Davidson tak bergeming dan semakin mencengkram erat pergelangan tangan Emile hingga membuat gadis itu kembali meringis pelan. "Lo belum ngasi tau siapa pria itu?"
Plak
Emile menampar wajah Davidson hingga membuatnya kaget dan refleks melepaskan genggamannya. Emile yang melihat pergelangan tangan kirinya memerah bahkan sedikit memar menggertakkan giginya dan kembali menatap nyalang Davidson yang juga tengah menatap tajam dirinya. Wajah Davidson yang baru saja Emile tampar meninggalkan bekas yang sangat estetik menurut Emile.
"Anda pikir saya goblok?" Tanya Emile formal yang artinya dirinya tak akan main-main lagi sekarang a.k.a udah siap membombardir Davidson.
"Kesepakatan seperti itu, anda pikir dapat dipegang?" Lanjut Emile tidak membiarkan Davidson untuk berbicara.
"Gue pasti akan memenuhinya"
Emile melihat Davidson dari atas ke bawa dan kembali lagi ke atas sebelum tertawa mengejek yang membuat Davidson mengepalkan tangannya menahan amarah.
"Omongan anda punya legitimasi ya?"
"..."
"Saya bukan orang bodoh dan saya harap anda pun tidak goblok-goblok amat supaya setidaknya anda bisa ngotak sedikit jadi orang." Lagi-lagi Davidson hanya terdiam mencoba mengontrol emosinya, mengingatkan dirinya masih membutuhkan informasi dari gadis dihadapannya. Emile bukan gadis yang mudah dirinya hadapi.
"Detik ini saya nyatakan jika kesepakatan antara anda dengan saya tidak pernah terjadi." Davidson membelalakkan matanya sesaat dan kembali mencoba meraih tangan Emile. Persetan dengan semuanya, ia akan memaksa Emile buka mulut. Namun, pergerakan Davidson seakan sudah Emile prediksi membuatnya menghindar dengan cepat.
"Jangan pernah menyentuh saya dengan tangan menjijikan anda itu."
"Dan lagi, gunakan saja kuasa anda itu untuk mencari informasinya tapi itupun kalau anda mampu. Goblok kok dipelihara!" Lanjut Emile menatap jijik penuh penghinaan kepada Davidson sebelum melenggang pergi.
Davidson mematung mendengar perkataan Emile dan seketika merasa jika ucapan gadis itu yang mengatakan jika dirinya goblok nyata adanya. Bagaimana bisa ia tidak kepikiran akan apa yang Emile ucapkan. Tapi karena ego Davidson yang tinggi membuatnya tetap mengarahkan amarahnya kepada Emile.
"Tunggu pembalasanku gadis kecil!!!" Batin Davidson menatap tajam Emile yang mulai menjauh.
Emile menghentikan langkahnya seakan teringat sesuatu dan balik mendekat ke arah Davidson. Melihat itu, Davidson tersenyum sinis mengira jika Emile akhirnya masih lebih mementingkan permintaannya tadi yang berarti sama saja gadis itu tidak mampu seperti omongannya sebelumnya. Namun, detik berikutnya pemikiran goblok Davidson runtuh seketika.
"Ku peringatkan anda untuk tidak melewati batas!!!" Ucap Emile sarat akan ancaman sebelum benar-benar meninggalkan Davidson yang mematung sendirian. Davidson tidak menganggap penting ancaman Emile dan masih terus menatap tajam ketika gadis itu bicara dan kembali menjauh.
Menghela nafas kasar, Davidson memutuskan pergi untuk segera memerintahkan asistennya agar menyelidiki pria yang bersama Waier tadi. Mengingat bagaimana interaksi keduanya membuat kemarahan Davidson semakin besar.
"Sial"
..
.
Mobil yang Izana dan Ai tumpangi telah terparkir di depan Mansion. Izana segera keluar masih dengan Ai di gendongannya.
"Iza, sakit" Ucap Ai dengan air mata yang bercucuran.
Izana bungkam dan terus berjala fokus berjalan memasuki Mansion. Meskipun Izana bungkam tapi raut wajah pria itu tidak bisa bohong jika sekarang dirinya khawatir sekaligus takut, bahkan mungkin bukan hanya itu saja.
Sampai di kamar, Izana langsung menurunkan istrinya itu di kasur. Izana mengambil posisi duduk dekat kepala Ai. Satu tangannya mengusap kepala Ai dan satunya lagi memegang tangan Ai. Sesekali Izana mengecup pelan wajah istrinya itu yang kini tampak sangat tidak baik-baik saja. Mata istrinya yang terus mengeluarkan air mata tanpa bisa ditahan membuatnya sulit bernafas.
"Aku panggilkan dokter, hm?" Tanya Izana meminta persetujuan. Bukan karena Izana tidak mau memanggil dokter akan tetapi istrinya jika berada dalam kondisinya sekarang sangat tidak suka untuk bertemu orang yang tidak diinginkannya.
Izana pernah melakukan kesalahan sekali dengan tetap memanggil dokter yang berujung membuat istrinya gemetar hebat hingga akhirnya pingsang dua hari sebelum dokter sempat membius istrinya. Hal itu membuat Izana sangat ketakutan hingga terus menyalahkan dirinya sendiri dan sejak saat itu dia tidak pernah lagi berani bertindak sembarangan tanpa persetujuan istrinya itu. Cukup sekali kejadian mengerikan itu terjadi, tidak akan Izana biarkan ada untuk yang kedua kalinya.
"Terus mau apa sayang?" Tanya Izana kembali ketika usulannya sebelumnya Ai tolak.
"Bo-leh peluk?" Susah payah Ai mengeluarkan suaranya karena kini dirinya juga sangat sulit bernafas. Hidungnya yang tersumbat ingus akibat air matanya yang terus mengalir tak terkontrol semakin memperparah kondisinya bahkan hingga membuat kepalanya berdenyut sakit.
"Tentu" Izana mengecup pelan dahi istrinya sebelum ikut berbaring setelah dan memperbaiki posisi istrinya itu. Tidak ada yang bisa Izana lakukan terhadap kondisi istrinya selain menuruti permintaannya. Obat-obatan tak ada yang mempan pada kondisi istrinya kecuali dibius tapi resikonya terlalu besar.
Izana terus mengusap-usap punggung istrinya dan sesekali mengecup kepala istrinya untuk menenangkannya. Izana kembali teringat perkataan dokter ternama yang ditemuinya dua tahun lalu untuk membahas terkait kondisi istrinya.
Izana pernah mengundang dokter-dokter ternama dunia dan mengumpulkan semuanya di satu tempat hanya untuk berkonsultasi mengenai kondisi istrinya. Akan tetapi tidak ada satupun solusi yang benar-benar memungkinkan karena kondisi istrinya terlalu spesial. Dokter hanya menyarankan dirinya untuk menjaga pola makan istrinya agar kedepannya jika kondisi seperti sekarang terpicu, tidak memberi beban terlalu besar bagi kesehatan istrinya. Alasan itulah yang kemudian membuat Izana dulunya harus memaksa istrinya itu mengonsumsi sayur dengan segala trik yang dimilikinya. Butuh effort yang besar untuk membuat istrinya itu menyukai hidangan sayur yang sangat dibencinya. Tapi Izana bersyukur akhirnya bisa membuat istrinya itu kini dapat menikmati hidangan itu tanpa paksaan.
"Maaf" cicit Ai pelan dengan suaranya yang sangat serak setelah tangisnya dapat sedikit mereda meskipun air matanya masih terus mengalir tapi sudah tidak sederas sebelumnya. Jika di total-total hampir dua jam gadisnya itu terus menangis kenceng. Heran juga itu air mata kok stoknya banyak amat.
"Hm?" Ai sedikit mendongak melihat wajah tampan suaminya.
"Maaf Ai mengotori baju Iza." Cicit Ai merasa bersalah sedikit mendongak untuk melihat respon Izana. Gimana enggak coba, tuh baju dah jadi lap multifungsi. Multifungsi untuk ingus plus air mata itu.
Izana yang melihat wajah istrinya rasanya ingin menerkam istrinya itu sekarang juga jika saja ia tidak sadar kondisi Ai sekarang sangat buruk. Tapi jangan kira Izana akan melepaskan istrinya itu begitu saja.
"Hm, bukankah seharusnya kamu memberiku kompensasi makhluk kecil?" Tanya Izana sok serius yang membuat Ai bingung sendiri.
"Kamu tidak menghampiriku dalam waktu dua jam sebelumnya. Kamu juga berdekatan dengan pria ingusan itu. And last, bukankah kamu juga menjadikan kemejaku sebagai lap ingus sayang? Jadi kira-kira kompensasi apa yang harusnya kamu berikan kepada semua ini, hm?"
...TBC...
See you next chapter
Jangan lupa vote and coment guy's 🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Memilih Menjadi Villainess
Random"Jika mereka menggapku villain dikehidupannya bukankah aku akan menjadi orang yang kejam jika tidak merealisasikan anggapannya itu?" "Huuwah... Tokek bulu itu yang mendekatiku lebih dulu dan menggangguku. Bisakah kamu membantuku menyingkirkannya say...