.
.
.
"Kita di mana?" Tanya Ai begitu mobil berhenti di depan sebuah gedung yang menurutnya sangat asing.
"Perusahaan klien sayang."
"Mengapa mereka meminta bertemu di sini? Bukankah biasanya mereka yang menemui Iza di Kantor atau kalau tidak di Restoran?" Heran Ai karena tak biasanya kejadian seperti ini terjadi.
Izana tidak menjawab pertanyaan istrinya. Dirinya lebih memilih fokus memperbaiki posisi istrinya sebelum kembali menggendongnya keluar. Padahal Ai tadi sudah meminta untuk di turunkan tapi namanya juga Izana Wistaria Von Zilvamilion dengan segala keinginannya yang tak menerima bantahan mana mau dirinya melepas istrinya itu.
Kesal karena pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban dari sang suami membuat Ai misu-misu sendiri di gendongan suaminya itu.
"Mau bermain makhluk kecil?" Bisik Izana kepada Ai agar istrinya itu berhenti misu-misu sendiri.
Sesuai dugaan Izana, istrinya langsung terdiam dan menatap penuh minat kepadanya.
"Lihat nanti sayang" Meski Ai sebenarnya sangat ingin protes tapi dirinya urungkan demi tidak merusak moodnya untuk bermain-main nanti. Ai bahkan sudah tidak menolak saat suaminya itu tetap menggendongnya ala koala memasuki Kantor tempat dirinya akan bermain nantinya.
Sebenarnya Ai merasa sangat risih ketika hampir semua karyawan yang mereka lewati melihat ke arah keduanya. Namun jika mengingat mainannya nanti, dirinya lebih memilih untuk bersikap bodoh amat. Toh yang bersamanya sekarang adalah miliknya.
.
.
.
Seorang pria paruh baya nampak berdiri di depan lift begitu lift akhirnya terbuka. Pria paruh baya itu nampak terkejut melihat situasi Izana dan Ai sekarang yang sudah pasti sangat tidak biasa untuk dilihat. Namun, pria paruh baya itu segera menetralkan ekspresinya dan menyambut Izana. Garis bawahi saudara-saudara, hanya menyambut Izana.
"Selamat datang Tuan Muda." Sambut pria paruh baya itu seakan tidak melihat keberadaan Ai. Sementara Ai yang emang dasarnya bodoh amat hanya menunjukkan ekspresi biasa-biasa saja. Toh yang mau rapat kan memang bukan dirinya tapi sang suami dan dirinya hanyalah istri yang kebetulan diseret oleh sang suami untuk menemani.
Sebelumnya ketika mereka berdua memasuki Lobi seorang pria segera menghampiri keduanya dan mengarahkan keduanya menuju lift. Ai menduga jika pria yang menghampiri sang suami tadi adalah asisten pria paru baya yang kini menyambut suaminya itu.
Izana tidak mengatakan apapun dan justru menatap datar pria paruh baya itu. Ai rasanya ingin memukul lengan suaminya itu karena bersikap kurang sopan pada pria paruh baya yang menyambutnya.
Baru saja Ai akan merealisasikan keinginannya itu, tiba-tiba pria paru baya itu kembali membuka suara yang membuat Ai mengurungkan niatnya untuk melakukan penyiksaan kepada suaminya itu.
Dalam pikiran Ai sekarang, mengapa suaminya itu begitu beruntung seakan-akan alam a.k.a situasi pun tak menginginkan jika Ai melakukan sedikit tindak kekerasan pada suaminya itu.
"Mari silahkan masuk Tuan Muda."
Izana berjalan maju menuju ruangan yang pria paruh baya itu tunjukkan tanpa mau repot-repot melihat wajah pria paruh baya itu.
Sejak awal ketika pria paruh baya itu mulai membuka suara, Ai dapat melihat wajah suaminya semakin datar saja dari sebelumnya. Ai dapat memastikan jika suaminya itu tengah menahan diri untuk tidak meledak sekarang. Entah apa yang membuat suaminya bertingkah seperti itu, Ai pun tak berani menebaknya. Suka salah tebak soalnya.
.
.
.
Izana duduk di sofa ruang pria paru baya yang sampai sekarang masih belum Ai ketahui siapa.
"Tuan Muda bisa menyimpan bawaan terlebih dahulu di sebelah sana." Ucap pria paruh baya itu ketika dirinya juga telah mengambil posisi duduk di singgel sofa samping seraya menunjuk sebuah kursi kayu di belakang sofa yang kini Izana dudukki dengan Ai yang berada di pangkuannya. Entah kapan kursi itu berada di situ, Ai pun tidak tau pasti.
"Bawaan?" Izana terkekeh pelan namun sepertinya pria paruh baya itu salah mengartikan maksudnya.
"Maaf Tuan Muda, saya kurang peka." pria paruh baya itu kemudian melihat ke arah perempuan yang juga berada di ruangan itu dan memberi kode untuk mendekat.
"Kenalkan Tuan Muda, ini putri saya Karin. Dia akan menemani anda jadi anda bisa menyimpan bawaan ada terlebih dahulu." Pria paruh baya itu kemudian memberikan kode kepada putrinya untuk mendekat ke arah Izana.
Tawa kencang Izana membuat langkah perempuan bernama Karin itu terhenti dan melihat ke arah sang ayah. Keduanya saling melempar senyum sebelum akhirnya Karin kembali melanjutkan langkahnya dengan pelan mendekat ke arah Izana.
Kedua orang itu masih tidak sadar akan situasinya. Bagi orang-orang yang sudah paham, tawa Izana sekarang merupakan tanda kehancuran bagi orang-orang yang menyebabkannya.
"Mau bermain sekarang sayang?" Bisik Izana begitu menghentikan tawanya.
"Boleh?"
"Tentu"
Ai menegakkan posisi duduknya yang semula bersandar di dada suaminya itu. Sebelumnya karena dirinya digendong ala koala oleh sang suami membuatnya duduk dengan posisi mengangkang di paha pria itu. Karena itu pula lah dirinya tadi tidak melihat perempuan yang kini mendekat ke arah keduanya.
"Iza kenapa dia duduk di situ?" Tanya Ai menatap ke suaminya begitu perempuan yang bermerek Karin itu duduk di sofa yang sama dengan mereka.
"Mau mengusirnya?"
"No, bukankah dia dikirim oleh Pak Tua itu untuk menjadi mainanku?"
"Mau bermain seperti apa?"
"Pembatalan kontrak"
"Hanya itu?" Ai mengangguk, entah kenapa minatnya semula untuk bermain-main langsung menguap.
Raut wajah ayah dan anak itu yang semula bingung kini berubah kaget. Terlebih pria paruh baya itu kini melihat punggung Ai dari samping penuh penghinaan. Sementara Karin menatap penuh kebencian dan rasa iri kepada Ai.
Karin sengaja meminta ayahnya untuk mempertemukan keduanya dan mengundang Izana untuk datang meskipun sebenarnya yang memerlukan kontrak itu mereka. Karin tak banyak berharap ketika meminta hal itu kepada sang ayah. Namun, sepertinya nasibnya cukup mujur karena tiba-tiba permintaan itu disetujui sekitar tiga jam yang lalu.
Karin sudah lama mendengar isu-isu yang beredar, betapa tampannya pemilik Perusahaan W&W itu dan kini ia sudah melihatnya secara langsung, membuktikan kebenaran isu-isu yang beredar. Sangat sedikit orang yang bisa seberuntung dirinya bertemu dengan pengusaha muda itu. Bahkan awak media saja sangat sulit untuk sekadar mendapat fotonya.
Awalnya Karin sungguh senang begitu mendapat kabar dari ayahnya jika Izana, pria yang dikaguminya setuju bertemu di perusahaan sang ayah. Karin bahkan telah berdandan sedemikian rupa agar terlihat menarik saat bertemu dengan Izana nantinya. Namun, ia harus menelan rasa kecewa ketika melihat pria yang dikaguminya datang dengan seorang perempuan di gendongannya.
Izana berdiri dan berjalan menuju pintu keluar tanpa mengatakan apapun. Karin dan ayahnya tersentak melihat Izana yang berjalan keluar. Terlebih Karin yang sebelumnya melamun.
.
.
.
...TBC...
See you next chapter guy's
Jangan lupa vote dan komen
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Memilih Menjadi Villainess
Acak"Jika mereka menggapku villain dikehidupannya bukankah aku akan menjadi orang yang kejam jika tidak merealisasikan anggapannya itu?" "Huuwah... Tokek bulu itu yang mendekatiku lebih dulu dan menggangguku. Bisakah kamu membantuku menyingkirkannya say...