11

842 105 4
                                    

Meski sudah seharian mencari pekerjan dan kedua kakinya terasa sakit karena terlalu banyak berjalan hari ini, tidak membuat Marsha patah semangat. Gadis cantik bergigi gingsul itu justru masih terlihat berkutat dengan laptop yang Alea pinjamkan untuk kembali mencari lowongan pekerjaan setelah membuka email lamaran pekerjaan yang kemarin ia kirim.

Sementara itu di kamar yang tidak jauh dari ruang keluarga, tepatnya di kamar Zean. Lagi dan lagi, laki laki itu diam diam memperhatikan Marsha dari cctv hingga ia tertidur.

Keesokan harinya....

Entah apa yang merasuki Zean, pagi pagi sekali ia sudah membuat ke gaduhan di tempat cucian baju dan juga tempat yang biasa Mbok Ida gunakan untuk menyetrika baju baju miliki Zean ataupun Alea.

"ck...,"Zean berdecak, mengusap kasar wajahnya. "Mbok, saya bilang keluar sebentar ...oke ,"ucapnya dengan kedua mata yang sedikit melebar.

Mbok Ida mendengus dan berbalik menatap Zean. "Awas saja kalau sampai di berantakin pas nyari bajunya ,"ucapnya, kemudian meninggalkan Zean di ruangan itu.

Srek...Zean menarik pintu ruangan itu dan menguncinya agar tidak ada orang yang masuk. Setelah itu, Zean terlihat mengambil gulungan kertas dari saku celananya dan meletakanya diatas meja strika. Gulungan kertas itulah yang menjadi alasan Zean meminta Mbok Ida meninggalkan ruangan ini, karena ia ingin menyertikan gulungan kertas itu agar kembali rapi.

Tidak butuh waktu lama, kertas yang Zean strika itu sudah kembali rapi dan ia memasukanya kedalam lipatan salah satu kemejanya saat membawanya keluar.

"Papa dari mana ? "Alea menatap heran sang Papa yang berpapasan denganya.

Zean yang sedikit tersentak kaget, mengusap dadanya. "Duh, Al...kamu bisa nggak sih, nggak ngagetin Papa ,"ucapnya.

"Dih, orang dari tadi aku disini. Papanya aja yang jalanya nunduk nggak jelas sambil senyum senyum bawa tuh kemeja ,"ucap Alea, kemudian berlalu meninggalkan Zean.

Zean hanya mencibik dan kembali melangkahkan kakinya menuju kamar. Karena ia juga harus bersiap untuk berangkat ke kantor.

Sementara itu di meja makan, Alea tengah menikmati sarapanya sembari menyusun rencana apa lagi yang akan ia dan Marsha lakukan. Karena sejak kemarin, ia belum menerima email panggilan kerja untuk Marsha. Begitu juga dengan Mbok Ida yang nomor ponselnya di masukan dalam lampiran lamaran kerja, juga belum mendapat panggilan kerja untuk Marsha.

"Huftt...,"Alea menghela nafasnya, kemudian menatap Marsha setelah sedikit sibuk dengan ponselnya. "Kalau sampai lusa belum ada panggilan kerja, aku bakalan minta Papa buat bantu Kakak. Dan kali ini, Kakak nggak boleh nolak. Karena cuma ini jalan satu satunya ,"ucapnya.

"Tapi Al..,-"

"Maaf ya kak, kali ini aku nggak terima penolakan, "Alea menyela ucapan Marsha, kemudian beranjak dari duduknya. "Aku berangkat dulu ya, Greesel udah didepan ,"pamitnya, menyalami Marsha dan Mbok Ida bergantian.

Tap...tap...tap...Alea berjalan dengan langkah kaki yang sedikit cepat, hingga tidak membutuhkan waktu lama ia sudah terlihat semakin jauh .

"Huftt...,"Marsha menghela nafasnya, lesu.

Mbok Ida pun juga menghela nafasnya, menatap Marsha dengan rasa kasihan. "Yang sabar ya Neng ..,"ucapnya, mengusap punggung Marsha dengan lembut.

***

Hari ini Zean sedikit terlambat datang ke kantor bukan karena perjalanannya menuju kantor tergangung. Ia terlambat datang karena menemui teman lamanya untuk membicarakan beberapa hal penting. Dan keterlambatanya itu tentu saja berimbas pada Helisma, karena harus menggantikanya meeting pagi dengan klien yang menyebalkan.

Namun, bukan Zean jika tidak bisa membuat Helisma melupakan rasa kesal padanya. Dan meski itu sudah berkali kali terjadi, akan tetapi masih memberikan dampak yang sama.

"Nih, terserah mau di pakek buat apa dalam satu hari ini..,"Zean meletakan credit cardnya.

Srek...Helisma dengan segera menarik credit card Zean .

"Eits...,"Zean menarik kembali credits card-nya. Hingga terlihat ia dan Helisma seolah tengah memperebutkan credits card berwarna gold itu.

" Nggak ikhlas?" Helisma menaikan alis kirinya.

"Cari tahu dulu soal rumah itu ," ucap Zean , mengingat rencana Helisma yang mengatakan akan melihat kembali berkas rumah yang ia tempati saat ini.

Helisma mendengus. "iya iya ...,"ucapan, lesu .

"Gitu dong ," Zean mengulas senyumnya dan membiarkan Helisma kembali membawa credits card-nya.

Sementara itu di Jepang...

Fiony di temani Freya sengaja menyempatkan waktu untuk bertandang ke kediaman Ibunda Zean. Ia sengaja datang untuk berpamitan, karena nanti malam akan pulang ke Jakarta. 

Niatnya hanya datang untuk berpamitan, akan tetapi yang ia dapat justru sebuah pengharapan tentang hubunganya bersama Zean. Karena lagi lagi, Ibunda Zean mengatakan akan membantunya membujuk Zean untuk segera menentukan tanggal pertunangan.

Freya yang mendengar janji manis dari Ibunda Zean itu sedikit mengerutu didalam hati. Karena ia tahu selama ini, hanya Fiony yang selalu berjuang untuk hubungan mereka. Sedangkan Zean, sama sekali tidak terlihat untuk hubungan mereka. Bahkan tindak tanduk Zean terhadap Fiony justru terlihat layaknya seorang kakak yang melindungi adiknya.

Setelah cukup lama bertamu, Fiony dan Freya akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Karena mereka tidak ingin ketinggalan kereta menuju bandara.

"Kamu nggak bosen apa di janjiin hal yang sama terus ?" Freya menoleh, menatap Fiony yang duduk di sampingnya.

Fiony berbali menatap Freya. "Maksudnya ?" tanyanya, bingung.

"Ya itu tadi, Tante Laura bilang mau bantuin kamu buat ngomong sama Zean soal pertunangan kalian . Beberapa bulan lalu, pas kita kesini juga Tante Laura bilang kayak gitu ,"jawab Freya menatap Fiony dengan tatapan kesalnya. "Tiap ketemu ngomonginya hal yang sama, tapi sampai sekarang juga belum ada hasilnya ," lanjutnya.

"Kita nggak boleh berburuk sangka, siapa tahu mereka udah ngobrol. Cuma...,-"

"Cuma nggak niat aja Zeanya , udah deh Fiony lupain Zean. Cari yang lain, dia tuh nggak pernah anggep lebih hubungan kalian yang dari kecil itu ..,"Freya menyela ucapan Fiony .

Fiony mengulas senyum tipisnya. "di posisi Kak Zee itu nggak gampang. Dia pasti banyak mikir, karena ada Alea , "ucapnya.

Mendengar ucapan Fiony yang masih membela Zean, Freya hanya memutar malas kedua bola matanya dan memilih untuk tidak menanggapi. Karena sudah pasti saran saran yang ia katakan untuk menyelamatkan Fiony dari sakit hati tidak akan pernah di dengar oleh Fiony yang cinta buta dengan Zean itu.

**See you**

More Better IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang