Chapter 16 Konpensasi

71 2 0
                                    

Cuplikan chapter sebelumnya

"Kamu tidak menghampiriku dalam waktu dua jam sebelumnya. Kamu juga berdekatan dengan pria ingusan itu. And last, bukankah kamu juga menjadikan kemejaku sebagai lap ingus sayang? Jadi kira-kira kompensasi apa yang seharusnya kamu berikan untukku sayang?"
.

.

.

Entah bagaimana air mata Ai langsung kering seketika mendengar penuturan suaminya.

"Kenapa yang kedua itu juga menjadi salahku? Aku kan tidak pernah berniat deket-deket dengan orang itu bahkan aku pun lupa siapa orang itu jika saja Emile tidak menyebut namanya." Sungut Ai cemberut.

"No sayang no. Kamu membuatku cemburu jadi harusnya aku juga mendapatkan konpensasi untuk itu." Ai tidak habis pikir lagi dengan pemikiran suaminya. Bagaimana bisa itu terhitung menjadi salahnya? Bukankah dia sama sekali tidak berprilaku genit ke cowok-cowok?

"Jadi apa yang bisa kamu tawarkan makhluk kecil?" Desak Izana dengan wajah menjengkelkannya.

"Untuk baju aku bisa mencucinya."

"Itu tidak menguntungkanku sama sekali sayang."

"Ya?"

"Aku menginginkan hal yang menguntukan dan bisa ku nikmati sayang." Izana mendekatkan bibirnya ke telinga istrinya "Misal mandi bersama sekarang" bisik Izana diakhiri dengan gigitan pelan di telinga sang istri. Wajah Ai langsung memerah bak kepiting rebus.

"Iza mesum!" Teriak Ai langsung menjauh dari suaminya itu. Sementara Izana yang melihat tingkah istrinya tertawa kencang.

"Padahal kan aku sudah melihat semuanya. Bahkan sudah melakukan lebih dari sekedar mencicipi." Batin Izana
.

.

.

Dilain sisi, di ruangan kerja Davidson. Pria itu kini tengah membaca laporan dari asistennya dengan menahan amarahnya hingga selesai.

"Kau bilang ini informasi, hah?!!" Murka Davidson yang sudah tidak mampu lagi menahan amarahnya usai membaca laporan yang diterimanya dari  asistennya beberapa saat lalu.

"Hanya ini yang bisa kau dapatkan?!"

"Maaf Tuan Muda, Tim Hackers kita sama sekali tidak bisa menembus data pribadi pria itu Tuan Muda." Jelas sekertaris Davidson.

"Bagaimana bisa kalian begitu bodoh hanya untuk mencari informasi seperti itu??!! Keluar!!!"

Jack, asisten Davidson buru-buru keluar dari ruang kerja Tuan Mudanya usai berpamitan. Jack tidak akan mengambil resiko untuk berlama-lama lagi di ruangan itu dan menjadi sasaran empuk kemarahan Tuan Mudanya itu.

Usai kepergian asistennya, Davidson langsung beranjak mengambil minum dari kulkas yang tersedia di ruangannya itu. Ia meraih beberapa kaleng soda dan membawanya ke arah sofa. Meletakkan soda yang dibawanya kemeja depan sofa dan mulai membuka satu kaleng soda tersebut dan meneguknya hingga tandas tak bersisa.

Davidson menyandarkan tubuhnya ke sofa. Menutup matanya menggunakan lengan kirinya dengan tangan kanannya masih setia memegang kaleng soda yang kini sudah kosong.

Davidson menerawang dengan mata terpejam. Mengingat kembali bagaimana besarnya perbedaan respon Ai ketika bersama dirinya dengan respon Ai ketika bersama pria yang kini ia ketahui bernama Izana itu. Mengingat itu membuat emosi Davidson kembali meradang. Ditambah lagi tidak ada informasi jelas terkait pria itu. Satu-satunya informasi jelas yang ia punyanya hanya sebatas nama itupun tanpa nama keluarga. Davidson sama sekali tidak mendapat kejelasan hubungan antar Ai dengan Izana.

Davidson menegakkan tubuhnya, kembali merai sekaleng soda yang masih tersegel dan lagi-lagi menandaskan soda itu dengan sekali teguk. Entah apa yang merasukinya, Davidson tiba-tiba teringat interaksinya bersama Emile beberapa jam lalu.

"Sial!" Umpat Davidson kalah mengingat bagaimana congkaknya tindakan Emile terhadap dirinya. Setidaknya itulah pendapat pribadi Davidson. Tapi sepertinya dia harus kembali berurusan dengan gadis itu jika ingin mendapat informasi yang pasti.

Davidson melihat jam dinding di ruang kerjanya yang sudah menunjukkan pukul 2 malam atau subuh mungkin lebih tepatnya, yang artinya sudah satu jam dirinya berdiam diri di sofa ruangannya itu. Meski tau sudah sangat larut, Davidson sama sekali tidak berminat ke kamarnya untuk istirahat. Dirinya merasa tidak mengantuk sama sekali.
.

.

.

Ai menggeliat pelan dan membuka matanya yang langsung disambut kecupan singkat di dahi oleh sang suami. Wajah Ai tiba-tiba memanas mengingat bagaimana tingkah suaminya itu semalam. Ai benar-benar tidak bisa lepas jika suaminya itu sudah menargetkannya.

"Kenapa, hm?" Ai tidak menjawab melainkan langsung beringsut menyembunyikan wajahnya itu di pelukan Izana.

Izana yang mengerti jika istrinya kini tengah menahan malu hanya bisa mengusap-usap kepala istrinya. Padahal kan mereka sudah sering melakukannya.

Cukup lama kedua pasutri itu hanya terdiam.

"Iza tidak kerja?"

"Aku Bosnya sayang"

Ai langsung mendongak dan menatap nyalang kepada Izana. Melihat tatapan istrinya, bukannya merasa takut Izana justru merasa gemes sendiri melihat istrinya.

"Ngapain senyum-senyum?!" Tanya Ai galak namun tak berhasil menghentikan tingkah suaminya.

"Bos kok suka terlambat." Sindir Ai menatap nyalang suaminya.

"Kamu lucu sayang. Lagipula aku tidak akan langsung jatuh miskin hanya karena tidak masuk sehari sayang." Izana mengecup singkat bibir istrinya yang sedari tadi menggodanya.

Idih, bilang ae situnya aja yang mudah tergoda.😌
.

.

.

Usai perdebatan pagi pasutri itu tadi pagi sekarang keduanya kembali berdebat lagi.

Izana memutuskan menyetujui menemui kliennya setelah istrinya yang sedari tadi membujuknya untuk berangkat kerja dan tidak malas-malasan. Izana tau istrinya itu hanya ingin meloloskan diri darinya tapi tidak akan dirinya biarkan hal itu terjadi.

And see, istrinya itu sekarang menggunakan Emile sebagai alasan untuk tidak ikut.

"Hmph, tidak mau!"

"But why sweety?"

"Hanya tidak mau! Lagipula Iza belum memberitahuku tentang Emile."

"Aku akan mengatakan semuanya nanti sayang. Jadi ayo kita pergi dulu sekarang, hm?" Yap maksud tidak melepaskan istrinya adalah dengan membawa istrinya ikut bersamanya.

"No no no! Iza harus mengatakannya sekarang."

Izana menghela nafas menerima penolakan dari istrinya. Tak kehabisan akal, Izana langsung menggendong istrinya bak karung beras. Tak mempedulikan rontahan istrinya dan terus berjalan hingga memasuki mobil yang sudah menunggu di depan Mansion.

Supir langsung melajukan mobil menuju lokasi yang Izana perintahkan. Di dalam mobil Izana tidak menurunkan istrinya di jok sebelahnya dan malah lebih memilih memangkunya. Sementara itu, Ai terus saja memberontak meminta di turunkan.

"Diam dulu makhluk kecil" Desis Izana datar. Ai tersentak, sadar jika sekarang suaminya itu pasti tengah menahan amarahnya.

"Aku..."

"Diam makhluk kecil!" Potong Izana mengulang ucapannya dan itu sukses membuat Ai kicep seketika.

Ai tidak berani lagi bersuara dan menurut untuk ikut tanpa perlawanan lagi. Entah akan dibawa kemana, dirinya pun tak tahu.















...TBC...

Aku Memilih Menjadi Villainess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang