewat merepotkan malah.

"Pokonya Waier punya alasasan sendiri untuk bertukar tempat. Kalau Lo gak suka, cari tempat duduk lain sono!"

"Waier, lo pindah aja ke samping gue. Gak usah tukeran dan gak usah peduliin cowok gak jelas ini." Lanjut Emile yang langsung dituruti oleh Ai.

Davidson terus melihat gerak-gerik Ai begitu Ai mulai beranjak. Sebenarnya Davidson sangat ingin menarik tangan Ai agar Ai tidak pindah tempat duduk tapi sepertinya ia masih sedikit sadar diri untuk tidak membuat Ai semakin merasa tidak nyaman. Setidaknya itulah yang dapat kalian pikirkan sebelum melihat kelakukan Davidson sekarang begitu Ai telah pindah tempat duduk.

Davidson, pria itu langsung ikut beranjak dari tempat duduknya begitu Ai telah duduk di kursi samping Emile dan kembali mengambil tempat duduk tepat di samping Ai. Jika ada yang bertanya mengapa pria itu bisa sebebas itu ikut pindah-pindah tempat duduk maka jawabannya adalah karena di meja itu hanya di isi oleh mereka bertiga dan terdapat enam kursi untuk setiap meja di ruangan itu.

Ai yang melihat kelakuan Davidson rasanya ingin menggampar wajah sok polos seakan tak berdosa milik pria itu dengan tas yang kini dibawahnya. Sadis? Ya memang! Tapi jika mengingat bagaimana suami manjanya itu akan menghukumnya dengan hukuman yang kelewat istimewa maka Ai lebih memilih untuk menjadi sedikit lebih sadis daripada mendapat hukuman dari suaminya itu. Toh suaminya itu telah berjanji akan mengurus semua kekacauan yang Ai perbuat.

Tak jauh berbeda dengan pemikiran Ai, Emile juga memikirkan hal yang sama hanya saja sepertinya Emile lebih sadis lagi. Bukan cuma menggampar tapi Emile rasanya juga ingin memecahkan telur pria itu biar tau rasa dan tidak berani menampilkan wajah menjengkelkannya itu di depannya lagi lain. Maklum Emile memang tipe cewek yang agak tomboy jadi sekalipun Davidson terkenal sebagai most wanted dan banyak digandrungi cewek-cewek di Kampusnya dulu tidak lantas membuat Emile juga menyukai pria itu. Bagi Emile, kalau orang menjengkelkan ya tetap menjengkelkan, tidak ya tidak.

"Lo gak punya telinga?!" Hardik Emile mulai kehabisan kesabaran. Emile tau jika dirinya tidak punya hak lebih untuk ikut campur urusan keduanya tapi mengingat bagaimana Ai tadi mengatakan jika dirinya merasa tidak nyaman berdekatan dengan Davidson membuatnya merasa cukup bertanggung jawab membantu menjauhkan pria itu.

"Sewot amat, Waier aja gak keberatan tuh." Mendengar ucapan Davidson membuat kesabaran Emile kian menipis hingga rasanya ia ingin meneriaki dan memukul mulut pria itu.

"Kalau begitu, maaf bisakah anda pindah Tuan? Saya merasa tidak nyaman berdekatan dengan anda. Mohon kerja samanya!" Sela Ai sopan tapi penuh penekanan sebelum Emile kembali membuka suara. Ai ingin mengakhiri semuanya sebelum menarik perhatian lebih banyak lagi karena teman-temannya yang lain mulai banyak berdatangan melihat ke arah meja mereka.

"Hahahaha... Mampus lo! Kepedean sih." Suasana hati Emile yang semua panas langsung berubah senang mendengar apa yang Waier ucapkan. Emile merasa sangat puas melihat wajah kicep Davidson. Davidson menatap Emile tajam penuh permusuhan. Ada perasaan tak terima mendengar perkataan Emile meskipun memang kenyataannya seperti itu.

Davidson tentu merasa sakit hati menerima penolakan dari orang yang dicintainya selama ini tapi ia tidak marah sama sekali atas sikap Ai kepadanya karena sejujurnya ia juga tau bagaimana sikap Ai yang tidak suka berdekatan dengan pria semasa kuliah dulu. Bahkan kesempatannya untuk berdekatan dengan Ai dulu sangat sedikit dan sekalinya keduanya bisa sedikit dekat dan ngobrol maka obrolan yang Ai tanggapi hanya obrolan yang menurutnya penting untuk dirinya respon, itupun mereka tidak hanya berdua saja melainkan ramai-ramai.

Apa yang Davidson sesali selama ini adalah sikapnya yang tidak berterus terang jika ia menyukai Ai dan ingin memiliki hubungan lebih dengan Ai. Tapi bukan tanpa alasan juga Davidson tidak berterus terang dulu. Itu semua karena respon gadis itu yang terlihat tidak nyaman berdekatan dengan lawan jenis bahkan memberi jarak hingga ia memutuskan untuk tidak terlalu berterus terang. Bahkan untuk kedua teman cowok yang terbilang dekat dengan Ai dulu, Ai masih tetap memberi jarak. Namun, keputusan Davidson saat itu nyatanya menjadi keputusan terburuk yang pernah ia buat. Karena keputusannya itu dirinya harus menderita selama dua tahun terakhir akibat kepergian Ai tanpa kabar yang jelas.

Kepergian Ai bak orang ditelan bumi selama dua tahun terakhir membuat Davidson sering uring-uringan. Davidson pernah mencoba menghubungi Ai melalui sosial media yang Ai punya tapi dirinya tak pernah mendapat balasan sama sekali. Davidson pikir mungkin Ai tidak membalas pesannya karena keduanya memang tidak berteman di sosmed. Satu-satunya hal yang membuat Davidson sedikit lega dua tahun terakhir ini adalah postingan story Ai yang kadang memperlihatkan tempat liburan hingga Davidson dapat mengetahui jika Ai baik-baik saja meski postingan itu tidak menampakkan wajah Ai sama sekali.

Davidson yang tak kunjung pindah dan malahan melamun membuatnya tidak menyadari jika di meja itu kini hanya tersisa dirinya seorang. Ai dan Emile memutuskan pindah tempat ke meja yang masih kosong, meninggalkan Davidson sendiri di meja sebelumnya.

Davidson yang akhirnya sadar dan tidak mendapati Ai di sampingnya langsung mengedarkan pandangan mencari keberadaan Ai. Ketakutan tiba-tiba muncul di hati Davidson ketika terlintas di benaknya jika apa yang baru terjadi mungkin saja hanya halusinasinya.

Davidson akhirnya dapat bernafas lega ketika melihat Waier di meja seberang. Waier tentu tidak sendiri melainkan bersama Emile dan dua cewek lainnya yang Davidson ingat itu adalah Dara dan Tiana. Mereka tampak menikmati obrolan hingga Davidson harus menekan keinginan untuk kembali menghampiri Ai yang bisa saja berujung ia semakin dijauhi oleh Ai jika tetap memaksakan keinginannya. Lagipula kursi di samping Ai telah diisi oleh Emile dan Dara disusul Tiana di samping Dara jadi sangat tidak mungkin bagi dirinya untuk meminta Dara pindah karena jika dirinya meminta Emile pindah sudah pasti gadis itu akan menolak. Belum lagi sepertinya meja itu akan menjadi meja yang di isi oleh cewek-cewek dan itu tambah tidak memungkinkan bagi Davidson untuk tetap memaksa berdekatan dengan Ai.

"Sial!" Batin Davidson menumpahkan rasa kesal sekaligus frustasinya.
.

.

.

Pelayan memasuki ruangan itu dan mulai membagikan buku menu bertepatan dengan kedatangan dua orang perempuan yang sangat Ai kenali. Celine dan Sara itulah nama kedua sosok perempuan yang sangat dikenalinya itu. Kedua orang itu adalah penyebab Ai harus berurusan dengan psikiater selama dua tahun terakhir. Sosok yang menjadi akar dari trauma Ai selama ini.

"Kita boleh kan duduk di sini?" Tanya Celine sekedar basa-basi karena keduanya langsung duduk di kursi kosong yang tersedia di samping Emile dan Tiana.

"Loh, lo Waier kan? Bukannya lo bukan alumni ya? Ah maaf aku tidak bermaksud..." Ucap Celine menggantungkan kalimatnya seolah sadar jika apa yang diucapkannya itu menyakiti lawan bicaranya.

"Gak papa kali Lin, lo kan cuma kepo. Lagipula benar kan yang lo ucapin." Timpal Sara menenangkan

Kata-kata Celine mungkin terdengar ramah, apalagi dengan senyuman yang dia tampilkan tapi siapa yang tau jika sebenarnya itu adalah cemoohan yang dibungkus dengan keramahan. Begitupun dengan Sara, ucapannya mungkin terdengar untuk menenangkan Celine tapi nyatanya itu juga adalah cemoohan tersirat yang dia tujukan kepada Waier.

Kehadiran Celine dan Sara di meja itu langsung membuat suasana yang sebelumnya ceria berubah suram.

"Sejak kapan undangan reuninya tercantum kata alumni?" Celetuk Emile

"Belum juga mesen udah muntahin sampah aja. Udah gak guna, bau lagi!" Lanjut Emile Sarkas masih dengan fokusnya menatap buku menu yang membuat raut wajah Celine dan Sara langsung berubah masam.










...TBC...

Kalau kata aku sih MAMAM TUH!!!
🤭🤭🤭

Aku Memilih Menjadi Villainess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang