TCR-20

864 64 0
                                    

Pikiran Abimanyu benar-benar kacau, ia sudah tahu jika Raya akan mengatakan hal itu, dan menolaknya. Tapi tetap saja, rasanya benar-benar menyakitkan, dan juga mengecewakan.

Hah! Melakukan pelan-pelan apanya?

Ia bahkan sudah tidak sabar terus menahan perasaan yang di pendamnya selama beberapa tahun ini. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raya yang menatapnya dengan tajam, apakah Raya sebenci itu kepadanya? Sampai Raya merasa jijik mendengar ungkapan cintanya barusan.

Sial!

Abimanyu benar-benar kacau. Seharusnya ia tidak mengungkapkan perasaannya sekarang, ia harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Raya nanti?

Bagaimana jika Raya benar-benar ingin resign?

Sial! Jika Raya benar-benar ingin resign ia benar-benar akan sulit untuk bertemu dengan wanita itu.

Abimanyu benar-benar kesal kepada dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak menekan Raya dengan ungkapan cintanya barusan.

"Abi, sudah pulang?" sapa sang Mami, Sania Rafandi.

Abimanyu menghentikan langkahnya, duduk di sofa pada ruang tamu rumahnya.

"Nenek mana?" tanyanya.

"Nenek sedang tidur setelah meminum obat. Hey, kenapa dengan wajahmu? Apakah hari ini pekerjaanmu terlalu banyak?" tanya Sania, sembari duduk di samping putranya yang terlihat sedang tertekan.

"Ada apa? Ingin cerita kepada Mami?" tanyanya.

Abimanyu menghela napas, "Mam, apa perempuan terus menyimpan dendam kepada orang ia benci?"

Sania mengerutkan keningnya. Kenapa putranya tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa yang sebenarnya yang mengganggu pikirannya?

"Abi, kamu tahu pasti jika otak Mami ini tidak sepintar kamu, dan Papi. Bisa bicara secara gamblang saja tidak?" protes Sania.

Abimanyu tertawa pelan, "Abi tiba-tiba ingin kencan buta Mam," celetuknya.

"Heh? Apa kamu bilang?" Sania tidak percaya dengan apa yang barusan di katakan oleh putranya.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Sania.

"Mami, masa tidak mengerti. Abimanyu sepertinya baru saja di tolak oleh perempuan, bukan begitu Abi?" Sosok sang ayah, Devario Rafandi tiba-tiba muncul dan menggoda Abimanyu.

Sania lantas menatap putranya dengan lekat. "Apa benar, apa yang di katakan oleh Papi?" tanyanya.

Abimanyu hanya membalasnya dengan tawa pelan.

Devario ikut bergabung bersama Abimanyu, dan Sania. Ia menepuk bahu sang putra, "Abi, siapa yang berani menolak putra Papi yang tampan ini?"

"Ada Pi, Abi tidak bisa memberitahu Papi sekarang," jawabnya.

Sania tersenyum, mengecup pelipis putranya, lalu mengusap rambutnya. "Abi, Mami senang akhirnya kamu sudah bisa membuka hatimu untuk wanita lain. Gia juga pasti senang, karena sekarang kamu sudah menemukan wanita yang tepat untukmu," kata Sania.

Abimanyu mengangguk. "Sebenarnya, Abi sudah lama menyukainya. Abi sudah menyimpan rasa itu selama tiga tahun," jelasnya. Kemudian ia tertawa miris, "Tapi, hari ini Abi malah menghancurkan semuanya. Abi malah mengutarakan perasaan Abi, dan wanita itu menolak," tambahnya.

Devario menghela napas, "Nak, tindakanmu sudah benar. Tapi, setelah ini apakah kamu akan menyerah, dan mengubur perasaanmu lagi?"

Abimanyu tidak menjawab, ia memang tidak tahu apa yang harus di lakukannya.

"Abi ... saran Mami, kamu hanya tinggal menunjukkan seberapa tulus kamu mencintai wanita itu. Terus-terusan memberikannya perhatian lebih, yang akan membuat perasaannya luluh.”

Devario mengangguk, "Lakukan semuanya pelan-pelan sayang, Mami dan Papi akan mendukungmu.”

Abimanyu mengangguk, "Terima kasih, Mami, Papi.” katanya.

Sudah lama sekali rasanya ia tidak merasakan perasaan hangat di dalam rumah ini.

"Jadi, bagaimana dengan kencan butanya?" tanya Sania, yang membuat Abimanyu dan Devario tertawa.

Devario berdeham, "Bagaimana, jika Papi saja yang menggantikan Abi untuk pergi ke kencan buta.” lontarnya, yang mendapatkan pelototan tajam dari Sania.

"Nanti malam, Papi tidur di luar!" rajuk Sania.

"Kalau begitu, Papi akan pergi ke hot--Mami!!" Devario tiba-tiba berteriak, saat Sania tiba-tiba menarik telinganya, dan menyeretnya masuk ke dalam kamar.

Abimanyu tertawa, menghilangkan sedikit perasaan kacau di hatinya. Baiklah, ia akan mendengarkan saran dari kedua orang tuanya. Meski pun, sangat kecil peluang untuk membuat Raya luluh, tapi setidaknya ia sudah berusaha keras untuk mendapatkan Raya.

"Semangat Abi!" ujarnya, menyemangati dirinya sendiri.

Mulai besok, ia akan menjadi Abimanyu yang tebal muka demi wanita pujaannya, Raya Fatarisa.

🍂🍂🍂

Ini adalah hari ke empat Raya tidak masuk kantor, seharusnya ia akan masuk kantor tiga hari lagi. Tapi, ia akan memutuskan masuk kerja besok saja, ia sudah jenuh berada di rumah terus tanpa melakukan apa pun. Meski nantinya ia akan berpapasan dengan Abimanyu, ia akan tetap bekerja dengan profesional, tanpa membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaannya.

"Kamu yakin, akan mulai kerja besok?" tanya sang ayah.

Raya mengangguk.

"Apa perasaanmu sudah membaik?" kali ini, sang ibu yang bertanya.

Raya kembali mengangguk.

"Ayah, barusan bos Raya kemari lho," kata sang ibu.

"Benarkah?" tanya sang ayah.

Ayah dan Ibunya malah asyik membicarakan Abimanyu. Raya menghela napas pelan, kemudian menghampiri Arabella yang tengah belajar di ruang tamu.

"Bell," panggilnya, memecah keheningan.

"Kenapa Mbak?" tanya Arabella, tanpa mengalihkan tatapannya dari buku tulisnya.

Anak itu sibuk mengisi tugas yang di berikan oleh gurunya di sekolah.

"Jika misalnya, mbak membuka hati lagi. Apakah tidak terlalu cepat?" tanyanya.

Arabella kini menatapnya dengan serius. "Hm, Mbak yakin untuk membuka hati lagi?

Raya menggelengkan kepalanya, "Belum tahu. Tapi, misalnya ada yang menyatakan perasaan kepada Mbak, apa yang harus Mbak lakukan?"

Arabella menghela napas. "Mbak, yang terpenting sekarang, apakah hati Mbak sudah membaik?"

Raya menggelengkan kepalanya lagi. "Tidak tahu. Tapi, jika ingat soal dia, rasanya masih sangat sakit," katanya, dengan tatapan mata yang masih berkaca-kaca.

"Ya sudah, jangan dulu membuka hati," simpul Arabella.

Raya menghela napas, matanya menerawang jauh. "Apa, orang yang mengungkapkan cinta kepada Mbak itu, akan menunggu, sampai keadaan Mbak membaik, dan membuka hati lagi?"

Arabella mengangkat bahu, "Entah. Tergantung, sekuat apa ia mencintai Mbak.”

Raya mengangguk. "Bell,"

Arabella bergumam. Hatinya sedang menerka-nerka, siapa yang sebenarnya sudah mengungkapkan cinta kepada kakaknya?

Apakah Abimanyu?

"Mbak sayang kamu,"

Arabella tertawa, "Apa sih, Mbak ingin di traktir es krim lagi?"

Raya tertawa, "Mau dong, tapi kali ini traktir Mbak yang banyak ya.”

Arabella berdecak, "Huh dasar! Kenapa harus aku yang mentraktir Mbak? Padahal kan, Mbak kerja.” sungutnya.

Raya kembali tertawa, lalu sosok ayah dan ibu mereka terlihat tersenyum melihat hubungan antara Arabella dan Raya sudah sangat membaik.

"Sudah lama sekali rasanya tidak melihat mereka seperti itu," kata sang Ibu.

Suaminya mengangguk, dan merangkut bahu sang istri. "Iya, benar,"

Takdir Cinta Raya [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang