TCR-7

785 64 1
                                    

Setelah kejadian kurang menyenangkan yang terjadi kemarin, sosok Arya benar-benar tidak bisa ia hubungi. Dengan pikiran yang masih kacau, Raya mencoba untuk kembali bekerja, setelah memutuskan untuk resign. Bagaimana pun, ia tidak ingin bertengkar lebih lama lagi dengan Arya.

Ia dan Arya sama-sama sudah dewasa, dan dalam sebuah hubungan harus ada salah satu yang mengalah. Raya telah memutuskan, dalam pertengkaran kali ini ia yang akan mengalah dan menuruti keinginan Arya. Katakanlah jika ia bodoh karena cinta, tapi keputusan Raya sudah tidak bisa di ganggu gugat.

"Kamu serius akan pergi bekerja?" sang ibu masih terlihat begitu sangat khawatir.

Raya mengangguk, ia masih belum bisa memberitahu masalah sebenarnya kepada keluarganya termasuk Bella yang kemarin menyaksikannya menangis dengan sangat menyedihkan.

"Wajahmu, terlihat pucat sayang," tambah sang ibu.

"Raya baik-baik saja Bu.” ucapnya. Meski sebenarnya ia masih sangat ingin menangis. Perasaannya masih begitu sesak, bahkan sampai saat ini ia masih belum bisa menghubungi Arya.

"Bu, apakah ayah belum pulang?" tanya Raya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sang ibu menggeleng, ayah mereka memang pergi untuk perjalanan dinas dari kemarin, dan akan pulang esok lusa.

"Kamu akan ke kantor dengan siapa?"

Raya menghela napas, "Mbak Silvi," singkatnya, kemudian ia menyalami lengan ibunya, karena Silvi hampir sampai di rumahnya.

"Raya pamit ya," katanya.

Sang ibu mengangguk, ia hendak mengatakan sesuatu kepada Raya, tetapi Raya sudah pergi. Jelas sekali, jika anak itu tidak sedang baik-baik saja. Tapi, kenapa Raya tidak bercerita?

Ia sangat ingin sekali bertanya soal pertemuan Raya kemarin dengan Arya, tapi ia memendam semua pertanyaan itu, takut Raya merasa dirinya terlalu ikut campur.

Di sisi lain, Raya juga merasa sangat merasa bersalah kepada ibunya. Pagi ini ia bahkan tidak memakan sarapan yang sudah di buat oleh ibunya. Setiap kali menatap mata ibunya, ia semakin ingin menangis. Tapi, ia tidak ingin ibunya ikut bersedih karena dirinya. Jadi, ia lebih memilih diam sampai waktu yang tepat, ia akan menceritakan semuanya.

"Raya," panggil Silvi yang baru saja sampai di halaman rumah Raya.

Raya tersenyum kepada sosok itu, Silvi adalah teman yang baik dan sangat bisa ia andalkan. Silvi sendiri sudah seperti kakak baginya.

"Pakai helm, dulu," kata Silvi sembari memberikan sebuah helm berwarna pink.

Raya terkekeh pelan, "Harus ya, pakai helm warna pink seperti ini?" candanya.

Silvi tertawa. "Pakai saja, kenapa sih?"

Raya memakai helm pink tersebut, kemudian naik ke atas motor Silvi.

"Sudah siap?" tanya Silvi.

"Sudah mbak," katanya sambil memeluk Silvi dengan erat.

Silvi terpekik. "Raya!" serunya.

Raya lagi-lagi tertawa, setidaknya dengan Silvi ia bisa sedikit melupakan kejadian kemarin.

"Iih mbak, jangan teriak,"

Silvi mendengkus pelan, "Ya makanya jangan memelukku erat-erat,"

Raya tertawa, "Oke deh,"

Lantas, Silvi langsung melajukan sepeda motornya menuju kantor, sambil sesekali membahas hal yang lucu dengan Raya, dan tertawa bersama-sama.

Setelah menempuh perjalanan, keduanya sudah sampai di kantor, Silvi pamit untuk membawa motornya ke parkiran, dan Raya langsung masuk ke ruangannya. Melakukan aktivitasnya sehari-hari, di mulai dengan membereskan tumpukan dokumen di mejanya, mengecek jadwal rencana kegiatan Abimanyu di kantor.

Takdir Cinta Raya [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang