Derasnya hujan dan kilatan petir yang sesekali terdengar membuat banyak orang ingin segera beranjak ke tempat tidur untuk tidur lebih awal. Namun, nampaknya itu tidak berlaku untuk sosok yang kini terlibat pembicaraan serius itu. Atau mungkin lebih tepatnya terpaksa sih.
Disebuah ruangan dengan minim pencahayaan dua orang perempuan kini tengah terlibat pembicaraan atau mungkin lebih tepatnya salah satu di antaranya tengah melaporkan sesuatu kepada sosok perempuan yang kini duduk santai di kursi balik meja bacanya.
Kilatan cahaya petir yang terlihat dari balik dinding kaca ruangan itu membuat wajah sosok yang tengah duduk memunggungi dinding kaca itu tersorot jelas untuk beberapa saat. Sosok perempuan yang tak lain adalah Ai menampakkan wajah tak senangnya mendengar laporan dari mata-matanya
Ruangan yang dipenuhi rak buku dengan berbagai buku yang tersusun rapih di rak buku itu tampak mencekam untuk sesaat sebelum kembali normal.
"Heh, jadi orang itu masih punya niat untuk menggoda Iza?" Tanya Ai memastikan setelah mendengar laporan dari Squad Bayangan yang berada di bawah kendalikan.
"Benar Nona."
"Iza sudah tau?"
"Nampaknya seperti itu Nona." Ai mengernyitkan dahi mendengar jawaban tim mata-matanya. Entah apa yang tengah ia pikirkan sekarang.
"Terima kasih dan keluarlah" Titah Ai pelan.
Ai terdiam cukup lama setelah memerintahkan pimpinan Squad Bayangan miliknya keluar sebelum akhirnya beranjak dan berjalan kesebuah pintu. Pintu yang berbeda dengan pintu yang sebelumnya Squad Bayangan miliknya gunakan untuk meninggalkan ruangan.
Ai langsung disuguhkan sebuah ruang kerja begitu membuka pintu. Ia langsung memusatkan perhatiannya pada sosok yang menjadi pemilik ruangan itu yang tak lain adalah Izana, suaminya.
Perlahan Ai melangkah mendekati Izana yang tengah fokus berkutat dengan laptop miliknya dan sesekali melihat berkas yang ada di sampingnya. Begitu Ai berdiri di sampingan Izana, tindakan suaminya itu langsung membuatnya terpekik kaget.
Izana tiba-tiba saja merai pinggang Ai disaat dirinya masih fokus pada layar laptop miliknya. Sebelah tangannya bahkan masih aktif mengetikkan sesuatu dari keyboard laptopnya itu akan tetapi dengan mudahnya ia membuat Ai terduduk di pangkuannya.
"Kenapa hm?" Bisik Izana menghentikan semua aktivitasnya dan memfokuskan perhatiannya itu pada Ai. Izana sedikit memperbaiki posisi duduk Ai dan kembali memeluknya dengan erat.
"Aku mengganggumu?"
"Kamu prioritasku sayang. Jadi apapun itu kamu sama sekali tak menggangguku, mengerti?"
Bolehkah Ai baper pada suaminya itu setiap saat? Rasanya dirinya tak dapat menahan diri untuk itu. Bahkan semburat merah di wajahnya kini sudah terpampang jelas dan Ai yakin jika Izana pasti menyadari hal itu namun memilih diam.
"Iza tau soal Karin?" Tanya Ai yang mendapat gumaman singkat dari Izana yang kini terus saja menatapnya. Sebelah tangan Izana terangkat untuk mengelus pelan rambut Ai tanpa niat berkomentar lebih.
"Iza tau? Dia menyukai Iza dari lama." Lanjut Ai bercerita yang sebenarnya dapat dipastikan jika Izana sudah mengetahui hal tersebut.
"Aku tak menyukai fakta itu. Terlebih fakta lainnya jika Karin, Celine, dan Sara bersahabat."
"Aku akan mengurusnya sayang." Ucap Izana enteng tapi tak seenteng suasana hatinya sekarang. Rasa amarah kini meliputinya. Marah kepada dirinya sendiri karena menjadi bagian dari sumber keresahan istrinya dan juga pada sumber utama keresahan istrinya. Salah satu hal yang paling Izana tak sukai adalah orang yang mengusik ketenangan dan kenyamanan istrinya yang selama ini selalu dirinya jaga dengan penuh perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Memilih Menjadi Villainess
Random"Jika mereka menggapku villain dikehidupannya bukankah aku akan menjadi orang yang kejam jika tidak merealisasikan anggapannya itu?" "Huuwah... Tokek bulu itu yang mendekatiku lebih dulu dan menggangguku. Bisakah kamu membantuku menyingkirkannya say...