TCR-36

840 58 12
                                    

"Itu terlalu simpel sayang, coba yang lain lagi!" ujar Sania Rafandi, sang nyonya besar keluarga Rafandi yang tengah sibuk memilih gaun pengantin yang cocok untuk calon menantunya.

Sedangkan Raya terlihat sangat lelah karena terus menuruti keinginan ibu mertuanya.

"Mami, yang akan menikah adalah aku dan Raya.”

Raya menghela napas, ia beruntung karena Abimanyu datang di saat yang tepat.

Sania mendengkus, "Iya, Mami tahu. Tapi--"

"Tapi, aku dan Raya sudah memilih gaun, dan tuxedo yang cocok untuk kami," kata Abimanyu sembari merangkul bahu Raya. "Sudah makan, sayang?" tanyanya kepada Raya.

Raya menggelengkan kepalanya.

"Kenapa Raya tidak bilang, jika sudah menemukan pakaian pengantin yang cocok untuk kalian?" kata Sania, sembari menatap sang calon menantunya dengan tidak enak hati, karena ia terus membuat Raya mencoba gaun-gaun disini.

Abimanyu terkekeh pelan, tanpa melepaskan genggaman tangannya dari sang calon istri. "Raya mana mungkin bisa menolak Mami. Mami tentu tahu itu." jawabnya.

Sania menghela napas. "Maafkan Mami ya sayang. Mami terlalu memaksa ya?" katanya dengan penuh penyesalan. Karena hampir seharian ini tidak membiarkan calon menantunya itu beristirahat dengan baik.

Raya lantas melepaskan genggaman tangan Abimanyu, lalu mendekat dan memeluk Sania. "Ah, Mami. Ini bukan salah Mami." katanya.

Abimanyu tersenyum lebar, hanya tinggal satu bulan lagi, Raya akan resmi menjadi istri, serta anggota keluarga Rafandi, dan akan menyandang marga Rafandi di belakang namanya.

Meski perjalanan cintanya dengan Raya terbilang sangat singkat, sebenarnya tidak bagi Abimanyu. Sejak awal pertemuannya dengan Raya di interviu calon pekerja baru, Abimanyu sudah sangat tertarik.

Wanita itu bukan hanya cantik, dan pandai berbicara. Pekerjaan yang di berikan kepadanya juga senantiasa di kerjakan dengan sangat baik, dan Abimanyu semakin tertarik.

Selama ini, Abimanyu hanya menatap, dan menyukai Raya secara diam-diam. Sengaja menempatkan Raya sebagai sekretaris, agar ia bisa terus bersama Raya.

"Abi, bagaimana jika kita pergi makan saja? Menantu Mami sepertinya sudah sangat lelah.” ucap Sania.

Abimanyu mengangguk. "Oke, tapi Raya harus mengganti pakaiannya terlebih dahulu.” kata Abimanyu sembari melihat penampilan Raya yang masih memakai sebuah gaun pengantin.

Menyadari itu, Raya beserta Sania terkekeh.

"Kalau begitu, Mami akan menunggu kalian di bawah ya.” katanya. Lalu ia menatap Abimanyu, "Jangan melakukan apa pun terhadap Raya, kalian belum sah menikah!" ancamnya.

Abimanyu tertawa, sembari merangkul bahu Raya. "Ayolah Mami, aku dan Raya sudah dewasa. Melakukan sesuatu di kamar ganti, sepertinya menyenangkan.” godanya, kemudian Abimanyu meringis saat Sania memukul kepalanya dengan tas milik ibunya tersebut.

Raya ikut meringis, seolah merasakan rasa sakit yang sama dengan Abimanyu.

"Mami akan membunuhmu, jika berani macam-macam sebelum menikah!" ujar Sania.

Kemudian Sania melirik Raya, "Cepat ganti pakaianmu. Mami akan mengawasi buaya darat satu ini." titahnya.

Raya lantas segera bergegas ke kamar ganti, sedangkan Abimanyu mengusap kepalanya yang masih lumayan sakit, karena ulah ibunya.

"Mami keterlaluan sekali. Aku adalah putramu sendiri, tapi Mami kenapa sangat tega kepadaku?" sungutnya.

Sania mendengkus kasar. "Setelah kau dan Raya menikah, maka kau bukan lagi putra Mami. Raya akan menggantikanmu!"

"Mami!" protes Abimanyu, yang hanya di balas oleh pelototan tajam dari ibunya.

Abimanyu akhirnya bungkam, sembari mengusap kepalanya.

"Sakit tidak?" Sania tiba-tiba bertanya.

Abimanyu mendengkus, "Menurut Mami?" katanya sedikit ketus.

"Ingin Mami pukul lagi?"

Abimanyu berdecak, lalu memalingkan wajahnya. Sedangkan sang ibu tertawa, ia senang melihat Abimanyu kesal seperti itu.

Kemudian suasana mulai hening, Raya juga belum selesai berganti pakaian. Lalu, Sania terdengar menghela napas. "Mami bersyukur, wanita itu adalah Raya. Bukan orang lain." katanya.

Abimanyu mengangguk. Ia juga sama bersyukurnya, meski awalnya ia mengaku sangat sulit untuk membuat Raya luluh. Tapi, akhirnya kini ia dan Raya sudah sampai di titik akhir penantian. Keduanya akan segera melaksanakan pernikahan, dan mengucap janji setia sampai mati di hadapan tuhan.

"Abi, jika kelak kau membuat Raya menangis. Mami akan jadi orang pertama yang membunuhmu." kata Sania menambahkan.

Abimanyu terkekeh pelan. Bagaimana bisa, ia menyakiti wanita yang paling ia cintai. Tak lama, sosok Raya keluar dari ruang ganti.

Abimanyu langsung menghampiri, dan menggenggam tangan Raya.

Kini gantian Sania yang terkekeh. Ia tahu, putranya itu tidak akan sanggup menyakiti Raya, melihat betapa besar Abimanyu mencintai wanita itu.

Raya menatap wajah Abimanyu, dan Sania yang tengah terkekeh. "Kenapa kau tertawa?" bisiknya kepada Abimanyu. "Apa, ada yang salah denganku?"

Abimanyu menatap wajah Raya, tersenyum lembut, dan mengecup pelipis Raya.

"Aku mencintaimu." katanya.

Raya terdiam. Merasa heran, dengan sikap Abimanyu, dan juga calon ibu mertuanya.

"Oke, sudah cukup mesra-mesraan nya. Ayo makan, Mami sudah sangat lapar," ucap Sania sembari meninggalkan Raya dan Abimanyu di belakang.

Sembari mengekori Sania, Raya terus menatap Abimanyu dengan heran.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Abimanyu.

Dengan kening yang berkerut, Raya menjawab, "Kenapa Mas Abi tiba-tiba bersikap aneh?"

Abimanyu terkekeh, mencubit gemas pipi gembil Raya. "Aneh bagaimana, sayang? Memangnya tidak boleh bermesraan, dengan calon istri sendiri?" godanya dengan hidung yang sengaja di gesekkan pada hidung milik Raya.

"Mas Abi.” desisnya. Abimanyu benar-benar sudah gila, dan sangat tidak tahu malu.

Memang tidak ada yang melarang, untuk bermesraan. Tapi, ini tempat umum!

Abimanyu lagi-lagi terkekeh. Menggenggam tangan Raya dengan erat, seolah tidak ingin terlepas sama sekali.

"Lepas," titah Raya.

Abimayu menggeleng, dengan bibir yang tersenyum.

Huh, dasar!

Takdir Cinta Raya [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang