Hari ini seharunya Zean tengah merayakan ulang tahunnya ,akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hari ini Zean tengah berduka, karena kepergian sang Kakak untuk selamanya setelah mendapatkan perawatan intensif selama beberapa hari. Dan tidak hanya Zean yang berduka, Alea dan seluruh keluarganya pun juga berduka. Bahkan anggota keluarga yang berada di luar negeri pulang untuk menghantar Talita ke peristirahatan terakhirnya, termasuk Aldy.
Keberadaan Aldy di barisan keluarga Zean tentu saja membuat Marsha terkaget. Karena selama ia mengenal Aldy, Marsha tidak banyak tahu tentang keluarga Aldy selain sosok Ayah yang selalu mengekang laki-laki itu. Namun, Marsha menahan diri untuk menyapa Aldy dan berpura-pura tidak mengenalnya. Sampai pada akhirnya, laki-laki itu sendiri yang menghampirinya setelah semua prosesi pemakaman Talita selesai.
Di taman belakang rumah, Aldy membawa Marsha untuk duduk bersama di sana. Aldy menanyakan kabar Marsha dan ke mana perginya gadis itu, ia juga mengatakan jika selama ini mencari gadis itu meski tengah sibuk dengan penelitiannya di Singapura.
Memiliki teman yang masih memberinya perhatian, tentu saja membuat Marsha senang. Akan tetapi di satu sisi, tidak dapat dipungkiri jika Marsha juga tengah penasaran dengan hubungan Aldy dan Zean. Namun sepertinya lancang menanyakan hubungan mereka di saat duka masih menyelimuti keluarga mereka, Marsha pun memilih untuk membicarakan kesibukan Aldy.
Sementara itu di lain tempat, tepatnya di ruangan kerja Zean yang berada di sudut ruang lantai dua rumahnya.
Suasana duka masih menyelimuti hati Zean, akan tetapi ia justru di buat meradang oleh sang Mama yang menemuinya untuk menanyakan aset yang di tinggalkan Talita . Selain itu ia juga mendapat pertanyaan tentang hubungannya dengan Fiony, hubungan yang sebenarnya terjadi karena keinginan sang Mama.
"Mah, kita bisa bahas hal ini nanti. Setelah keadaan membaik ,"ucap Zean dengan tatapan memohonnya.
Srek...Laura yang duduk di sofa tidak jauh dari meja putranya itu, beranjak. "Apa salahnya kita bahas sekarang ? Kamu tahu Mama tidak banyak waktu untuk tetap di sini ,"ucapnya.
Tap..tap...tap....Laura berjalan ,menghampiri meja yang penuh dengan foto Zean, Alea dan Talita. Ia mengamati satu persatu, lalu mengambil sebuah foto di mana Zean kecil terlihat begitu bahagia.
"Sudah lama Mama tidak melihat senyum seperti ini ,"ucap Laura, menunjukkan foto yang ia ambil.
"Mah ..,"Zean menatap sang Mama masih dengan tatapan memohonnya, seolah memberi isyarat untuk berhenti membicarakan hal yang seharunya belum di bicarakan di saat duka masih terasa.
Laura menghela nafasnya, lalu meletakan kembali foto yang ia ambil di tempat sebelumnya. "Mama akan bawa Alea ke Jepang, dengan begitu kamu bisa menikmati kehidupanmu . Lagi pula sudah cukup banyak waktu yang kamu habiskan untuk membesarkan Alea, dan mama rasa sekarang sudah saatnya Alea menjadi gadis mandiri ,"ucapnya, menatap Zean.
Ceklek....suara pintu yang tiba-tiba tertutup dari luar, sukses membuat Zean dan Laura terkaget. Terbukti dengan keduanya sama-sama menatap ke arah pintu saat pintu itu tertutup.
Kret...Zean beranjak dari duduknya, lalu meninggalkan ruangannya . Ia tahu, ke mana harus mencari orang di balik tertutupnya pintu ruangannya beberapa detik lalu.
***
Knock...
Knock....
Knock...
Sudah lebih dari enam kali, Zean mengetuk pintu kamar Alea. Ia berharap sang empu segera membuka pintu untuknya, akan tetapi tidak. Dan akhirnya , dengan perlahan Zean membuka pintu kamar Alea lalu menghampiri gadis itu. Posisi tidur yang tiba-tiba berubah saat Zean masuk, tentu saja membuat Zean tahu jika Alea sebenarnya belum tidur.
srek...Zean mengambil duduk di samping Alea, ia nyibak rambut halus yang sedikit menutupi wajah Alea.
"Papa tahu kamu belum tidur ,"ucap Zean, dengan nada lembutnya.
"Arghh...,"Alea sedikit mengeliat, lalu kembali merubah posisinya ."Apa sih Pah, jangan ganggu...,"ucapnya tanpa membuka kedua matanya, layaknya orang yang tidurnya terusik.
"Al, jangan bohong...Papa tahu kamu belum tidur. Ayo kita bicara ,"ucap Zean.
Srek....Alea menarik selimutnya, hingga menutupi kepalanya.
Zean yakin jika Alea hanya berpura-pura tidur, ia pun memilih untuk menunggu dan melihat seberapa lama Alea akan mengabaikanya. Hingga sudah lebih dari tiga puluh menit Zean menunggu, ia pun akhirnya menyerah dan meninggalkan kamar putrinya. Namun, sebelum keluar..
"Apa yang kamu dengar tadi, kamu harus percaya kalau Papa akan tetap bawa kamu ke mana pun ,"ucap Zean, lalu beranjak .
Srek...Alea kembali membuka selimutnya, mengusap keringat di keningnya. Karena jujur saja, ia merasa pengap dan panas saat menutup dirinya dengan selimut demi membuat sang Papa segera keluar dari kamarnya.
*****
Tap...tap...tap......Zean berjalan di taman seorang diri, berniat menenangkan diri di temani sebatang rokok di tangan kananya dan minuman soda di tangan kirinya. Zean bukanlah pecandu nikotin, akan tetapi jika sudah melihat sebatang rokok di tangannya itu sudah sangat menandakan jika laki-laki itu tengah dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja.
"Huft....,"Zean menghembuskan kepulan asap rokoknya saat ia menghentikan langkah kakinya di sebuah jembatan kecil yang melintasi sungai buatan menuju sebuah gazebo besar di tengah pulau buat di taman itu. Pandangannya menerawang jauh ke depan, sorot mata yang lesu membuatnya terlihat menyedihkan.
"Hahaha...,"suara gelak tawa yang terdengar tiba-tiba mencuri perhatian Zean. Suara gelak tawa itu berasa dari gazebo yang berada tidak jauh dari hadapannya.
Degh...Zean mengusap dadanya yang entah kenapa terasa sesak dan panas.
"Kakak benar, hidup memang harus terus berjalan ," Zean bergumam dan masih terfokus ke arah gazebo melihat Marsha tertawa bersama Aldy.
Dari arah yang berhadapan akan tetapi jarak yang jauh, Alea yang melihat Marsha tengah tertawa bersama Aldy membuatnya teringat pesan sang Mama.
"Mama benar, kita harus bahagia dengan cara kita sendiri ," Alea bergumam dalam hatinya ,sembari bertopang dagu melihat Marsha dan Aldy .
*See You*